tirto.id - Pemilihan umum atau pemilu dengan sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka sama-sama pernah diterapkan di Indonesia. Namun, hingga kini penerapan kedua sistem itu masih memunculkan perdebatan.
Sistem proporsional (perwakilan berimbang) mengacu pada bentuk pemilihan umum legislatif yang digelar untuk memperebutkan beberapa kursi wakil rakyat berdasarkan perolehan suara dari suatu wilayah pemilihan. Mengutip buku karya Dhuroruddin Mashad, Reformasi Sistem Pemilu dan Peran Sospol ABRI (1998), dalam sistem proporsional, jumlah kursi parlemen yang diraih sebuah parpol akan ditentukan perolehan suaranya di setiap kesatuan administratif pemilih.
Dengan demikian, pengertian sistem proporsional adalah sistem pemilu yang menetapkan proporsi kursi raihan partai politik di suatu daerah pemilihan secara berimbang dengan perolehan suaranya di wilayah tersebut.
Pemilihan umum legislatif dengan sistem proporsional sudah diterapkan semenjak pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Sistem proporsional ini dipadukan dengan sistem multipartai.
Pada pemilu-pemilu berikutnya, termasuk di era Orde Baru, sistem proporsional terus diterapkan, tetapi dengan berbagai modifikasi. Di antara modifikasi itu ialah sistem proporsional daftar tertutup dan sistem proporsional daftar terbuka.
Apa Itu Sistem Pemilu Proporsional Tertutup dan Terbuka?
Menukil dari buku Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis (2015) karya Muhadam Labolo dan Teguh Ilham, sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilu legislatif yang memberikan wenenang kepada partai politik untuk bisa menentukan kandidat pengisi kursi parlemen yang dimenangkannya.
Maka itu, di sistem proporsional tertutup, rakyat diarahkan untuk memilih partai politik peserta pemilu alih-alih kandidat wakilnya di parlemen. Pemilihan nama kandidat yang duduk di parlemen menjadi hak penuh dari partai politik yang memenangkan kursi.
Adapun sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilu yang memberikan kesempatan kepada rakyat supaya memilih partai sekaligus kandidat wakilnya di parlemen. Dengan demikian, penentu kandidat yang duduk di parlemen tidak sepenuhnya partai politik peraih kursi. Karena itulah dalam sistem proporsional terbuka, pemilih tidak hanya dapat mencoblos partai, tapi juga nama kandidat anggota legislatif pilihannya.
Sistem proporsional daftar tertutup pernah dilaksanakan di Indonesia pada era sebelum reformasi, tepatnya sejak Pemilu 1971. Sementara itu, prinsip proporsional terbuka setidaknya mulai dirintis penerapannya dalam Pemilu 2004. Sistem proporsional terbuka baru benar-benar diberlakukan di Pemilu 2009.
Menukil dari artikel Didik Supriyanto di situs Rumah Pemilu, wacana penerapan sistem proporsional terbuka mengemuka saat gelombang demokratisasi menguat usai Pemilu 1999. Pada awal dekade 2000-an, sistem proporsional tertutup menuai kritik.
Sistem itu dianggap bagian dari anasir Orde Baru yang anti-demokrasi. Sebab, rakyat hanya bisa memilih partai politik di pemilu, sementara calon legislatif terpilih ditentukan oleh parpol. Padahal, pilihan partai belum tentu sama dengan kehendak pemilih. Selain itu, sistem proporsional tertutup dinilai melanggengkan keberadaan anggota legislatif yang dekat dengan elite parpol.
Meskipun demikian, pendukung sistem proporsional tertutup juga ikut bersuara. Mereka beralasan banyak negara demokratis di dunia masih memakai sistem proporsional tertutup dalam pemilu. Di sisi lain, rakyat (pemilih) masih dapat mengetahui daftar calon legislatif yang diajukan oleh partai.
Maka itu, terjadi perdebatan alot menjelang Pemilu 2004. Sebagai jalan tengah, UU No. 12 Tahun 2003 yang menjadi landasan Pemilu 2004 mengadopsi unsur-unsur dari kedua sistem. Itulah yang menyebabkan Pemilu 2004 dianggap menggunakan sistem "proporsional setengah terbuka."
Di Pemilu 2004, nomor urut daftar calon anggota legislatif disusun oleh partai, bukan berdasarkan hasil undian. Adapun pemilih bisa mencoblos parpol atau calon legislatif yang dipilih.
Akan tetapi, seorang calon legislatif bisa terpilih jika memperoleh BPP (bilangan pembagi pemilih) 100 persen. Jika tidak ada kandidat peraih BPP 100 persen, calon legislatif terpilih ditentukan oleh nomor urut yang disusun partai peraih suara. Akibatnya, hanya ada 3 gelintir anggota DPR RI hasil pemilu 2004 yang benar-benar terpilih berdasarkan 100 persen BPP.
Pengaruh unsur sistem proporsional terbuka semakin menguat di UU Nomor 10 Tahun 2008 yang disahkan untuk menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 2009. Hanya saja, formula penetapan kandidat anggota legislatif terpilih masih memakai rumusan 30 persen BPP (turun dari 100 persen BPP).
Ketentuan terakhir yang mengindikasikan adanya unsur sistem proporsional tertutup itu kemudian digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK akhirnya membatalkan ketentuan terakhir, dan mengubahnya menjadi lebih selaras dengan sistem pemilu proporsional terbuka, yakni para calon anggota legislatif terpilih ditentukan oleh perolehan suara terbanyak.
Sejak Pemilu 2009, yang lantas berlanjut pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, sistem proporsional terbuka diterapkan di Indonesia. Sekalipun begitu, masih muncul kritik karena daftar calon masih disajikan sesuai nomor urut yang disusun partai, dan pemilih pun tetap bisa memilih parpol.
Selain itu, sistem proporsional terbuka dituding telah membuat politik uang makin parah, memicu kemunculan banyak calon anggota legislatif bermodalkan harta dan popularitas belaka, serta tidak terbukti dapat memastikan munculnya wakil rakyat yang berkualitas di parlemen.
Penulis: Arni Arta Rahayu
Editor: Addi M Idhom