tirto.id - Ramainya kritik publik soal revisi UU KPK di tahun 2019 membuat anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan naik pitam. Suaranya meninggi, tangannya diangkat ke depan muka, jari telunjuknya mengarah kepada Feri Amsari yang menjabat Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas. Lalu inilah yang keluar dari mulutnya: “Jangan bicara rakyat, kamu ikut pemilu dulu. Ikut pemilu dulu. Kalau kamu ikut pemilu, kamu dipilih, kamu wakil rakyat Indonesia! Jangan bicara wakil rakyat kamu.”
Terlepas dari pernyataan yang dilesatkan dalam diskusi di acara Mata Najwa itu di luar substansi masalah, Arteria memang bisa berbangga diri karena dia dipilih banyak orang sehingga mampu menjadi anggota parlemen. Dia memperoleh 108.259 suara atau terbanyak keempat dari daerah pemilihan Jawa Timur VI yang meliputi Kabupaten Blitar, Kediri, Tulungagung, Kota Blitar, dan Kota Kediri.
Pemilihan Arteria, dan anggota DPR lain, adalah imbas dari sistem proporsional terbuka yang dianut Indonesia sejak 2004. Dengan sistem ini, masyarakat bisa mengetahui dan memilih daftar calon anggota legislatif yang akan mewakili mereka. Muka si calon terpampang di lembaran surat suara.
Lawan dari itu adalah sistem proporsional tertutup. Sistem ini tidak mengharuskan partai menampilkan wajah anggotanya di surat suara. Masyarakat cukup mencoblos partai--yang sekiranya akan membawa aspirasi mereka. Partai-lah yang akan memilihkan siapa anggota yang akan dikirim ke Senayan.
Dalam sistem proporsional tertutup, anggota dewan dipilih berdasarkan nomor urut. Misalnya begini: anggaplah partai memberi Arteria nomor urut satu. Jika suara partai mencapai batas tertentu yang membuatnya menang di dapil, Arteria, karena ada di posisi pertama, akan otomatis jadi anggota DPR. Apabila partai mendapat jatah dua kursi, maka nomor urut seterusnya yang akan terpilih.
Siapa orang yang diusung partai? Publik sangat mungkin tidak tahu sama sekali.
Sistem proporsional tertutup ini ditolak oleh hampir seluruh partai yang ada di DPR. Hanya ada satu yang setuju, yakni pemenang Pemilu 2014 dan 2019: PDIP.
Jika sistem ini yang berlaku, tentu omongan Arteria di awal jadi tidak relevan. Dia bukan terpilih karena rakyat yang menghendaki, melainkan partai.
Mengapa Proporsional Terbuka?
Sistem proporsional terbuka tidak ujug-ujug digunakan. Di masa lalu justru sistem sebaliknya-lah yang berlaku. Dari era Demokrasi Terpimpin Sukarno pada 1955 hingga masa Orde Baru Soeharto, Indonesia menggunakan proportional representation system yang sama saja dengan sistem proporsional tertutup.
Sistem ini mulai diganti dengan semi terbuka ketika era Reformasi, tepatnya pada 2004.
Sebelum itu terjadi perdebatan. Pada 1999, pemerintah yang diwakili oleh Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid ingin menggunakan sistem pemilu distrik yang dikombinasikan dengan proporsional. Sebaliknya, DPR menghendaki pemilu dengan sistem lawas lawas seperti era Orde Baru.
Dalam artikel jurnal berjudul Dinamika Sistem Pemilu Masa Transisi di Indonesia (2014), Indra Pahlevi mencatat pemerintah yakin Indonesia “mampu mencapai dua sasaran sekaligus, yaitu akuntabilitas wakil rakyat serta keterwakilan penduduk dan daerah dengan berbagai alasan yang dikemukakan” jika sistem baru diterapkan. Namun fraksi-fraksi di DPR meragukan, mulai dari F-ABRI hingga F-PDI.
Jika sistem ini dijalankan, maka tetap ada 495 anggota DPR dengan rincian 427 kursi mewakili distrik dan 68 diperoleh melalui sistem proporsional.
Pada akhirnya pemerintah dan DPR tetap sepakat dengan bunyi Pasal 1 ayat (7) UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum: “Pemilihan Umum dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar.” Dengan demikian, Pemilu 1999 masih menggunakan sistem proporsional tertutup.
