tirto.id - “Tuduhan utama terhadap saya adalah adalah bahwa saya gay. Polisi akan berteriak bahwa saya gay, bahwa orang-orang seperti saya harus dibunuh,” kata Mazim Lapunov.
Lapunov adalah salah satu korban perburuan yang menyasar golongan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) di Republik Chechnya, Rusia. Kejadiannya berlangsung Mei 2017. Ia mengungkapkan pengalaman sedihnya itu di Moskow, yang oleh SBS News dipublikasikan pada Oktober di tahun yang sama.
Lapunov adalah pria usia kepala tiga yang selama dua tahun telah tinggal di Chechnya. Ia sedang berjalan di Kota Grozny saat beberapa pria tanpa seragam tiba-tiba menyergapnya, lalu membawa Lapunov secara paksa ke kantor polisi.
Darah mengucur dari mulut saat Lapinov dilempar ke balik jeruji besi. Ia ditahan selama 12 hari sembari mendapat penyiksaan plus ancaman pembunuhan dari para sipir. Betisnya jadi sasaran benda tumpul. Wajahnya ditekan ke dinding, sementara punggungnya terus menerima pukulan. Di satu titik ia tak kuat, lalu roboh.
“Selnya berukuran 2x2 dan seperempat lantainya tertutup darahku, darah segarku.”
Polisi tidak menyediakan tuduhan yang jelas sebagai dasar penahanannya. Time mengutip laporan Novaya Gazeta yang menyebut polisi memakai teknik penyiksaan di penjara rahasia hingga korban mengaku dirinya gay. Korban lalu diminta mengungkap daftar nama orang-orang gay yang ia kenal, sebagai target polisi selanjutnya.
Pada 2017 sekurang-kurangnya terdapat 100-an korban represi di mana tiga di antaranya tewas sebagai korban extrajudicial killing. Diskriminasi di Chechnya tergolong sistematis sekaligus kultural, sehingga kasus pada dua tahun lalu hanyalah pengulangan sekaligus permulaan.
Pertengahan Januari 2018 beberapa media besar melaporkan temuan terbaru Russian LGBT Network yang menyebutkan ada 40 korban baru perburuan LGBT di Chechnya. Dua lainnya tewas akibat penyiksaan keras.
SBS News melaporkan para korban ditangkap lalu ditahan di Kota Argun yang terletak di selatan Chechnya. Dokumen pribadi korban disita agar tidak ada yang berani keluar Chechnya. Mereka kena tuduhan palsu, dipaksa menanda tangani formulir kosong, dan diancam anggota keluarganya akan dipersekusi.
Pemimpin Chechnya Ramzan Kadyrov selalu melayangkan bantahan. Salah satu juru bicaranya, Alvi Karimov, mengatakan berita seputar represi terhadap LGBT di Chechnya sebagai berita bohong. Padahal laporan tersebut dianggap kredibel oleh beberapa organisasi kemanusiaan internasional, termasuk Amnesty International.
Apa yang terjadi di Chechnya sebagai gambaran fobia yang lebih luas terhadap LGBT yang masih membelit di Rusia hingga hari ini. Titik baliknya terjadi pada 2013 ketika Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani aturan penyebar luasan propaganda hubungan seksual non-tradisional kepada anak di bawah umur.
Guardian menyebutnya sebagai langkah “Kremlin untuk mendorong pengabadian nilai-nilai yang sangat konservatif, yang menurut para kritikus telah menyebabkan peningkatan yang tajam kasus kekerasan anti-gay.”
Hukuman bagi pelanggar tidak berat. Tapi aturan itu membuat orang-orang LGBT berstatus sebagai warga buangan di Rusia. Mereka otomatis dilarang untuk membela hak-hak kesetaraan mereka secara terbuka. Lebih lanjut lagi, aturan itu juga kerap dijadikan dalih untuk mengeraskan persekusi.
Kadyrov jadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab terhadap perburuan LGBT di Chechnya. Sebab, selain menyangkal, ia juga membuat kerap membuat pernyataan maupun kebijakan-kebijakan yang anti-LGBT.
Dalam wawancara bersama BBC tahun lalu, misalnya, Kadyrov menganggapnya sebagai berita soal penangkapan ilegal hingga penyiksaan LGBT di Chechnya sebagai propaganda pihak asing atau diciptakan oleh para aktivis mata duitan.
Ia tergolong sebagai pemimpin yang ganjil. Voxmeledeknya sebagai “Tiran Buas dan Seleb Instagram". The Independentmenyebutnya “Raja-Ksatria Chechnya”. Daily Beast mewartakan, “Setelah mendapat transfusi darah dari seorang keturunan Muhammad, kini dia mengklaim punya darah nabi.”
Di luar segala keganjilan itu, ada satu predikat yang tidak pernah melekat ke Kadyrov dan pemerintahannya: demokratis. Sikap otoriter Kadyrov terbukti salah satunya pada 2017, saat ia menyita perhatian dunia dengan mendirikan kamp konsentrasi untuk kaum homoseksual.
Kadyrov baru berusia 31 tahun ketika ditunjuk Putin jadi presiden Chechnya pada 2007. Chechnya adalah anggota Federasi Rusia yang didominasi oleh Muslim. Banyak yang mengaitkan sikap anti-LGBT-nya terhadap fakta tersebut. Bahwa Kadyrov tidak menyukai keberadaan LGBT karena bertentangan dengan ajaran agama.
Kenyataannya, banyak sisi kehidupan Kadyrov yang kontradiktif. Ia misalnya menganjurkan agar perempuan yang dinilai tak berpakaian serba tertutup sesuai syariah dipermalukan, tapi menghantam oposisi Islamis.
Ia gemar dansa-dansi, pesta, dan menyatakan “bangsa yang lupa akan tarian, ritme, dan musik nasional sesungguhnya berhenti jadi bangsa”, tapi juga mencitrakan diri sebagai seorang yang saleh, sembari mengklaim bahwa putranya yang berusia 6 tahun sudah hapal kitab suci.
Ia memberangus oposisi liberal-sekuler, tapi gemar mengundang selebritas liberal macam Hillary Swank yang dekat dengan Michelle Obama.
Kontradiksi itu tidak terlihat dalam sikapnya terhadap LGBT. Dalam wawancara untuk acara Real Sports with Bryant Gumbel di HBO, mengutip Washington Post, Kadyrov tidak hanya membantah berita negatif soal perlakuan rezimnya terhadap orang-orang gay. Ia bahwa menyatakan tidak ada orang-orang LGBT di Chechnya.
“Jika pun ada, bawa mereka ke Kanada. Puji Tuhan. Bawa mereka jauh dari kita agar kita tidak memilikinya di rumah. Untuk membersihkan darah kita, jadi jika ada di sini, bawa mereka.”
Tanpa diminta pun orang-orang LGBT sebenarnya berupaya keluar dari Chechnya. Laporan Olga Prosvirova untuk BBC Russian, misalnya, mengungkap lusinan warga Chechnya yang mengajukan suaka ke beberapa negara di Eropa. Mereka tidak tahan menghadapi diskriminasi sampai ancaman pembunuhan oleh preman-preman lokal.
Salah satu narasumber Olga yang bernama Alvi Karimov mengatakan sudah ada pikiran untuk bunuh diri pada usia remaja. Di saat itu ia sudah yakin bahwa dirinya seorang gay, tapi ia juga tahu bahwa lingkungan tinggalnya tidak ramah kepada LGBT.
Narasumber lain yang bernama Marko langsung mendapat ancaman pembunuhan dari keluarganya sendiri sejak menyatakan diri sebagai seorang lesbian. “Mereka bilang padaku ‘antara kami akan membunuhmu atau kami akan kurung kau di bangsal psikiater dan buang kuncinya’.”
Sebelum meninggalkan Chechnya Marko sempat mencoba disembuhkan keluarganya lewat ruqyah. Ia dibawa kakak laki-lakinya ke sebuah masjid dan memberi tahu seorang kyai bahwa Marko dirasuki setan. Kyai kemudian memegang kepalanya sambil membaca ayat-ayat kitab suci.
“Aku tahu bahwa aku harus merespons seperti orang kerasukan. Aku pernah nonton videonya di YouTube. Jadi aku melakukannya, dan berteriak ada tujuh setan yang merasukiku,” ungkap Marko.
Dua jam berselang, lanjutnya, semua orang bergembira karena Marko dianggap telah terbebas dari setan LGBT. Ia dinyatakan sudah sembuh, alias kembali menjadi perempuan dengan orientasi seksual yang “normal”. Saking gembiranya, Marko langsung dijodohkan dengan seorang pria untuk menikah dalam waktu dekat.
Marko berhasil kabur ke luar negeri sebelum pernikahan berlangsung. Ia tentu saja masih berstatus sebagai lesbian, sebab kini menjalani hidup yang bahagia bersama pacar perempuannya.
Maklum, bigot di Chechnya percaya kepada pemikiran salah kaprah yang diamini bigot di lain tempat: menganggap LGBT sebagai penyakit, yang bisa disembuhkan dengan ritual keagamaan.
Editor: Suhendra