tirto.id - “Kondom paling efektif dan salah satu alat kontrasepsi paling aman. Masalahnya dengan kondom adalah pas beli.”
Ketika Ernest Prakasa melontarkan pernyataan tersebut di acarastand-up comedy “Ernest Prakasa & The Oriental Bandits”, penonton sontak tertawa keras. Pelawak yang belakangan juga merambah ke dunia penyutradaan film itu itu tersenyum lalu mengatakan bahwa membeli kondom adalah pengalaman yang merepotkan bagi laki-laki.
“Beli kondom itu susah, man. Walau gue sudah punya istri, anak, tapi kalau gue beli kondom ke minimarket, gue merasa ditatap dengan tatapan yang curiga sama kasirnya. Ujung-ujungnya apa? Pasti enggak cuma beli kondom doang, tumpuk minimal mi instan satu,” katanya.
Setali tiga uang dengan Ernest, Adi, dan Dino mengaku malu saat mereka membeli kondom. Namun, perasaan tersebut hanya dirasakan ketika membeli alat kontrasepsi itu untuk pertama kali.
Kepada Tirto, Adi mengaku sebulan sekali membeli kondom sewaktu masih duduk di bangku kuliah, 2011 hingga 2014. Laki-laki berusia 29 tahun ini biasa membeli kondom dari minimarket yang jauh dari tempat tinggalnya atau yang jarang dikunjungi.
Cara tadi, menurutnya, menjadi solusi untuk mengenyahkan rasa malu sewaktu membeli kondom. “Soalnya belum nikah dan seks di luar nikah masih dianggap tabu. Jadi strateginya begitu,” katanya.
Sementara bagi Dino, aktivitas membeli kondom membuat orang lain tahu bahwa ia bakal melakukan aktivitas seksual. Awalnya Dino malu, tapi jadi terbiasa setelah berulangkali membeli kondom.
Pria usia 29 tahun ini pertama kali membeli kondom pada 2005 dan tetap menggunakannya hingga 2017. Ia mengaku lebih nyaman beli kondom di minimarket karena barang bisa langsung diambil tanpa dilayani. Komunikasi yang terjalin dengan kasir pun minim. Sementara jika membeli di apotek, ia mesti berinteraksi dengan penjaga rumah obat juga menyebutkan jenama kondom.
Apa yang dirasakan Dino dan Adi juga dialami Sari (23 tahun). Ia merasa canggung saat beberapa kali membeli kondom di minimarket. “Pas beli kesekian, kasirnya perempuan, itu melihatku dengan pandangan jijik. Tapi pengalamanku sesudahnya nggak di-judge sih, [meski] aku enggak tahu apa yang ada di pikiran mereka,” ujarnya.
Sari mengatakan kepada Tirto bahwa ia mulai membeli kondom sejak tahun 2016. Sampai saat ini, ia selalu merasa canggung di hadapan kasir sampai-sampai menghindari kontak mata. Jika harus mengantre di minimarket saat membeli kondom, Sari memilih untuk menghabiskan waktu dengan memutar-mutar di sekitar rak barang dalam toko hingga kasir kosong.
Sari mengaku biasa membeli barang lain saat membeli kondom di minimarket. “Biasanya makanan, pokoknya selain rokok,” terangnya. Sari mengatakan ada minimarket yang menjual kondom di dekat rak rokok serta kasir, ada pula yang tidak. “Kalau ada di counter dekat rokok, jadi diambilin sama petugasnya, aku mengurungkan niat buat membeli. Mending pindah toko,” ungkapnya.
Rasa malu yang menyergap, menurut Sari, berpengaruh ke frekuensi membeli kondom. “Iya ngaruh. Biasanya aku melimpahkan ke partner saja. Ia beli di minimarket yang jauh sekalian. Jadi malu itu terjadi juga di cowok,” katanya. Sari menekankan pentingnya keamanan saat berhubungan seksual sehingga kondom memang perlu dibeli ketika dibutuhkan.
Tak Cuma di Indonesia
Menurut Sarah G. Moore dari Duke University beserta rekan-rekan dalam penelitian berjudul “Coping with Condom Embarassment” (2006), penggunaan kondom yang konsisten terdiri dari lima aktivitas, yakni membeli, membawa, menyimpan, menggunakan, dan membuang.
