tirto.id - Komnas HAM menyoroti draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) versi terbaru. Salah satu yang disoroti adalah tindak pidana pelanggaran HAM berat di dalam RKUHP sebagian besar diadopsi dari Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Menurut Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah secara prinsip dan asas delik pelanggaran HAM berat memiliki prinsip dan asas yang tidak sama dengan tindak pidana biasa, meski dalam RKUHP disebut tindak pidana khusus.
Kemudian dalam delik pelanggaran HAM berat dikenal dengan asas retroaktif dan prinsip tidak mengenal kedaluwarsa. Jika RKUHP tidak memasukkan dua asas tersebut, maka akan timbul masalah baru.
"Maka 15 peristiwa pelanggaran HAM berat yang selesai dilakukan penyelidikannya oleh Komnas HAM, dapat dianggap tidak ada, bahkan tidak pernah terjadi. Faktanya, kami masih bisa menemukan korban-korban atas peristiwa tersebut," ucap Anis Hidayah, di kantor Komnas HAM, Senin (5/12/2022).
Dalam draf RKUHP yang akan disahkan DPR dalam rapat paripurna terdekat, Komnas HAM menganalisis adanya kecenderungan ancaman pemidanaan penjara yang menurun ketimbang ancaman yang ada di UU Pengadilan HAM.
Untuk kejahatan genosida, UU Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 25 tahun; sedangkan dalam RKUHP paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun -merujuk kepada Pasal 598 RKUHP versi 30 November 2022.
Lantas bagi tindak pidana terhadap kemanusiaan, UU Pengadilan HAM mengatur ancaman pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 25 tahun; sedangkan dalam RKUHP diatur bahwa ancaman pidana penjara akan tergantung pada delik yang disangkakan, namun paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun (Pasal 599 RKHUP versi 30 November 2022).
"Dalam RKUHP, maksimal penghukuman hanya 20 tahun, sehingga sifat kekhususan (extra ordinary crime) dari delik perbuatan pelanggaran HAM yang berat telah direduksi oleh tindak pidana biasa. Sehingga harapan hukum untuk menimbulkan efek jera (aspek retributif) maupun ketidakberulangan menjadi tidak jelas," terang Anis.
Ihwal genosida dan kejahatan kemanusiaan dalam RKUHP, Komnas HAM menilai adanya pelemahan bobot kejahatan atau tindak pidana tersebut, dan berkonsekuensi mengubah kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa. Lalu juga akan mengaburkan sifat khusus yang ada dalam kejahatan, berpotensi menimbulkan kesulitan dalam melakukan penuntutan atau penyelesaian kejahatan yang efektif.
Anis juga mengatakan terdapat ketidakjelasan hukum dengan instrumen hukum lain yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP, serta memiliki potensi celah hukum.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Bayu Septianto