tirto.id - Sejak 1831, di Madura telah hadir Korps Barisan Madura yang merupakan bagian dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL yang berpusat di Bangkalan. Para serdadu rendahannya berasal dari rakyat biasa, sementara para perwiranya adalah golongan raden atau priyayi Madura. Namun tak jarang perwira lain dari KNIL ditempatkan di korps ini yang mendapat pantauan dari Gubernur Jawa Timur. Di masa revolusi, sejarah Korps Barisan Madoera diteruskan oleh Barisan Tjakra.
Menurut catatan RP Suyono dalam Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003:325-326), pada 1916 hanya terdapat 151 orang Madura dari total 30.402 anggota KNIL. Meski jumlahnya tidak sebanyak orang-orang dari Jawa, Minahasa, dan Ambon, tetapi setidaknya terdapat dua orang Madura yang kariernya cukup gemilang sebagai tentara kolonial, salah satunya Raden Ario Majang Koro.
Saat masih remaja, tepatnya pada Agustus 1848, Ario Majang Koro mendaftarkan sebagai anggota KNIL di Surabaya dengan nama Kaboon. Dia kemudian menjadi bagian Batalion Infanteri ke-13. Kaboon kelahiran 1832, dia berasal dari Bangkalan. Ketika bergabung dengan KNIL, usianya baru 16 tahun.
Pada 1849, dia bersama batalionnya dikirim ke Bali. Di Pulau Dewata, kecakapan dinilai baik. Dalam De Derde Balische Expeditie in Herinnering Gebracht (1874:135) disebutkan, Kaboon merupakan salah satu prajurit pribumi rendahan yang menerima bintang perunggu voor Moed en Trouw (Keberanian dan Kesetiaan) pada 1850. Menurut laporan surat kabar Het Vaderland (22/03/1931) dan Nieuwe Tilburgsche Courant (05/05/1931), sepulang dari Bali, yakni pada Januari 1850, Kaboon naik pangkat jadi kopral, dan naik lagi jadi sersan pada Juni di tahun yang sama.
Penugasannya tak hanya ke Bali, tapi juga ke sejumlah wilayah lain di Hindia Belanda. Menurut surat kabar Soerabaiasch Handelsblad (22/08/1898), Kaboon ditugaskan di Kalimantan Barat dari tahun 1853 hingga 1854. Kemudian warsa 1858, dia kembali dikirim ke Bali dalam operasi penumpasan Pembekel Njoman Gempol yang tidak mau tunduk kepada Belanda.
Setelah sembilan tahun jadi sersan, sejak 3 Juni 1859 dia bergabung dengan Korps Barisan Madura dan karier militernya kian cemerlang hingga mencapai pangkat kolonel. Saat berdinas di satuan inilah Kaboon dua kali terlibat dalam Perang Aceh. Dia kemudian dianugrahi bintang ksatria Militaire Willem Orde kelas empat.
Sosok Kaboon atau Raden Ario Majang Koro, menurut Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940 (2017:274), dinilai mengesankan oleh orang kebanyakan dan Korps Barisan Madura bisa menjadi ajang naik kelas. Meski demikian, sejumlah bangsawan tinggi Madura tidak tertarik mengirimkan anaknya untuk jadi perwira Korps Barisan Madura. Bagi mereka, pekerjaan itu tidak lebih baik daripada pegawai negeri sipil.
Kaboon sebetulnya bukan satu-satunya orang Madura yang menerima penghargaan bintang ksatria Militaire Willem Orde, tetapi ada juga Baidin yang sama-sama berasal dari Bangkalan. Menurut laporan Deli Courant (12/04/1937), Baidin masuk KNIL pada 1889. Dia dianggap berjasa dalam operasi militer di Sulawesi, antara 12 Juli 1905 hingga 1 Agustus 1906 di bawah komando Letnan HJ Voskuil.
Pangkat terakhir Baidin di KNIL adalah sersan. Dia menjalani masa pensiunnya di Salatiga--salah satu kota tangsi KNIL di Jawa Tengah. Koran De Locomotief (27/03/1937) sempat memberitakan perayaan 30 tahun penganugerahan Baidin sebagai ksatria Militaire Willem Orde.
KNIL Madura di Australia & Barisan Tjakra
Ketika bala tentara Jepang menyerbu Hindia Belanda, banyak serdadu-serdadu KNIL yang terpencar. Sebagian ditawan Jepang di Jawa atau Sumatra. Sebagian lagi, terutama yang bertugas di sekitar Indonesia timur, tidak tertangkap. Selain itu, ada pula yang melarikan diri ke Australia.
Mohamad Bondan (eks Digulis) yang pernah berada dalam pembuangan di Australia, mengumpulkan data-data serdadu yang berada di Australia: terhimpun di Arsip Nasional dengan nama "Arsip Muhammad Bondan 498: Daftar nama-nama orang Indonesia yang tinggal di Brisbane". Beberapa serdadu itu berasal dari Madura. Mereka tiba di Australia menggunakan kapal laut milik negara-negara sekutu, sebagian naik pesawat.
Para serdadu Madura yang menggunakan kapal antara lain: Moein (kelahiran Bilapura 12 Juni 1908), Salamoen (kelahiran Madura 12 Februari 1915), Mochamad Tabri (kelahiran Jadih 1 Februari 1916, Misroe (kelahiran Madura 12 Februari 1915), dan Basijar (kelahiran Larangan, Madura 1914). Mereka, kecuali Salamoen yang juru masak, merupakan serdadu infanteri (satuan prajurit pejalan kaki).
Sementara yang menggunakan pesawat antara lain: Baoei (kelahiran Gatelan, Madura, 12 Desember 1916), Noertilam (kelahiran Bilapura, Madura 1 Agustus 1905), Moebin (kelahiran Lancang, Madura, 11 Oktober 1916), dan Sarnawi (kelahiran Madura 11 Desember 1916).
Para serdadu KNIL masuk ke Australia sejak 1942. Mereka yang tiba di Australia antara 1944 hingga 1945, kemungkinan besar sebelumnya berada di daerah-daerah yang tidak tersentuh oleh tentara Jepang, seperti di Indonesia timur. Mereka baru bisa kembali pulang ke Indonesia setelah 1945.
Pada masa revolusi, Belanda menampung para mantan perwira Korps Barisan Madura seperti Raden Panji Abdul Azis, Raden Panji Abdulrachman, dan Raden Panji Abdul Rivai atau Raden Ammar. Mereka mendukung Belanda untuk kembali menduduki Indonesia dengan membentuk Barisan Tjakra. Para perwira pasukan ini terdiri dari anak-anak priyayi Madura yang pro Belanda.
Editor: Irfan Teguh