tirto.id - Setelah menjadi salah satu tema besar yang dibahasdalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan disebut sebagai bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), praktik poligami justru seolah diberi karpet merah lewat Peraturan Gubernur (Pergub) Daerah Khusus Jakarta.
Beleid yang dimaksud adalah Pergub Nomor 2/2025 tentang Tata Cara Pemberian Izin Perkawinan dan Perceraian yang mencantumkansoal mekanisme izin berpoligami bagi aparatur sipil negara (ASN).
Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Pergub Nomor 2/2025 menyatakan bahwa ASN pria boleh beristri lebih dari seorang dengan syarat wajib mendapat izin dari istri dan pejabat yang berwenang sebelum melangsungkan pernikahan.
Alasan mendasar yang membolehkan ASN melakukan poligami di antaranya “istri tidak dapat menjalankan kewajibannya”, “istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan”, dan “istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah sepuluh tahun perkawinan”.
Pergub DKJ Nomor 2/2025lantas membetot perhatian publik lantaran dinilai diskriminatif terhadap perempuan. Lagi pula, ia terbit di saat Jakarta masih punya banyak masalah yang lebih krusial untuk diselesaikan.
Namun, alih-alih mengakui dan menunjukkan iktikad baik untuk mengevaluasinya, Pj. Gubernur DKJ, Teguh Setyabudi, justru menyatakan bahwa aturan tersebut tak bisa dibaca sepotong saja. Dia pun menyarankan publik untuk membaca sepenuhnya isi Pergub DKJ Nomor 2/2025 lebih detail agar tak salah persepsi.
"Silakan dalami lebih lanjut isi Pergub Nomor 2 Tahun 2025. Tidak hanya mengambil satu potong kalimat saja, tapi bisa membaca secara komprehensif," ujar Teguh kepada awak media di Ecovention Ancol, Jakarta Utara, dikutip dari CNN Indonesia, Jumat (17/1/2025).
Teguh bersikukuh aturan itu justru diterbitkan untuk melindungi keluarga ASN. Menurutnya, aturan tersebut bisa memperketat mekanisme perkawinan dan perceraian.
"Yang diviralkan adalah seakan-akan kami itu mengizinkan poligami. Itu sama sekali tidak ada dalam semangat kami," katanya.
Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya Sugiarto, menyebut bahwaaturan-aturan dalam Pergub DKJ Nomor 2 Tahun 2025 sudah merujuk ke peraturan lain yang lebih tinggi. Di antaranya merujuk pada Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 10/1983 juncto PP Nomor 45/1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, dan Surat Edaran Badan Kepegawaian Negara.
Meski demikian, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilaibahwa polemik tentang Pergub DKJ Nomor 2/2025 menunjukkan urgensi pembaruan UU Perkawinan yang telah berusia 50 tahun. Hal itu, termasuk untuk memperketat pengaturan soal poligami.
“Meski asas perkawinan di Indonesia bersifat monogami (Pasal 3 ayat 1), UU Perkawinan memberikan peluang laki-laki untuk beristri lebih dari satu dengan berbagai syarat, ketentuan, dan prosedur,” tulis Komnas Perempuan dalam rilisnya, Sabtu (18/1/2025).
Sejalan dengan UU Perkawinan, menurut Komnas Perempuan, alasan-alasan pembolehan poligami bagi ASN yang diatur oleh Pergub DKJ Nomor 2/2025 bersifat diskriminatif.
“Alasan istri tidak dapat melakukan kewajibannya bersifat subjektif, kerap mengacu pada konstruksi masyarakat patriarki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, dengan peran-peran domestik pengasuhan dan perawatan yang seolah eksklusif menjadi tugas perempuan,” tulis Komnas Perempuan dalam salah satu poin pernyataan sikapnya.
Lalu, alasan tidak dapat melahirkan keturunan juga disebut meneguhkan posisi subordinat perempuan di dalam masyarakat yang menempatkan penilaian pada kapasitas reproduksi perempuan. Sementara itu, dalih cacat badan juga merupakan sikap diskriminatif berbasis abelitas terhadap perempuan penyandang disabilitas.
Tak Ada Kebermanfaatan untuk Publik
Menanggapi kegaduhan Pergub DKJ Nomor 2/2025, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyatakan bahwahal ihwal poligami itu tak seharusnya dibuatkan aturan khusus, apalagi melalui Pergub.
Trubus mempertanyakan, mengapa Teguh tidak menerbitkan Pergub untuk persoalan lebih besar lagi, misalnya, seputar banjir dan kemacetan di Jakarta. Kebijakan publik, kata Trubus, seharusnya dibuat untuk publik secara umum, tak hanya khusus mengenai orang yang propoligami.
“Kalau aturannya sendiri, itu kan memang tujuannya untuk memberikan perlindungan kepada keluarga. Tapi kan persoalannya kemudian ada juga menyinggung soal hak perceraian, ada syaratnya. Tapi kan itu harusnya melalui proses-proses konsultasi publik dulu,” kata Trubus kepada Tirto, Senin (20/1/2025).
Menurut Trubus, kebijakan seperti itu mencerminkan kekurangan Gubernur DKJ di sisi kepemimpinan, sisi pengambilan kebijakan, dan pemahaman aspek politik dan religius.
Pemikir feminis muslim sekaligus Dosen Pascasarjana Konsentrasi Ilmu Tafsir Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur'an (Institut PTIQ) Jakarta, Dr. Nur Rofiah, pun menyampaikan hal senada.
