tirto.id - Grace sudah menjalani banyak hal selama dua setengah tahun bersama pacarnya. Hubungannya yang awet diakuinya tak datar-datar saja. Pernah ada masa break selama tiga bulan, tetapi hubungan kembali terjalin dengan komitmen untuk saling percaya.
“Makanya, belum ada hal-hal besar yang diberantemin,” ucap Grace.
Grace jatuh cinta pada kekasihnya yang bertubuh subur itu karena punya sifat ceria, banyak bicara yang artinya selalu punya topik hangat untuk dibicarakan berdua. Meskipun, Grace mengaku tidak ada kata-kata manis yang pernah diucapkan kekasihnya padanya. “Ngomong sayang aja nggak pernah, dulu awal jadian pernah ngomong sayang sekali. Katanya nggak perlu diomongin berkali kali, perasaanya yang dulu sampai sekarang masih sama,” terang perempuan asal Kalimantan itu.
Selama dua setengah tahun, Grace juga tak menaruh curiga pada kekasihnya. Ia percaya, kalau kekasihnya tak pernah selingkuh. Malah, dia menyadari, sikapnya bisa membuat kekasihnya sedikit kerepotan pada saat-saat tertentu. Misalnya, ia tidak ingin kekasihnya main dengan perempuan lain. Meski itu hanya sekedar minum kopi di warung kopi. “Cemburu lah,” kata Grace.
Ia sadar, sikapnya cukup egois, karena ia sendiri ingin dibebaskan main dengan teman laki-lakinya yang lain dalam pergaulan sehari-hari. Sementara itu, ia senang kalau kekasihnya memanjakannya dengan jalan-jalan ke mal, makan bersama, dan merawat cincin couple mereka.
Sepintas, hubungan Grace dengan pacarnya sangat harmonis. Namun, apakah semua hubungan seberuntung itu? Data dari Rifka Annisa berbicara lain.
Dari Kekerasan Psikologis Hingga Fisik
Korban-korban kekerasan saat pacaran ternyata cukup banyak. Dari bulan Januari-Agustus saja, sudah ada 21 kasus yang ditangani oleh divisi bidang konseling Rifka Annisa, bahkan ada yang sampai ke meja hijau.
Usia klien yang ditangani Rifka Annisa umumnya berusia 18 tahun ke atas. Tetapi ada juga korban usia anak di bawah 18 tahun mendapatkan kekerasan seksual dari pacarnya, modusnya pacaran. Ia meringkas, bentuk kekerasan dalam pacaran itu bermacam-macam, dari fisik, psikologis, ekonomi, sampai sosial. Secara detail, kekerasan fisik bisa berupa melakukan hubungan seksual, menampar atau memukul ketika bertengkar, melempari pasangan dengan benda yang ada di dekatnya. Kekerasan psikologis bisa berupa intimidasi. Kekerasan ekonomi bisa berupa pasangan meminta uang, dan kekerasan sosial bisa berupa membatasi pergaulan pasangan, dari tidak boleh bertemu teman sampai tidak boleh ramah dengan orang lain.
“Soalnya di umur segitu proyeksi pacarannya itu serius ke jenjang pernikahan,” kata Indiah Wahyu Andari, Manajer Divisi Pendampingan Konselor Psikologi Rifka Annisa pada tirto.id, pada akhir Agustus.
Banyak hal dapat memicu kekerasan dalam pacaran. Salah satunya, memancing dengan rasa sayang. “Itu modus yang sering dilakukan oleh pelaku untuk melakukan kekerasan seksual, menyetubuhi, dengan bujuk rayu dan sebagainya.”
Setelah mengalami perlakuan seperti ini, korban akan merasa tidak berdaya, sulit lepas dari pelaku dan keadaan ini memicu bentuk kekerasan yang lain seperti keuangannya diporoti, pergaulan dibatasi, dan secara pribadi ia merasa rendah diri karena konsep pribadinya telah berubah.
