Menuju konten utama
Ombudsman:

Pemerintah Perlu Investasi Alkes untuk 8 Penyakit Katastropik

Investasi alat kesehatan untuk 8 penyakit katastropik bisa mengurangi beban biaya yang ditanggung BPJS.

Pemerintah Perlu Investasi Alkes untuk 8 Penyakit Katastropik
Petugas melayani pelanggan di Kantor Cabang Utama BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Senin (27/11/2017). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Ombudsman Republik Indonesia meminta pemerintah menginvestasikan alat kesehatan untuk delapan jenis penyakit katastropik: jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, thalasemia, sirosis hati, leukimia, dan hemofilia.

Dilakukannya hal ini untuk mengurangi beban biaya yang ditanggung BPJS. "Untuk penyakit katastropik mungkin pemerintah perlu investasi dana di sana," kata Komisioner Ombudsman, Dadan Suparjo Sumaharwijaya di kantornya Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (29/11).

Dadan melihat pasien penyakit katastropik umumnya harus menjalani pengobatan selama berulang kali. Mereka yang terkena sakit ginjal misalnya mesti cuci darah secara berkala, begitu juga pasien kanker yang mesti melakukan kemoterapi berulang kali.

Kondisi ini menurut Dadan membuat tagihan rumah sakit ke BPJS membengkak. "Jadi pemerintah tidak bayar ke rumah sakit. Karena BPJS yang sediakan alat tersebut untuk ditempatkan di rumah sakit," ujarnya.

Selain itu, Ombudsman juga menentang wacana penghapusan layanan BPJS bagi pasien penderita delapan penyakit katastropik. Karena tujuan diadakannya BPJS justru untuk mengurangi beban biaya berobat masyarakat yang mengalami sakit berat. "Kalau pilek buat apa ditanggung BPJS," ujarnya.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Ombudsman, beban biaya yang mesti ditanggung BPJS terjadi bukan karena adanya pasien katastropik. Tapi karena BPJS hanya menggantungkan pemasukan dari iuran masyarakat dan suntikan dana pemerintah. "Menurut kami ketergantungan ini harus sudah dilepas dengan cara meningkatkan jumlah kepesertaan BPJS," kata Dadan.

Meningkatkan jumlah kepesertaan menjadi penting untuk menambah pemasukan BPJS. Berdasarkan hitungan Ombudsman, kata Dadan, apabila seluruh masyarakat Indonesia menjadi peserta BPJS maka sudah pasti bisa menutupi beban tagihan yang ditanggung BPJS sekarang.

Dadan mengatakan ada beragam sebab mengapa masyarakat masih enggan menjadi peserta BPJS. Pertama, karena masih adanya perbedaan layanan antara pasien BPJS dan non-BPJS oleh rumah sakit. Pasien BPJS terkesan dinomorduakan.

Bahkan dalam temuan Ombudsman ada banyak rumah sakit yang menolak pasien BPJS dengan alasan ruangan penuh karena mereka membutuhkan dana tunai untuk memenuhi kebutuhan operasional.

Dadan menjelaskan selama ini pencairan dana dari BPJS atas klaim rumah sakit membutuhkan waktu 14 hari. Namun faktanya pencairan kadang masih tertunda karena faktor alotnya penghitungan klaim antara pihak rumah sakit dan BPJS Kesehatan. Padahal tidak semua rumah sakit punya modal operasional cukup selama menunggu pecairan tagihan pasien BPJS.

Faktor kedua yang membuat masyarakat enggan bergabung menjadi peserta BPJS adalah adanya kesan bahwa layanan BPJS hanya untuk masyarakat miskin. "Padahal tidak. BPJS untuk semua," ujar Dadan.

Hal ketiga yang bikin masyarakat ogah ikut BPJS adalah karena layanan fasilitas kesehatan BPJS untuk penyakit berat belum hadir di rumah sakit-rumah sakit yang ada di pelosok daerah. Padahal masyarakat di daerah memiliki beban membayar iuran yang sama dengan masyarakat perkotaan. "Harusnya Kemenkes buat fasilitas kesehatan merata hingga ke pelosok," katanya.

Baca juga artikel terkait KATASTROPIK atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Alexander Haryanto