tirto.id - Umat Kristen di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat, dilarang merayakan Natal bersama, hanya diizinkan merayakan Natal di rumah masing-masing oleh pemerintah setempat dengan dalih “kesepakatan bersama,” demikian Sudarto dari Pusat Studi Antar Komunitas (PUSAKA) Padang, organisasi yang mengadvokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sumatera Barat, saat menyampaikan masalah itu di Jakarta, Sabtu kemarin.
Muasalnya, pada awal Desember 2019, umat Katolik yang menetap di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, mengajukan izin agar bisa beribadah dan merarayakan Natal bersama di satu rumah ibadah.
Namun, pemerintah Nagari Sikabau menolak, hanya membolehkan mereka beribadah dan merayakan Natal sendiri-sendiri di rumah masing-masing dan atau di gereja di luar Dharmasraya.
Hal itu berdasarkan rapat pemerintah setempat, pemerintah Nagari Sibakau, ninik mamak (tetua adat), tokoh masyarakat, pemuda Sikabau, dan pihak lainnya.
“Bersamaan dengan surat penolakan itu, Wali Nagari melampirkan surat pernyataan sikap penolakan warga," kata Sudarto.
Ia menjelaskan kejadian ini bukan kali pertama, tetapi sudah sejak 1985 ketika beberapa umat Katolik dari berbagai etnis Batak, Nias, Jawa, dan Tionghoa tinggal di kawasan tersebut. Mereka berlatar berbagai pekerjaan: TNI-Polri, PNS, buruh kasar, pedagang, hingga penagih kredit keliling. Jumlah umat Katolik di Dharmasraya sekarang ada sekitar 60 jiwa atau 22 kepala keluarga.
Awalnya, mereka secara diam-diam melakukan kebaktian di rumah salah satu umat Katolik. Kemudian, mereka membeli satu rumah untuk melakukan ibadah sebab gereja Katolik terdekat hanya di Kota Sawahlunto, berjarak sekitar 120 kilometer.
Mulanya mereka tidak mendapatkan gangguan. Namun, sekitar awal tahun 2000, sekelompok warga menolak pelaksanaan kebaktian dan membakar rumah sebagai tempat kebaktian umat Katolik itu.
“Alasannya salah seorang dari orang Kristen menyembelih babi untuk dimakan," ucap Sudarto.
Akibat pembakaran rumah ibadah itu, mereka dilarang melaksanakan kebaktian secara berjemaah sejak 2004 hingga 2009.
Setahun kemudian, perwakilan umat Katolik mendatangi pemuka masyarakat dan pemerintah Nagari untuk meminta izin kembali agar dapat melaksanakan ibadah bersama. Kemudian, perwakilan umat Katolik dan Wali Nagari serta tokoh adat bernegosiasi.
“Hasilnya, dari 2010 sampai 2017, umat Katolik dapat memanfaatkan rumah warga yang sudah dibangun kembali untuk kebaktian secara berjemaah," terangnya.
Pada 2017 terjadi pergantian Wali Nagari Sikabau. Kemudian, pada 22 Desember 2017, Wali Nagari Sikabau mengirimkan surat pemberitahuan, isinya melarang kegiatan perayaan Natal 2017 dan Tahun Baru 2018.
Surat itu hanya mengizinkan umat Katolik di Jorong Kampung Baru, Dharmasraya, melaksanakan ibadah secara individu di rumah masing-masing. Ia juga melarang umat Katolik di sana mengundang umat Kristen yang lain.
“Jika tidak dipatuhi, akan dilakukan tindakan secara tegas," ujar Sudarto.
Berdasarkan pernyataan sikap Wali Nagari, ninik mamak, tokoh masyarakat, dan pemuda Nagari Pulau Punjung, mereka tidak mengizinkan umat Kristen beribadah lantaran umat Kristen di daerah itu “bertambah banyak” demi “menghindari dampak sosial.”
Dasarnya, Wali Nagari Sikabau memegang teguh “Adat basandi syara, syara’ basandi Kitabullah.” Artinya, adat bersendi syariat dan syariat bersendi Al-Quran.
Sementara warga Kristen di Nagari Sungai Tambang, Kabupaten Sijunjung, juga mengalami kesulitan yang sama.
Ada tiga jemaat di Sijunjung, kabupaten tetangga dengan Dharmasraya ini: sekitar 120 kepala keluarga dari Huria Kristen Batak Protestan, 60 kepala keluarga dari Katolik, dan sekitar 30 kepala keluarga dari Gereja Bethel Indonesia (GBI).
Setiap tahun, menurut Sudarto, mereka dilarang merayakan ibadah kebaktian maupun Natal bersama oleh pemda setempat, hanya diizinkan menjalani ibadah di rumah masing-masing.
Problem mereka sama: mereka tak punya gereja sendiri, hanya punya rumah pribadi yang dipakai sebagai tempat ibadah.
Jemaat HKBP saat ini diizinkan menjalani kebaktian di rumah ibadah, menurut Sudarto, “mungkin karena HKBP ada hubungan personal dengan pemerintah dan tokoh adat setempat.”
Sementara jemaat GBI bila ingin merayakan ibadah bersama di gereja harus pergi ke gereja di Rimbo Bujang, Jambi, sekitar 196 km.
Adapun jemaat Katolik di Sijunjung menghadapi kesulitan yang sama sebagaimana umat Katolik di Dharmasraya: pergi ke Kota Sawahlunto untuk beribadah di gereja.
Meski larangan merayakan Natal bersama itu menyulitkan, umat Kristen di dua kabupaten di Sumatera Barat ini memilih “untuk pasrah dengan peraturan,” ujar Sudarto.
Merespons larangan ini, Sudarto telah membawa kasus larangan ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Komnas HAM: Pemerintah Melakukan Diskriminasi
Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara membenarkan perwakilan umat Kristen dari Dharmasraya dan Sijunjung telah melaporkan kejadian pelarangan beribadah itu kepada Komnas HAM.
Setelah pertemuan, Komnas HAM melakukan beberapa tindakan, seperti meminta Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno dan Kapolda Sumbar Irjen Fakhrizal memfasilitasi umat Kristen merayakan Natal bersama, ujar Beka.
Namun, Kapolda Fakhrizal tidak merespons permintaan Komnas HAM. Sementara Gubernur Irwan berdalih permasalahan ini sudah selesai di level pemerintah kabupaten lewat “kesepakatan bersama.”
Beka menilai pelarangan merayakan Natal dan ibadah bersama oleh pemerintah kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung merupakan tindakan diskriminatif.
"Pemerintah kabupaten seharusnya melayani dan melindungi semua warga negara tanpa diskriminasi berdasar latar belakang agama, suku, ras atau etnis," katanya kepada Tirto.
Pembatasan itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia, khususnya kebebasan beragama dan beribadah, melanggar pasal 1 ayat 6 Undang-Undang 39 tahun1999 tentang hak asasi manusia, ujar Beka.
Ia juga melanggar Konstitusi pasal 28 E ayat (1), yang menyatakan: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Beka berkata sudah selayaknya pemerintah melindungi dan memfasilitasi warga negara yang memiliki hak konstitusional merayakan hari raya besar, sebagaimana dilindungi pasal 29 ayat (2): “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Komisioner Komnas HAM telah mendorong Gubernur Irwan Prayitno membuat kebijakan dengan meminjamkan fasilitas publik di wilayahnya untuk perayaan Natal yang bermukim di Kabupaten Sijunjung dan Dharmasraya. Ia juga “meminta Kapolda Sumbar menjamin keamanan perayaan ibadah dan Natal bagi umat Kristen.”
Klaim Tidak Ada Larangan oleh Pemda Setempat
Kepala Humas Pemkab Dharmasraya Budi Waluyo berkata pemerintah setempat secara resmi tidak pernah melarang warga beribadah sesuai agama dan keyakinan masing masing.
Ia berkata ada kesepakatan antara tokoh masyarakat Nagari Sikabau dan umat Kristen dari warga transmigrasi di Jorong Kampung Baru.
"Kedua belah pihak sudah sepakat,” kata Budi, dikutip dari Kompas.com.
Adapun Sekretaris Daerah Sijunjung Zefnifan berkata “tidak ada pelarangan” merayakan Natal di kabupatennya.
Sementara Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Kombes Asep Adi Saputra mengklaim tidak ada larangan merayakan Natal dari dua pemerintah kabupaten di Sumbar itu.
Asep berkata telah ada “konsensus” antara pemerintah setempat dan umat Kristen untuk membatasi kegiatan keagamaan.
Isi “konsensus” itu mengizinkan umat Kristen beribadah dan merayakan Natal seperti biasa, tapi hanya dilakukan di rumah masing-masing. Jika berjemaah, mereka diimbau beribadah di rumah ibadah “resmi” seperti gereja.
Ia berkata kepolisian Indonesia bekerjasama dengan pemerintah kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung agar menjaga konsensus tersebut.
“Agar semuanya bisa terjaga dan pihak kepolisian khususnya di-backup oleh TNI dan pemerintah daerah, memberikan jaminan itu: tidak ada sama sekali larangan pelaksanaan ibadah menjelang Natal,” kata Asep.
Periksa Data Tirto pernah menerangkan salah satu problem umat minoritas agama di Indonesia adalah susah mendirikan rumah ibadah seperti gereja atau sebaliknya masjid.
Minimnya jumlah pemeluk agama tertentu di suatu wilayah, tulis Periksa Data Tirto, berdampak pada kesulitan pendirian rumah ibadah. Larangan ini disuburkan oleh peraturan mengenai tata cara pendirian rumah ibadah yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan No. 8 Tahun 2006.
Pasal 14 ayat 1 peraturan itu menyebut pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.
Menurut laporan data Tirto: sedikitnya ada 32 gereja yang ditutup selama periode pertama pemerintahan Joko Widodo.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Fahri Salam