tirto.id - Pengamat pertanian, Dwi Andrea Santosa mengaku data pangan pemerintah terutama padi seringkali tak akurat. Menurutnya, pemerintah masih memiliki basis data pertanian yang tidak tertata dengan baik.
"Ini bagaimana tata kelola pangan yang amburadul. Selisih data bisa 47 persen. Ini kan dampaknya luar biasa," ucap Dwi yang juga menjabat sebagai Associate Researcher CORE Indonesia di sela-sela CORE Outlook 2019 pada Rabu (21/11/2018).
Angka 47 persen yang Dwi sebut merujuk kepada penyimpangan data yang diperoleh ketika membandingkan data pertanian Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data yang ia miliki pada tahun 2018.
Sebelum tahun 2018, Dwi juga mengaku sempat membandingkan data pertanian yang ia miliki dengan pemerintah (red. Kementerian Pertanian). Hasilnya, terdapat penyimpangan data senilai 39 persen.
Selain selisih data pertanian yang menunjukkan adanya penyimpangan, Dwi juga mengungkapkan kekesalannya pada prediksi produksi beras yang sempat diklaim oleh pemerintah mengalami kenaikan. Namun, hasil pantauan citra satelit menyimpulkan tidak ada kenaikan produksi beras.
Hal itu dalam ingatannya terjadi pada tahun 2015. Kala itu, Dwi mengkaji akan terjadi penurunan produksi beras, tetapi pemerintah mengklaim naik bahkan surplus 10 juta ton.
Ia pun mengingat pada November tahun 2015, pemerintah malah melakukan impor beras. Tidak hanya itu, kekesalannya pun terulang pada tahun 2017. Ketika itu, ia mencanangkan bahwa produksi beras akan mengalami penurunan, tetapi pemerintah menyebut adanya kenaikan.
"Padahal untuk meningkatkan produksi padi tiap tahun itu sangat susah. Satu persen saja kita sudah bisa swasembada," ucap Dwi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Yantina Debora