Menuju konten utama

Politik Uang Muncul Karena Lemahnya Sistem Proporsional Terbuka

Sistem elektoral di Indonesia masih membuka peluang bagi jual-beli suara dalam pemilu.

Politik Uang Muncul Karena Lemahnya Sistem Proporsional Terbuka
Seseorang memberikan suaranya saat Pemilihan Umum di sebuah TPS di Jakarta, Rabu (17/4/2019). AP/Dita Alangkara

tirto.id - "Saya ingin modus mereka diketahui publik. Mereka punya struktur dari tingkat komisioner KPU, PPK, sampai TPS," kata Eka Budi Santoso, caleg DPR RI pada Pemilu 2019 dari Partai Perindo.

Kepada Detik, pria yang kerap disapa Kusnaya itu mengaku telah menyetor uang Rp50 juta kepada komisioner KPU Karawang, Asep Mukhsin. Uang itu adalah biaya perantara belaka. Selanjutnya, Kusnaya bertemu dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) sebanyak 12 orang. Mereka menerima uang Rp600 juta.

Kusnaya mengaku, Rp600 juta itu dibagi berdasarkan hitungan Rp20 ribu per suara. Semestinya, Kusnaya mendapat 30 ribu suara untuk memuluskan jalannya ke parlemen. Namun karena gagal, dia kemudian sakit hati dan membongkar praktik busuk tersebut.

Pemilu kemarin jadi penentuan seseorang menjabat wakil rakyat di DPR dengan penghasilan kira-kira Rp60 juta per bulan. Jumlah Rp650 juta yang dikeluarkan Kusnaya terbilang kecil mengingat keuntungan dan akses kekuasaan yang bisa didapat selama lima tahun berikutnya jika ia berhasil.

Bawaslu, seperti dikutip CNN, memperkirakan ada delapan modus politik uang dalam rangka jual-beli suara. Beberapa di antaranya adalah memanfaatkan sisa surat suara yang belum terpakai, menuliskan hasil perolehan suara yang berbeda dari yang seharusnya, pengalihan suara parpol kepada calon tertentu dengan alasan urusan internal partai, pengalihan suara atau pengurangan suara dengan alasan tak teliti, dan membagi-bagikan uang pada masa kampanye atau hari H pencoblosan (serangan fajar).

Jalan Pintas Mengatasi Kampanye Mahal

Apa yang dibayarkan oleh Kusnaya sebenarnya tidak seberapa dibandingkan dana kampanye yang sesungguhnya. Beberapa caleg dan calon kepala daerah menghabiskan uang dalam jumlah sangat besar untuk merebut suara—tidak termasuk jika mereka juga melakukan praktik jual-beli suara seperti Kusnaya.

Di sisi lain ada beberapa caleg atau bakal caleg yang justru kesulitan mencari dana kampanye. Bakal caleg dari Partai Solidaritas Indonesia, Agnesal Putra Silaban, misalnya, mengaku kesulitan mencari modal kampanye. Menurut laporan CNN, dia membuka donasi publik dengan target dana Rp250 juta. Uang segitu menurutnya sudah merupakan paket “super hemat.” Jumlah yang ditargetkan Agnesal itu bahkan tidak mencapai dana kampanye minimum untuk menjadi anggota DPRD berdasarkan perhitungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI).

Hasil riset LPEM UI pada 2014 menyimpulkan bahwa investasi yang mesti dikeluarkan caleg agar peluang menangnya besar berkisar antara Rp787 juta sampai Rp1,18 miliar, sedangkan untuk DPRD kisarannya Rp 320-481 juta. LPEM menuliskan,"investasi politik sebesar angka ini tidak menjamin caleg akan terpilih. Tapi, jika kurang dari angka tersebut, peluang terpilih sangat kecil."

Untuk menjadi kepala daerah, biaya politik juga tidak sedikit. KPK menyebut, dari pengakuan kepala daerah yang tertangkap melakukan korupsi, motif kejahatan mereka semata-mata karena pengeluaran ekonomi selama kampanye. Beberapa di antaranya mengatakan telah mengeluarkan uang Rp20-30 miliar untuk pilkada. Kementerian Dalam Negeri bahkan menyebut ada yang mencapai Rp100 miliar.

Persaingan sengit membuat caleg dan cakada, meminjam kalimat Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini seperti dilansir BBC, menjalani “perilaku yang penting menang, apapun caranya, karena memang kompetisinya sangat sengit.” Barangkali karena itulah Bawaslu mengakui tantangan mereka di Pilkada 2020 adalah money politics.