Satu alasan mengapa upaya menerapkan sistem baru tidak surut meski Pemilu 1999 usai adalah karena itu memiliki kekurangan yang tidak selaras dengan semangat demokrasi. Poltracking Indonesia mencatat proporsional tertutup punya sisi negatif, mulai dari tertutupnya pengondisian kandidat anggota parlemen hingga menguatnya oligarki partai. Sistem ini memungkinkan mereka yang terpilih bukan orang-orang yang dekat dengan konstituen, melainkan yang dekat dengan pimpinan partai belaka.
Muhtar Haboddin dalamartikelberjudul Relasi Parlemen Dengan Konstituen (2016) berargumen, jika orang-orang hanya memilih partai, maka “kandidat (anggota parlemen) lebih didorong untuk melakukan pendekatan kepada elite partai ketimbang calon pemilih untuk nomor urut jadi.” Masyarakat didorong agar lebih mengenal partai daripada kandidat dan rekam jejaknya, yang memungkinkan partai memperkuat oligarki politik mereka.
Dengan sistem ini, maka bisa muncul juga tokoh-tokoh “karbitan”--yang menurut Muhtar akan lebih akrab dengan elite daripada masyarakat biasa.
Dalam jajak pendapattahun 2005 di 10 provinsi, Kompas menemukan sebagian besar responden beranggapan hal yang sama: bahwa anggota parlemen akan lebih mengutamakan kepentingan partai daripada masyarakat.
Maka, Muhtar berkesimpulan, yang terjadi adalah defisit demokrasi.
“Wakil rakyat/pejabat publik tidak memiliki hubungan sistemik dengan rakyat pemilihnya. Begitu sudah terpilih menjadi anggota parlemen, hubungan dengan konstituennya juga terputus. Dengan kata lain, rakyat hanya dibutuhkan ketika hari pemilihan. Kalau mereka sudah duduk di parlemen, jangan harap mereka akan ingat rakyat.”
Merosotnya Kepercayaan Publik
Bukan berarti sistem proporsional terbuka tanpa cela. Sebagian pihak sepakat bahwa demokrasi dalam sistem proporsional terbuka harus dibayar mahal dan marak politik uang. Mereka misalnya bisa jadi anggota parlemen hanya karena dikenal di daerah karena banyak uang (lewat kampanye yang masif, misalnya). Ketika berhasil duduk di parlemen, wakil rakyat semacam ini mungkin akan lebih fokus berupaya mendapatkan kembali dana kampanye.
Tapi juga proporsional tertutup mungkin sampai pada masalah yang sama. Kendati dianggap lebih minim, tapi politik uang di proses penyaringan internal partai masih ada. Mereka berlomba-lomba memperebutkan nomor urut kecil agar kemungkinan lolos lebih besar.
Selain itu, sistem proporsional tertutup yang diharapkan akan menguatkan institusionalisasi partai belum tentu berjalan. Perkara paling besar, masyarakat diharuskan memilih partai, padahal bisa saja orang-orang hanya menggemari tokoh tertentu yang dianggap bisa dipercaya--terlepas dari partai politiknya.
Bahkan partai termasuk institusi yang paling tidak dipercaya masyarakat, menurut survei Indikator Politik Indonesia tahun 2022. Dari 1.200 responden, hanya 56,6% responden yang menganggap partai bisa dipercaya. Angka ini bahkan ada di bawah DPR yang berisi wakil-wakil partai dengan angka 62,6%.
Angkanya semakin merosot pada Oktober. Jajak pendapat Lingkaran Survei Indonesia (LSI) mencatat tingkat kepercayaan masyarakat kepada partai hanya 44%, sementara DPR hanya 4 persen lebih tinggi.
Jika pun ada yang yang sepakat dengan sistem proporsional tertutup, mereka tetap membubuhkan beberapa catatan. Misalnya, perlu ada survei terbuka untuk penetapan calon-calon partai peserta pemilu. Kemudian juga wajah calon anggota legislatif partai harus dipampang di tempat pemungutan suara (TPS) agar masyarakat tahu siapa yang bakal lolos jika partai tersebut menang.
Saran lain adalah menggunakan sistem distrik dan campuran proporsional tertutup seperti pernah dianjurkan pada tahun 1999 silam. Di atas kertas, sistem ini mampu untuk merekatkan hubungan antara anggota parlemen terpilih dan konstituen.
Yang jelas, sistem proporsional tertutup tidak menjadi pilihan utama dan justru dianggap langkah mundur dalam proses demokrasi. Apalagi kepercayaan pada partai politik kian menurun. Kalau ini diterapkan, apa namanya kalau bukan dipaksa mencoblos?
Editor: Rio Apinino