“Ia jadi merasa sangat mencintainya, jadi kalau mendapatkan kekerasan ia sulit untuk pergi, tetap mau kembali,” papar Indiah.
Pelaku kekerasan dalam pacaran sebenarnya juga memiliki masalah sendiri dalam kehidupannya sehingga ia melampiaskan kemarahannya ke pacar. Indiah menyebut, kondisi keluarga adalah pemicu paling rentan seseorang dapat melakukan tindakan kekerasan atau sebaliknya, seseorang menjadi bergantung pada pacarnya.
“Orang tua KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), ia jadi kurang diperhatikan. Pelariannya ke pacar, yang dia anggap bisa memberi perhatian, kasih sayang, dan sebagainya,” papar Indiah.
Korban kekerasan dalam pacaran sebenarnya juga memiliki masalah sendiri dalam kehidupannya
sehingga ketika tidak mendapatkan perhatian keluarga dia menjadi bergantung pada pacarnya. Hal
ini bisa memicu dia rentan menjadi korban kekerasan dari si pacar.
Sementara, yang memicu seseorang menjadi pelaku KDP adalah pemahaman akan nilai maskulinitas dan relasi yang tidak setara dengan pacaran. Pelaku KDP umumnya menganggap
dirinya lebih superior sehingga bisa bertindak semena-mena pada si pacar. Belum lagi pemahaman
akan nilai-nilai dalam sebuah hubungan pacaran. Niatnya ingin melindungi tapi kenyataannya
berlebihan sehingga jadi posesif. Niatnya ingin menjaga tapi malah membatasi pergaulan. Ada
juga yang meminta pembuktian rasa sayang dan cinta dengan meminta si pacar menuruti segala
kemauannya, padahal pacar tidak nyaman. Bujuk rayu dan ancaman diputus cinta biasanya jadi intimidasi pelaku KDP agar si pacar menuruti semua yang ia inginkan. Bahkan dalam kasus yang lebih parah, ia diminta melakukan hubungan seksual sebelum menikah.
Hubungan seksual itu sebagian ada yang berujung pada kehamilan. Kekerasan tidak berhenti karena kemudian pelaku meminta korban untuk melakukan aborsi. Kasus itu pernah juga ditangani oleh Rifka Annisa. “Aborsi terjadi dan akhirnya berdampak pada kesehatan klien, sampai harus melarikan dia ke rumah sakit,” kata Indiah.
Kasus kekerasan saat pacaran ini bahkan juga menimpa anak yang baru berusia 12 tahun. Gadis malang itu bahkan sudah dilecehkan secara seksual oleh pacarnya. Rifka Annisa mengambil sikap membawa kasus itu ke meja hijau karena terbukti ada korban lain dari pelaku yang sama. Modusnya sama yakni berkedok pacaran, untuk kemudian merayu dan melakukan persetubuhan.
“Dari perkembangan penyidikan, ditemukan laki-laki itu melakukan hal yang sama pada delapan anak yang lain dalam waktu yang hampir bersamaan, jadi itu modus kejahatan,” terang Indiah.
Sebagai seorang konselor, ia berpengalaman memahami karakter tiap kliennya. Memang benar, bahwa kejahatan bermodus pacaran itu bisa terjadi karena si korban sendiri kurang memahami posisinya. Menurut Indiah, kematangan mental dan kecerdasan kognitif anak usia 12 tahun itu belum terbangun untuk memahami situasinya, sehingga keluguan masa remaja menjadi peluang bagi pelaku untuk melakukan modus operandinya.
“Keluguan masa remaja itu yang dimanfaatkan oleh pelaku,” ujar Indiah.
Selain kasus anak remaja, belum lama ini, Rifka Annisa menangani dua kasus kekerasan dalam pacaran orang yang menjalin hubungan baru setelah bercerai. Dampak dari kekerasan dalam pacaran orang dewasa ini ternyata bisa lebih buruk karena berimbas pada anak-anak mereka, “Dalam kasus pertama anak dibunuh, sementara kasus kedua anaknya disiksa, kedua-duanya masuk ke proses hukum,” kata Indiah.