Sementara itu Edward Aspinall dan kawan-kawan mencatat bahwa politik uang dalam bentuk serangan fajar ternyata sangat efisien, utamanya pada pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah. Dalam Democracy for Sale: Pemilihan Umum. Klientelisme, dan Negara di Indonesia (2019), Aspinall dan kawan-kawan menemukan bahwa 60-80 persen orang memilih calon anggota yang memberikan mereka uang atau barang. Sedangkan 40-60 persen tidak masalah memberikan suaranya kepada kepala daerah dengan imbalan balik uang atau barang.

“Pola umumnya jelas: semakin besar jumlah total pemilih, semakin rendah tingkat pembelian suara,” tulis Aspinall.

Aspinall menambahkan, agar politik uang ini lebih efektif, maka perlu ada timbal balik terhadap broker atau tokoh berpengaruh di daerah tersebut. Caranya bermacam-macam, misalnya dengan "pembuatan jalan baru, atau ketua koperasi yang telah mendapatkan sapi—yang menjadi broker dari pemberian sang politisi, dan membujuk anggota masyarakatnya untuk membalasnya dengan memberikan suara."

Proporsional Terbuka Bermasalah

Dalam makalah berjudul "Sistem Elektoral Indonesia Mengapa Perlu Direformasi" (2019, PDF) yang ditulis Marcus Mietzner terungkap bahwa persoalan jual-beli suara tidak cuma timbul lantaran lemahnya sistem pemilu, tapi juga menyangkut semua aspek; terutama pendanaan partai yang amburadul, peran oligarki, dan merajalelanya klientelisme.

Pada 2019 negara mengalokasikan Rp126 miliar untuk seluruh partai yang memiliki perwakilan di DPR. Secara keseluruhan, jumlah dana yang digelontorkan negara setiap tahun untuk partai politik di semua tingkatan mencapai sekitar Rp466,2 miliar.

Jumlah itu tak mampu menutup pengeluaran partai. Pada 2016 KPK memperkirakan bahwa biaya operasional partai, tidak termasuk biaya kampanye, nyaris mencapai angka Rp9,3 triliun. Hasilnya partai harus mengisi sisanya dari dana pribadi alias uang kader dan sumbangan sponsor. Tuntutan lainnya: kader-kader mereka harus menjadi pemenang agar bisa mendapat uang lebih banyak, baik sebagai anggota DPR atau kepala daerah.

Infografik Jual Beli Suara di Pemilu 2019

Infografik Jual Beli Suara di Pemilu 2019. tirto.id/Fuadi

Pemerintah juga membatasi jumlah partai politik dengan memperbesar ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Selain itu, partai harus punya pengurus cabang minimal dari 75 persen kabupaten/kota. Mietzner menilai hal ini justru menghambat demokrasi karena ongkos politik menjadi sangat besar dan sulit bagi partai baru untuk masuk dalam kontestasi elektoral. Peraturan ini malah menimbulkan peluang bagi oligarki yang mempunyai sumber dana mencukupi.

"Hanya elite-elite dalam lingkar oligarki dengan sumber daya besarlah yang mampu mendanai biaya operasional partai di seluruh wilayah di kepulauan Indonesia. Oleh karena itu, menjelang Pemilu 2019, hanya ada empat partai baru yang muncul—dan semua didukung secara finansial oleh para taipan, termasuk putra Soeharto, Tommy," catat Mietzner.

Bentuk klientelisme yang paling kentara dalam pemilu Indonesia adalah politik uang. Pangkalnya, menurut Mietzner, adalah sistem proporsional terbuka yang dianut pemilu Indonesia. Dengan begini, kandidat benar-benar bersaing dengan kader internal partai sendiri daripada partai lain. Kursi yang didapat partai akan jatuh kepada mereka yang mendapatkan suara paling tinggi sebagai individu.

Sistem ini membuat kader bekerja keras mempromosikan diri sendiri daripada partai. Visi-misi partai menjadi nomor dua bagi para kandidat karena mereka fokus mempromosikan diri sendiri. Biasanya mereka menonjolkan diri dengan kepribadian yang unik atau rekam jejak yang membuat orang berdecak kagum. "Tetapi ada cara yang lebih mudah," tulis Mietzner, "yaitu membeli suara."

Pada Pemilu 2019 Mietzner melihat jumlah kasus jual-beli suara sebenarnya relatif turun. Hanya saja politik uang tampil dalam bentuk lain, yakni sumbangan finansial. Wujud sumbangan itu misalnya mendanai tim sepakbola setempat atau pembangunan masjid.

“Konsekuensi yang paling fatal dari penerapan sistem proporsional terbuka adalah menjamurnya praktik jual-beli suara,” lanjut Mietzner.

Proporsional terbuka, selain melemahkan partai politik dalam pemilu, juga membuat persaingan menjadi tidak sehat. Intinya, siapapun yang punya uang lebih berpeluang menang dan membuat sistem demokrasi hanya menguntungkan sebagian pihak.

Baca juga artikel terkait POLITIK UANG atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan