tirto.id - Siapa orang paling kaya sejagat? Tentu saja Bill Gates. Setidaknya menurut Forbes, dalam beberapa tahun ia menjadi langganan teratas dalam daftar 10 orang terkaya. Bill Gates dan 9 orang terkaya lainnya mewakili para pria. Dalam daftar 2017 hingga peringkat ke-13 nama pria masih bercokol di tangga teratas.
Hingga akhirnya sosok perempuan Liliane Bettencourt mampu berada di posisi ke-14. Ia tak sendirian, hingga daftar 20 orang terkaya, terselip satu lagi nama perempuan yaitu Alice Walton yang ada di peringkat ke-17. Artinya dari 20 papan atas, hanya 2 orang perempuan atau hanya 10 persen saja.
Menilik laporan Forbes lainnya tentang List of 100 World Billionaires dari 2014 hingga 2017, proporsi perempuan dalam daftar tersebut tidak pernah lebih dari 15 persen. Jumlah perempuan yang masuk dalam daftar 100 miliarder Forbes pada 2014 hanya 11 orang dan meningkat di 2015 menjadi 13 orang. Namun, sejak 2015 hingga saat ini, tren perempuan dalam daftar 100 orang terkaya di dunia kembali menurun. Pada 2017, tercatat hanya 10 orang perempuan yang masuk dalam daftar tersebut.
Sama hal dengan jumlah dan proporsi miliarder perempuan, total nilai kekayaan miliarder perempuan selalu berada di bawah 15 persen dibandingkan total kekayaan 100 miliarder terkaya dunia. Pada 2014, total kekayaan miliarder perempuan yang masuk dalam daftar 100 orang terkaya dunia sebanyak US$235,7 miliar dan nilai ini menurun menjadi US$221,6 miliar pada 2017. Proporsinya pun menurun dari 11,01 persen terhadap total kekayaan 100 miliarder di dunia pada 2014 menjadi 9,34 persen di 2017.
Bilai dilihat dari usia, seluruh miliarder perempuan yang masuk dalam daftar 100 orang terkaya 2017 ini tidak ada lagi yang berusia di bawah 50 tahun. Paling muda, Laurene Powell Jobs, yang merupakan janda Steve Jobs, berusia 53 tahun. Sedangkan, yang paling tua adalah Liliane Bettencourt berusia 94 tahun, yang kaya raya dari industri berkat merek L'Oreal.
Tercatat, dua industri terbesar yang menjadi sumber kekayaan miliarder perempuan adalah retail dan makanan-minuman (F&B). Pada 2014, sebanyak 27,3 persen miliarder perempuan yang masuk dalam daftar 100 orang terkaya dunia menggeluti industri makanan.
Namun, pada 2017, proporsi perempuan terkaya yang berasal dari industri retail menurun menjadi 20 persen. Di sisi lain, jumlah perempuan tajir dari industri makanan dan minuman meningkat. Jika pada 2014 proporsi perempuan terkaya yang berasal dari industri ini hanya 9,1 persen, meningkat menjadi 30 persen pada 2017.
Selain retail dan makanan-minuman, pertambangan juga menjadi sumber kekayaan miliarder perempuan yang masuk dalam daftar 100 orang terkaya. Seperti Gina Rinehart yang memimpin Hancock Prospecting dengan nilai kekayaan sebesar US$ 15 miliar pada 2017. Ada juga Iris Fontbona yang memiliki nilai kekayaan US$ 13,70 miliar yang berasal dari kepemilikan Antofagasta PLC.
Para perempuan ini berasal dari negara dan benua yang berbeda. Meskipun sejak 2014, mayoritas miliarder perempuan memang berasal dari Amerika Serikat, dengan jumlah proporsi di atas 40 persen.
Pada 2014, terdapat 50 persen miliarder perempuan dari 100 orang terkaya dunia berasal dari Amerika Serikat. Proporsi ini menurun menjadi 40 persen pada 2017. Miliarder perempuan Amerika Serikat banyak bergerak di industri retail, makanan-minuman, media, teknologi, dan keuangan-investasi.
Selain Amerika Serikat, pada 2017, negara asal miliarder yang masuk dalam 100 orang terkaya dunia adalah Chile, Australia, Italia, Belanda, Perancis, dan Jerman. Di Jerman, sektor retail dan pertambangan merupakan industri terbesar yang memasok kekayaan bagi para miliarder perempuan. Salah satu hal yang menarik adalah tidak ada miliarder perempuan yang berasal dari Asia dari 100 orang terkaya. Padahal pada 2017, ada 20 persen orang terkaya pria berasal dari Asia dalam daftar 100 orang terkaya dunia.
Beberapa hal yang menjadi penyebab tidak masuknya perempuan Asia dalam daftar tersebut adalah adanya tekanan budaya dan kurangnya infrastruktur yang dapat menunjang karier perempuan Asia. Dalam riset yang dilakukan oleh McKinsey, perempuan Asia memiliki beban tanggung jawab dalam keluarga; perempuan diharuskan untuk mengurus persoalan dan pekerjaan rumah tangga.
Sebanyak 30 perempuan dalam pertengahan karier ataupun yang sudah berada di level senior, secara sukarela akan mengundurkan diri dari pekerjaan dengan alasan berkeluarga. Bila dilihat berdasarkan tendensi/kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan, secara umum di Asia, sebanyak 28 persen wanita memiliki tendensi yang sangat kuat dan kuat untuk keluar dari pekerjaannya dengan alasan komitmen keluarga.
Bila dilihat per negara, Korea Selatan memiliki persentase tertinggi dengan angka sebesar 47 persen, dilanjutkan oleh India dengan nilai 44 persen. Bahkan di Jepang, pandangan tradisional tentang perempuan bekerja juga menjadi alasan kuat untuk meninggalkan pekerjaan ataupun mengganti pekerjaannya setelah menikah. Sebanyak 60 persen perempuan Jepang keluar ataupun mengganti pekerjaannya setelah menikah. Kalau pun harus bekerja, umumnya mereka lebih memilih bekerja dari rumah atau mencari pekerjaan paruh waktu sehingga tetap dapat memberikan waktu lebih banyak untuk keluarga.
Sementara itu, di Indonesia hanya 26 persen perempuan memiliki tendensi yang sangat kuat untuk keluar dari pekerjaan dengan alasan berkeluarga. Jika dibandingkan dengan Korea dan India, Indonesia masih tergolong longgar dalam hal tekanan berkeluarga bagi perempuan yang sedang menapaki karier. Namun sayangnya, di Indonesia, sebanyak 77 persen perusahaan tidak memprioritaskan keberagaman gender sebagai strategi perusahaan.
Nilai ini lebih besar dibandingkan rata-rata Asia yang bernilai 70 persen perusahaan tidak memprioritaskan keberagaman gender sebagai strategi perusahaannya. Padahal keberagaman gender berpengaruh positif bagi peningkatan kinerja perusahaan. Meskipun sering dianggap tidak setara dengan laki-laki, perempuan juga memiliki andil menggerakkan bisnis kelas dunia.
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang mampu memiliki kekayaan lebih besar dari kebanyakan pria. Namun sayangnya, jumlah miliarder perempuan di Indonesia, juga tetap tidak sebanyak laki-laki. Kendati banyaknya akses dan dukungan diberikan bagi perempuan untuk meniti karier, laki-laki tetap mendominasi perekonomian.
Hal ini dikarenakan pola pikir dan budaya masyarakat sekitar yang kerap menjadi restriksi pada perempuan, seperti yang dialami perempuan-perempuan di Asia. Dibutuhkan perubahan mindset dari masyarakat tentang peran perempuan. Tak hanya sebagai pengurus rumah, perempuan pun harus dipandang dapat menjadi pemimpin layaknya seorang pria. Ia pun bisa berperan dan berkesempatan mengeruk pundi-pundi kekayaan.
Penulis: Scholastica Gerintya
Editor: Suhendra