Nur berpendapat bahwa alih-alih menyelesaikan masalah seperti yang diklaim, Pergub DKJ Nomor 2/2025 justru bikin masalah menjadi semakin kompleks.
“Kenapa, misalnya, ya tidak memikirkan hal lain kalau mau menyelamatkan keluarga ya. Misalnya, gimana caranya, sejak bayi lho sampai meninggal, keluarga itu bisa hidup secara bermartabat. Bukan secara fisik aja, apalagi secara intelektual dan spiritual,” ujarnya lewat sambungan telepon,Senin (20/1/2025).
Masalah poligami, menurut Nur, seharusnya direspons sebagai masalah, bukan sebagai solusi. Aturan pemerintah juga seharusnya berdampak ke seluruh keluarga, bukan hanya untuk kepentingan satu pihak saja, misalnya, dalam hal ini suami.
“Bahkan, di Al-Qur'an sendiri, abad ke-7 Masehi lho, sudah mendorong untuk monogami. Dan benar-benar literal, lebih dekat untuk tidak berbuat aniaya. Karena, perkawinan yang dicita-citakan oleh Islam itu kan adil bagi semua pihak,” kata Nur.
Meski monogami tidak lantas menjamin keadilan—sebab hubungan monogami tak lepas dari kasus KDRT, menurut Nur, dalam konteks agama Islam, monogami disebut Al-Qur'an sebagai "perkawinan yang peluang untuk adil bagi semua pihaknya lebih besar".
“Nah kita yang hidup di abad ini sebetulnya sudah siap daripada dulu, daripada abad 7 Masehi. Makanya kalau hari ini kok gagasannya itu malah mundur. Kita itu sudah berproses dengan asas monogami, dengan UU PKDRT, dengan UU TPKS, kok malah mempromosikan [poligami] itu,” sambung Nur.
Perempuan, sebagaimana laki-laki, mesti dilihat sebagai manusia seutuhnya, juga sebagai subjek penuh. Baik perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki akal dan perasaan.
“Kalau perempuan hanya dilihat sebagai alat pemuas seksual, ya memang enggak penting perempuan itu sedih atau tidak. Bahkan kalau tidak berfungsi ya tinggalin,” kata Nur menjelaskan.
Nur sudah memperkenalkan konsep keadilan hakiki perempuan dalam bukunya yang berjudul Nalar Kritis Muslimah(2020). Nur menyatakan bahwa sesuatu hanya benar-benar adil jika sudah memenuhi dua syarat. Pertama, tidak menyebabkan lima pengalaman biologis perempuan menjadi semakin sulit, baik secara biologis maupun sosial. Lima pengalaman biologis itu adalah menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui.
Kedua, ia tidak mengandung atau menyebabkan perempuan mengalami salah satu atau lebih dari lima pengalaman sosialnya, yaitu stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda atas nama apa pun.
Dampak Buruk Pergub DKJ Nomor 2/2025
Berhubung masalah poligami cukup erat berasosiasi dengan Islam, pemerintah perlu membuat peraturan yang adil gender agar orang mengingat Islam dengan proses pemanusiaan yang penuh. Nur menegaskan hal itu agar masyarakat tidak mensimplifikasi dan mereduksi Islam hanya berasosiasi dengan poligami.
“Ingat islam, ingat kesejahteraan publik. Kalau dalam bahasa agama kan almaslahatul ammahitu. Nah, dalam mewujudkan kemaslahatan umum itu, meniscayakan melihat kelompok rentan,” terang Nur.
Kelompok lemah dan rentan bisa saja adalah warga yang tidak memiliki rumah, anak yang membutuhkan sekolah, orang difabel, hingga orang sakit.
“Banyak banget kelompok lemah yang itu harusnya dapat perhatian khusus dari negara sebagai ulil amri, yang punya otoritas dalam mewujudkan al maslahatul ammahitu. Pemerintah itu fokus aja pada hal-hal besar yang menjamin kesejahteraan keluarga secara utuh. Jangka pendek, jangka panjang, itu fasilitasi. Justru pemerintah harus lihat pihak-pihak yang lemah dan rentan kalau mau adil,” kata Nur.
Trubus mengaku khawatir Pergub DKJ Nomor 2/2025 malah akanjadi pendorong orang untuk melakukan pelanggaran hukum seperti korupsi. Terlebih, bila aturan semacam itu ditiru oleh daerah-daerah lainnya.
“Kemudian kan mendorong orang untuk melakukan poligami. Korupsinya apa, ya karena kan harus ijin atasan, ijin atasan dibikin aja. Kan budaya di Pemprov DKI itu kan budaya korupsinya tinggi, mentalnya mental korup. Ya sudah dikasih aja duit, Rp20 juta, keluar surat ijinnya,” ujar Trubus.
Aturan tersebut juga dia khawatirkan bakal dipakai sebagai alat untuk unjuk maskulinitas toksik sehingga justru merusak keharmonisan rumah tangga.
“Bukan melindungi keluarga, malah justru sebaliknya. Karena, tafsiran publik itu lebih kepada rasa, kepada selera. Publik itu kan punya selera. Jadi, tafsiran yang mengarah kepada selera itu kan, oh boleh kok poligami, gitu,” lanjut Trubus.
Oleh karena itu, Trubus mendorong Pemprov Jakarta untuk mengevaluasi peraturan tersebut, entah mencabut, membatalkan, atau merevisinya. Dia juga menegaskan agar pemerintah bertanggung jawab, bukan hanya memberikan klarifikasi.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Fadrik Aziz Firdausi