Kekerasan Fisik Menempati Peringkat Satu
Korban kekerasan pacaran sering kali harus menerima pukulan dua kali. Selain kekerasan, korban juga harus menerima perlakuan tidak adil dari lingkungan. Umumnya, masyarakat langsung berpandangan miring terhadap para korban kekerasan pacaran.
Defirentia One M, Manajer Divisi dan Media Rifka Annisa bertutur kalau sudah kejadian ada perempuan hamil di luar nikah, masyarakat akan membicarakan persoalan dosa dan pahala yang bisa semakin menekan kondisi psikologis korban.
“Dalam masyarakat kita, sudah menyalahkan perempuan, menganggap dia menggoda dulu, muncullah stigma-stigma,” papar One.
Berdasarkan data Rifka Annisa yang dihimpun pada periode 1993-2016 sudah lebih dari 6000 kasus sudah ditangani lembaga ini. Rata-rata per tahun ada 300 kasus lebih sudah ditangani. Dari 300 kasus, 50 buah kasus kekerasan dalam pacaran itu sudah masuk ke ranah hukum.
Rifka Annisa juga mencatat, dari tahun 2011 sampai tahun 2015 kasus kekerasan dalam pacaran di Yogyakarta cenderung meningkat. Berdasarkan data yang terkumpul dari kedatangan klien ke Rifka Annisa, di tahun 2011 Rifka Annisa menangani 40 kasus, tahun 2012 menangani 27 kasus, tahun 2013 menangani 14 kasus, tahun 2014 menangani 21 kasus, dan tahun 2015 menangani 33 kasus. Sementara di tahun 2016, dari Januari-Agustus 2016 menangani 21 kasus, dua di antaranya menyebabkan 1 orang anak meninggal dan 1 mendapatkan siksaan berat.
Catatan kasus tersebut, diakui oleh Indiah dan One merupakan catatan yang sangat kecil persentasenya. Mereka yakin, di luar sana ada banyak kasus serupa, tetapi yang bersangkutan enggan untuk melakukan konseling atau meminta bantuan.
Persis seperti yang diduga oleh Indiah dan One, Komnas Perempuan menyebutkan jumlah KDRT atau KDP tahun 2015 sebanyak 321.752. Jumlah itu berdasarkan pada gabungan data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama atau Badan Peradilan Agama (PA-BADILAG) sejumlah 305.535 kasus dan dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sejumlah 16.217 kasus, di mana kekerasan yang terjadi di ranah personal mencapai 69% atau 11.207 kasus.
Dari jumlah 11.207 kasus, sebanyak 60% atau 6.725 kasus di antaranya berupa kekerasan terhadap istri, 24% atau 2.734 kasus kekerasan dalam pacaran, dan 8% atau 930 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.
Kekerasan fisik menempati peringkat pertama dengan persentase 38% atau 4.304 kasus, diikuti dengan kekerasan seksual 30% atau 3.325 kasus, kekerasan psikis 23% atau 2.607, dan ekonomi 9% atau 971 kasus.
Data tersebut berbeda dengan tahun 2014, kekerasan seksual menempati peringkat ketiga. Sementara tahun 2015, kekerasan seksual naik ke peringkat kedua. Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan 72% atau 2.399 kasus, pencabulan 18% atau 601 kasus, dan pelecehan seksual 5% atau 166 kasus.
Proses pengenalan bertujuan agar mendapatkan pasangan yang sesuai sebelum rumah tangga. Jika di tengah jalan akhirnya ditemukan kekerasan, maka harus ada keberanian untuk mengakhirinya. Bahkan jika sudah melewati batas, maka proses hukum harus ditempuh agar tidak ada korban-korban selanjutnya.
Catatan: artikel ini telah mengalami perubahan pada data jumlah kasus yang ditangani Rifka Annisa per tahun. Sebelumnya disebutkan ada 300 kasus, yang benar 6 ribu kasus dari tahun 1993-2016.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti