Menuju konten utama

Pemerintah Diminta Transparan dalam Kebijakan Batas Emisi PLTU

"Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas, pemerintah diminta untuk membuka seluruh data emisi pembangkit listrik batu bara."

Pemerintah Diminta Transparan dalam Kebijakan Batas Emisi PLTU
Area pemukiman di sekitar PLTU Suralaya (3/6/2021). Warga Suralaya, Cilegon, Banten mengalami berbagai masalah kesehatan dan kegagalan panen akibat polusi udara dan debu batubara yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya. (tirto/Bhagavad Sambadha)

tirto.id - Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Andri Prasetyo menyoroti persoalan transparansi data kuota dan akuntabilitas emisi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara. Oleh sebab itu, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas, pemerintah diminta untuk membuka seluruh data emisi pembangkit listrik batu bara.

Kemudian, pemerintah juga harus membuka dasar kajian atas standar dan penentuan empat kategori Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi (PTBAE) pembangkit yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 16 tahun 2022.

“Publik berhak tahu secara menyeluruh dan dapat memeriksa mana PLTU yang paling banyak menghasilkan emisi karbon. Terutama melakukan pengawasan atas pembangkit yang diklaim pemerintah ramah lingkungan karena menggunakan teknologi terkini seperti supercritical atau ultra-supercritical. Apakah memang emisinya lebih rendah atau justru tidak, sebab di lapangan keluhan atas dampak PLTU tersebut masih sama,” kata Andri kepada tirto dalam keterangan resmi, Jakarta, Selasa (7/2/2023).

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (KESDM) menyatakan telah mengantongi sejumlah data kuota emisi PLTU batu bara. Pemerintah menyebut, ada 99 PLTU yang masuk dalam fase pertama PTBAE.

Lebih lanjut, pemerintah Indonesia saat ini juga masih melakukan Clean Coal Technology (CCT) dalam strategi dekarbonisasi Indonesia. Hal tersebut tertuang pada dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) yang dipublikasikan sebelum acara konferensi perubahan iklim global COP27 pada November 2022.

Penggunaan teknologi seperti CCT, disinyalir akan mengurangi emisi yang muncul akibat dari pembakaran energi kotor batu bara. Dari data ESDM, 7 PLTU sudah disiapkan dengan kapasitas sebesar 5.455 MW yang telah menerapkan teknologi supercritical atau ultra-supercritical.

Rencananya, pemerintah juga akan mengembangkan PLTU batu bara dengan CCT ultra-supercritical di 9 lokasi yang telah ditentukan di pulau Jawa dengan total kapasitas sebesar 10.139 MW hingga 2028.

“Upaya dekarbonisasi nasional, khususnya di sektor ketenagalistrikan, tidak cukup dengan upaya parsial dan jangka pendek seperti melakukan pembatasan emisi PLTU dan penggunaan Clean Coal Technology yang dalam praktiknya tidak mampu menekan emisi secara signifikan dari PLTU batu bara,” ucap Andri.

Menurut Andri, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan yang lebih progresif yang berorientasi jangka panjang demi memangkas emisi karbon di Indonesia dengan cara menghentikan penambahan PLTU batu bara baru.

Meski menggunakan CCT sekalipun, atau mereorientasikannya menjadi proyek bersih terbarukan sebagai pilihan dan solusi dalam proses akselerasi transisi energi.

Kemudian, Persoalan ketentuan Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU) untuk PLTU di luar wilayah PLN yang rencananya akan ditetapkan pada Desember 2024. Andri menilai, penetapan waktu yang tidak seimbang antara PLTU milik PLN dengan PLTU milik swasta hasilnya tidak akan memberikan kebijakan yang efektif.

“Tidak boleh ada perlakuan khusus bagi pembangkit swasta terkait dengan penetapan pembatasan emisi. Perbedaan waktu implementasi akan menjadi celah persoalan bagi pembangkit swasta untuk beroperasi di luar standar yang ditetapkan,” tegas Andri.

Selain itu, model offsetting lewat pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) juga menjadi perhatian khusus. Sebab, PLN sempat mengatakan bahwa, perseroan akan menerapkan perdagangan karbon dan offsetting dengan pembangkit EBT. Jika kuota emisi dari pembangkit PLN melebihi kuota emisi.

Peneliti dan Manajer Program Trend Asia, Amalya Reza mengingatkan kepada PLN, untuk tidak mengkategorikan sebuah solusi palsu co-firing biomassa sebagai bentuk offsetting tersebut.

“Jangan sampai implementasi co-firing biomassa dianggap sebagai aksi pengurangan emisi gas rumah kaca di PLTU, padahal itu solusi palsu,” Imbuh Amalya.

Amalya menegaskan, klaim pemerintah menghasilkan energi sebanyak 575,4 GWH listrik bersih atau netral karbon dari penerapan co-firing biomassa, sebenarnya hanya berasal dari asumsi yang keliru, bahwa pembakaran biomassa di PLTU tidak menghasilkan emisi apa – apa.

“Khawatirnya, klaim ini dilegitimasi melalui perhitungan PTBAE-PU, dan memungkinkan PLTU co-firing melakukan perdagangan karbon,” kata Amalya.

Andri kemudian menambahkan, data emisi antara PLTU batu bara baik dari PLN maupun swasta dari penerapan PTBAE, kedepannya akan menjadi data dan persyaratan pertimbangan penting untuk mengidentifikasi PLTU yang sejatinya nanti akan diprioritaskan untuk masuk sebagai pembangkit yang harus dihentikan atau dipensiunkan dini.

Pemberhentian pembangkit tersebut nantinya akan melalui inisiatif transisi energi sepert Energy Transition Mechanism (ETM) dan Just Energy Transition (JETP).

Baca juga artikel terkait EKBIS atau tulisan lainnya dari Hanif Reyhan Ghifari

tirto.id - News
Reporter: Hanif Reyhan Ghifari
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Reja Hidayat