Dari 497 individu yang terdiri dari 209 perempuan dan 280 laki-laki yang menjadi responden riset, 64 persen di antaranya merasa malu saat melakukan satu atau lebih kegiatan pemakaian kondom yang konsisten.
Membeli kondom menempati posisi pertama sebagai aktivitas yang paling memalukan bagi responden (60,6 persen). Sebanyak 55,2 persen responden laki-laki dan 68,5 persen perempuan merasa malu saat membeli kondom. Sebaliknya, menyimpan kondom dilakukan dengan paling sedikit rasa malu. Hanya sekitar 21,7 persen responden yang malu saat menyimpan kondom.
Untuk mengatasi rasa malu, 96,9 persen subjek penelitian menggunakan coping strategy yang terdiri dari dua macam, yaitu usaha kognitif dan perilaku. Contoh usaha perilaku yang dilakukan adalah membeli kondom di luar lingkungan tempat tinggal, sementara upaya kognitif dilakukan dengan mensugesti pikiran agar tak perlu malu sebab semua orang membeli kondom.
Menurut Moore, dkk, rasa malu terkait kondom menunjukkan beban penggunaan alat kontrasepsi tersebut secara konsisten, terutama pada kelompok young adult atau kategori dewasa awal.
Kesimpulan Moore, dkk, sebetulnya pernah ditekankan juga oleh Darren W. Dahl, Gerald J. Gorn, dan Charles B. Weinberg dalam riset bertajuk “The Impact of Embarrassment on Condom Purchase Behaviour” (1998). Dari 93 mahasiswa dan 37 mahasiswi University of British Columbia yang mereka teliti, 33 persen dan 30 persen responden pria serta perempuan merasa hanya sedikit malu ketika membeli kondom. Selain itu, ada 26 persen responden laki-laki dan 27 persen perempuan yang malu saat membeli alat kontrasepsi tersebut.
Dahl, Gorn, dan Weinberg lantas mengatakan bahwa rasa malu yang muncul berpengaruh pada perilaku membeli kondom. Mereka menjadi lebih jarang dan lebih sedikit membeli alat kontrasepsi tersebut.
Di Indonesia, data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 memperlihatkan tingkat putus-pakai (penggunaan tak konsisten) kondom termasuk tinggi, yaitu sebesar 27 persen. Angka ini terbesar ketiga setelah metode kontrasepsi lainnya.
Direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY Gama Triono menyatakan hal itu terjadi karena anggapan masyarakat yang masih menilai kondom sebagai alat penunjang aktivitas seksual belaka. “Seksualitas di Indonesia dipersempit maknanya menjadi penetrasi penis ke vagina. Hal itu akhirnya membentuk cara pandang orang terkait kondom. Kondom yang sebenarnya memiliki empat fungsi dianggap hanya sebagai alat untuk mendukung hubungan seksual,” katanya kepada Tirto.
Menurut Gama Triono, kondom berfungsi sebagai alat pencegah kehamilan, penyakit kelamin, dan virus HIV. “Kemudian sebagai alat [yang] mendukung relasi seksual yang setara. Dalam artian, kondom terutama kondom laki-laki itu satu-satunya alat kontrasepsi yang dinikmati oleh kedua pasangan. Nah, alat kontrasepsi yang lain sebenarnya kontrol terhadap tubuh perempuan,” terangnya.
Terakhir, ia mengatakan kondom memenuhi aspek higienis ketika digunakan di lingkungan tak kondusif, misalnya di tengah bencana alam.
Gama Triono mengatakan bahwa pendidikan tentang seksualitas dan upaya untuk mendorong keterbukaan antarpasangan perlu dilakukan agar kondom sebagai alat kontrasepsi bisa digunakan dan berfungsi sebagai mestinya. Ia dan rekan-rekannya di PKBI DIY juga mengampanyekan proteksi ganda di mana kondom wajib dipakai meski pasangan telah memakai metode kontrasepsi lainnya untuk menangkal persebaran HIV.
Editor: Windu Jusuf