Menuju konten utama

PM Jepang Potong Gaji untuk Efisiensi, Bagaimana Indonesia?

Dari simbol ke sistem, langkah Takaichi di Jepang menunjukkan bahwa reformasi birokrasi dimulai dari diri sendiri.

PM Jepang Potong Gaji untuk Efisiensi, Bagaimana Indonesia?
Perdana Menteri baru Jepang, Sanae Takaichi, berbicara dalam konferensi pers di kantor perdana menteri di Tokyo pada 21 Oktober 2025. AFP Eugene Hoshiko / POOL / AFP

tirto.id - Rencana kebijakan progresif datang dari Negeri Matahari Terbit. Belum sebulan menjabat, Perdana Menteri (PM) Jepang, Sanae Takaichi membuat gebrakan. Dia berencana merevisi undang-undang remunerasi pegawai negeri untuk memotong gaji seluruh anggota kabinet, termasuk dirinya sendiri.

Rencana ini menjadi salah satu upaya Takaichi untuk melakukan reformasi administrasi dan efisiensi anggaran. Berdasarkan laporan The Japan Times, rencana ini akan dibahas dalam sidang luar biasa parlemen yang tengah berlangsung.

"Takaichi tampaknya bertujuan untuk menunjukkan komitmennya terhadap reformasi dengan mewujudkan seruannya yang sudah lama untuk memotong gaji menteri Kabinet," tulis The Japan Times, Sabtu (8/11/2025).

Gerakan reformasi ini juga mendapat dukungan dari mitra koalisi baru Partai Demokrat Liberal, yakni Partai Inovasi Jepang (Nippon Ishin no Kai), yang turut menyerukan pengurangan berbagai hak istimewa anggota parlemen.

Sebagai konteks, anggota parlemen Jepang saat ini menerima gaji bulanan sekitar 1,29 juta yen atau Rp140 juta. Sementara perdana menteri dan para menteri kabinet masing-masing memperoleh sekitar 1,15 juta yen (Rp125 juta) dan 489 ribu yen (Rp53 juta).

Namun, sebagai bagian dari langkah-langkah pemotongan biaya yang sedang berlangsung, Perdana Menteri saat ini mengembalikan 30 persen dari gaji tambahan, dan para menteri mengembalikan 20 persen dari yang mereka terima. Hal ini, menurut Kepala Sekretaris Kabinet Jepang Minoru Kihara, secara efektif mengurangi tunjangan mereka masing-masing menjadi sekitar 390 ribu yen (Rp42,3 juta) dan 110 ribu yen (Rp11,9 juta).

"Ini adalah inisiatif yang luar biasa," kata salah satu pemimpin Partai Inovasi Jepang, Fumitake Fujita, memuji upaya reformasi Takaichi.

Namun, tak semua pihak sependapat. Pemimpin Partai Demokrat untuk Rakyat, Yuichiro Tamaki, justru mengkritik rencana tersebut. Pendekatan tersebut dinilai simbol, “pola pikir deflasi,” mengingat pemerintah saat ini tengah berupaya mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga.

"Saya memiliki perasaan campur aduk," kata seorang anggota kabinet yang sedang menjabat, seperti dikutip ANInews.

Ingat lagi kebijakan efisiensi anggaran di Indonesia

Sebelum reformasi Takaichi, Pemerintah Indonesia bahkan lebih dulu menggaungkan semangat efisiensi anggaran. Bahkan, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menjadikan efisiensi sebagai salah satu agenda utama sejak awal masa jabatannya.

Komitmen itu tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.

Salah satu poin penting dalam Inpres tersebut adalah pembatasan anggaran perjalanan dinas bagi kepala daerah, mulai dari gubernur, bupati, hingga wali kota. Kebijakan ini merupakan bagian dari target efisiensi nasional sebesar Rp306,69 triliun di seluruh APBN dan APBD tahun 2025.

Pemerintah merencanakan program efisiensi ini dalam tiga tahap. Tahap pertama berasal dari pos Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN) senilai sekitar Rp300 triliun. Tahap kedua dilakukan melalui penyisiran anggaran di seluruh kementerian dan lembaga, hingga ke satuan belanja paling rinci atau satuan ke-9.

Sesuai dengan Inpres Nomor 1 Tahun 2025, putaran efisiensi ini telah rampung pada 14 Februari 2025. Hasilnya, total anggaran negara yang dapat dihemat mencapai Rp308 triliun, lebih besar dibanding target sebelumnya yakni Rp306,69 triliun.

Pada putaran ketiga, penghematan akan dilakukan melalui dividen sebesar Rp300 triliun yang mampu dikumpulkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 2025. Dari jumlah itu, Rp200 triliun masuk ke kantong negara dan Rp100 triliun lainnya dikembalikan ke BUMN sebagai Penyertaan Modal Negara (PMN).

“Jadi, totalnya kita punya (anggaran hasil penghematan) Rp750 T (triliun),” kata Prabowo, dalam sambutannya di acara puncak Hari Ulang Tahun Partai Gerindra ke-17 di SICC, Bogor, Sabtu (15/2/2025).

Saat menyampaikan pidato di Sidang Tahunan MPR 2025, Presiden Prabowo mengklaim bahwa total Rp300 triliun telah diamankannya dari keborosan dan kebocoran anggaran melalui langkah efisiensi. Menurutnya, efisiensi anggaran juga menyelamatkan APBN dari upaya korupsi yang masih menjadi penyakit dan belum terobati hingga kini.

Kepala negara menjabarkan sejumlah kantong anggaran yang telah ditekannya dalam rangka efisiensi. Di antaranya adalah anggaran perjalanan dinas luar negeri dan dalam negeri serta anggaran alat tulis kantor

"Itu lah sebabnya di awal tahun 2025 ini kami telah identifikasi dan telah selamatkan uang Rp300 triliun dari APBN yang kami lihat rawan diselewengkan," kata Prabowo saat Sidang Tahunan DPR, MPR, dan DPD RI di Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, Jumat (15/8/2025).

Sidang Tahunan MPR RI

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato dalam Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR-DPD RI Tahun 2025 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/8/2025). ANTARAFOTO/Rivan Awal Lingga/app/rwa.

Efisiensi di Tengah Gemuknya Kabinet

Meski kebijakan efisiensi anggaran ala pemerintahan Prabowo Subianto diklaim berhasil menyelamatkan sejumlah pos belanja negara, di sisi lain publik tetap menyoroti berbagai langkah pemerintah yang dianggap boros.

Salah satu sorotan utama datang dari komposisi Kabinet Merah Putih yang dinilai terlalu gemuk. Kabinet ini mencakup 48 kementerian dengan total 109 menteri dan wakil menteri. Jumlah tersebut terdiri atas tujuh kementerian koordinator dan 41 kementerian teknis, belum termasuk beberapa posisi pimpinan badan dan wakil menteri tambahan, yang ditunjuk belakangan.

Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya pembengkakan anggaran, terutama pada pos belanja pegawai pemerintah pusat.

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) memperkirakan gemuknya struktur kabinet dapat meningkatkan belanja pegawai antara 20 hingga 30 persen. Peningkatan ini tak hanya berasal dari gaji pokok, tetapi juga berbagai tunjangan, fasilitas, serta kebutuhan operasional masing-masing kementerian.

Perbandingan dengan pemerintahan sebelumnya memperkuat kekhawatiran tersebut. Menurut perhitungan Center of Economic and Law Studies (Celios), kabinet Presiden Joko Widodo yang beranggotakan 34 menteri dan 17 wakil menteri membutuhkan anggaran sekitar Rp387,6 miliar per tahun.

Sementara itu, kabinet Prabowo dengan 49 menteri dan 59 wakil menteri diperkirakan menelan biaya hingga Rp777 miliar per tahun, atau hampir dua kali lipat dari pemerintahan sebelumnya.

Pertanyaannya kemudian, haruskah Indonesia meniru langkah Jepang dengan memotong gaji seluruh anggota kabinet demi efisiensi anggaran?

Simbol Etika, Bukan Solusi Fiskal

Peneliti FITRA, Badiul Hadi, menilai kebijakan pemotongan gaji anggota kabinet seperti yang dilakukan PM Jepang, Takaichi, memiliki nilai simbolik yang kuat. Meski demikian, ia menilai langkah pemotongan gaji pejabat publik tidak selalu berdampak besar terhadap keuangan negara.

Dalam konteks Indonesia, menurut Badiul, kebijakan semacam itu bisa relevan secara etis dan politis, terutama untuk menegaskan solidaritas dan empati di tengah situasi ekonomi yang belum stabil dan penuh tantangan. Namun dari sisi efektivitas fiskal, kebijakan ini dinilai tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap APBN.

“Kebijakan seperti itu lebih bersifat simbolik daripada substansial,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Rabu (12/11/2025).

Ia menambahkan, kebijakan ini hanya akan bermakna apabila menjadi bagian dari reformasi tata kelola keuangan negara yang lebih luas, mencakup pembenahan fasilitas, tunjangan, perjalanan dinas, dan belanja non-produktif. Tanpa langkah-langkah struktural tersebut, pemotongan gaji hanya akan menjadi gestur politik tanpa efek nyata terhadap efisiensi anggaran.

“Kalau di Jepang pemotongan gaji kabinet menjadi simbol moral dan solidaritas. Di Indonesia langkah serupa hanya akan bermakna bila diikuti reformasi struktural yang nyata, bagaimana uang publik dikelola lebih efisien, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat,” ujarnya.

Sidang kabinet paripurna setahun Prabowo-Gibran

Presiden Prabowo Subianto (tengah) didampingi Wapres Gibran Rakabuming raka (kiri) menjabat tangan para menteri dan pejabat setingkat menteri Kabinet Merah Putih sebelum Sidang Kabinet Paripurna di Kantor Presiden, Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/10/2025). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/bar

Hal senada diungkapkan Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat. Ia menilai pemotongan gaji kabinet Jepang lebih bersifat simbolik ketimbang substansial secara fiskal.

Menurutnya, Jepang menyadari bahwa menghemat beberapa juta yen tidak akan mengubah rasio utang negara yang mencapai 260 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, tindakan tersebut mengirim pesan kuat bahwa penghematan harus dimulai dari pucuk pimpinan.

Analogi sederhananya, kata Achmad, seperti kepala keluarga yang menurunkan gaya hidupnya terlebih dahulu sebelum meminta anak-anak berhemat. Penghematan kecil mungkin tidak menyelamatkan keuangan rumah tangga secara signifikan, tetapi teladan itulah yang mampu mengubah perilaku.

“Indonesia sesungguhnya membutuhkan simbol moral semacam ini. Kepercayaan publik terhadap belanja negara sering terkikis oleh gaya hidup pejabat yang kontras dengan pesan 'efisiensi' dari podium,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (12/11/2025).

Achmad menilai bahwa kebijakan pemotongan gaji anggota kabinet atau pejabat secara keseluruhan, meski dampaknya kecil secara fiskal akan tetapi memiliki pengaruh besar secara moral dan politik.

Data APBN menunjukkan bahwa belanja pegawai pusat mencapai sekitar Rp513 triliun dari total anggaran Rp3.621 triliun. Namun, gaji dan tunjangan pejabat negara termasuk presiden, menteri, dan anggota DPR hanya sekitar Rp2 triliun, atau kurang dari 0,1 persen dari total belanja.

Jika seluruh pejabat tinggi memotong gajinya sebesar 30 persen, penghematan yang dihasilkan hanya sekitar Rp600 miliar per tahun, hampir tidak berdampak pada defisit APBN yang berada di atas Rp500 triliun.

“Tetapi nilai moralnya jauh lebih besar: ia menjadi sinyal bahwa pejabat bersedia berkorban lebih dulu, membuka ruang legitimasi untuk efisiensi yang lebih nyata di level kebijakan dan kelembagaan,” ujarnya.

Sudah Tepatkah Langkah Efisiensi di Indonesia?

Achmad dari UPN menambahkan, masalah efisiensi di Indonesia bukan karena ketiadaan niat, tetapi salah sasaran. Pemerintah sering memangkas proyek publik atau belanja modal yang justru mendukung pertumbuhan, sementara belanja operasional birokrasi dan fasilitas pejabat tetap utuh.

“Efisiensi justru paling efektif bila menyasar perjalanan dinas, rapat luar kota, honorarium, dan belanja seremonial yang rendah produktivitas. Mengurangi proyek publik berdampak pada masyarakat; memotong privilese pejabat berdampak pada moralitas negara,” ujarnya.

Ia menilai pemerintah memerlukan perubahan paradigma, di mana efisiensi tidak berarti menghambat pembangunan, tetapi menata ulang struktur pengeluaran aparatur agar sejalan dengan tujuan pelayanan publik.

Dalam hal efisiensi anggaran, Badiul dari FITRA menilai bahwa secara prinsip pemerintah telah mengambil langkah yang sistematis.

“Pemerintah mengedepankan reformasi struktural tata kelola keuangan negara melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja. Regulasi ini menjadi dasar hukum bagi penataan ulang pengeluaran negara yang diarahkan pada belanja produktif dan prioritas nasional,” ujarnya.

Menariknya, kebijakan ini juga diterjemahkan dalam rencana pemangkasan 15 jenis pos belanja pada tahun anggaran 2026. Pos-pos yang disasar meliputi perjalanan dinas, honor kegiatan, rapat, sewa gedung, jasa konsultan, hingga belanja seremonial.

Langkah ini dinilai lebih substansial karena menyasar sumber pemborosan yang selama ini tersembunyi dalam belanja rutin birokrasi.

“Artinya, langkah pemerintah sudah tepat arah, tetapi tetap perlu dijaga agar efisiensi tidak berhenti pada aspek administratif semata. Pemerintah harus memastikan bahwa hasil efisiensi benar-benar digunakan untuk memperkuat program pelayanan publik, bukan sekadar menjadi penghematan di atas kertas,” ujarnya.

Ia menambahkan, efisiensi seharusnya berorientasi pada kinerja dan manfaat publik, bukan sekadar pemangkasan anggaran. Transparansi hasil efisiensi perlu dijamin agar publik dapat memantau besaran dan alokasi penghematan yang terjadi.

“Reformasi birokrasi juga harus mencakup evaluasi tunjangan dan fasilitas pejabat, agar tidak terjadi ketimpangan antara efisiensi di tingkat bawah dan privilese di tingkat atas,” ujarnya.

Belajar dari kebijakan efisiensi ala Jepang

Achmad dari UPN menilai efisiensi sejati bukan sekadar soal penghematan rupiah, melainkan soal cara berpikir tentang uang publik. Menurutnya, Jepang menunjukkan bahwa efisiensi dapat dimulai dari tindakan kecil yang memiliki makna besar. Indonesia bisa meniru semangat ini dengan membangun moral fiskal, di mana pejabat publik memberi contoh pengorbanan di masa sulit.

“Ketika rakyat melihat pemimpinnya berhemat, pesan empati tersampaikan tanpa kata-kata. Ini bukan 'efisiensi administratif', melainkan efisiensi kepercayaan– mengembalikan keyakinan bahwa setiap rupiah uang pajak dikelola dengan tanggung jawab,” ujarnya.

Dari simbol ke sistem, langkah Takaichi di Jepang menunjukkan bahwa reformasi birokrasi dimulai dari diri sendiri. Indonesia bisa mengambil semangat tersebut, namun memperluasnya menjadi sistem yang lebih menyeluruh, melarang gaji ganda ASN, menertibkan tunjangan dan fasilitas, serta menata ulang belanja operasional agar berbasis hasil.

“Simbol efisiensi penting sebagai awal, tapi sistem efisiensi yang konsisten jauh lebih menentukan. Sebab bangsa besar bukanlah bangsa yang hanya pandai menghemat, melainkan yang mampu menggunakan uang publik dengan adil, transparan, dan beretika,” ujarnya.

Baca juga artikel terkait PM JEPANG atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Alfons Yoshio Hartanto