tirto.id - Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang sedang dibahas oleh DPR RI dikritik oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil. Menurut mereka, banyak pasal dalam RUU tersebut yang hanya menawarkan solusi palsu untuk transisi energi di Indonesia.
Salah satu organisasi lingkungan yang mengkritik adalah Greenpeace Indonesia. Padahal, menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Hadi Priyanto, RUU tersebut harusnya untuk memastikan percepatan transisi energi berkeadilan demi mendorong pengurangan emisi karbon dan kenaikan suhu global, melalui berbagai insentif yang konkret untuk energi bersih dan terbarukan.
“Transisi energi yang berkeadilan juga akan memperkuat ketahanan energi dan menciptakan akses energi yang inklusif. Sayangnya, pemerintah dan DPR malah terus memberikan solusi palsu lewat RUU EBET,” kata Hadi dalam konferensi persnya bersama sejumlah perwakilan organisasi masyarakat sipil lainnya di Cikini, Jakarta, Senin (6/2/2023) pagi.
Selama ini, Indonesia memang sudah berupaya menekan emisi gas rumah kaca saat ikut komitmen global yang disepakati dalam Perjanjian Paris pada 2015. Indonesia berjanji mengurangi emisi karbon hingga 31.9% dengan kemampuan sendiri sampai 2030, seperti tertuang dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC).
Oleh karena itu, Hadi bilang bahwa transisi ke energi bersih dan terbarukan pun mendesak dilakukan untuk mengatasi krisis iklim yang mengancam. Dampak dari krisis iklim di antaranya terlihat dari peningkatan intensitas bencana hidrometeorologi, kenaikan permukaan air laut, dan cuaca ekstrem.
Namun, menurut sejumlah organisasi masyarakat sipil, dalam RUU EBET yang sedang digodok DPR RI dan Pemerintah, masih terdapat pasal yang membahas produk-produk turunan batu bara yang disebut sebagai “energi baru”—seperti gas metana batu bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified coal).
Kata Hadi, hal tersebut jelas menghambat penurunan emisi gas rumah kaca dan merupakan kemunduran untuk proses transisi energi.
Hal serupa juga dikritik oleh Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian, dalam konferensi pers yang sama. Menurutnya, jenis “energi baru” bukanlah sumber energi yang patut didorong untuk transisi energi berkelanjutan. Sumber energi baru seperti batu bara bukan hanya berisiko tinggi terhadap lingkungan, tetapi juga membebani keuangan negara. Kata Beyrra, gasifikasi batu bara, misalnya, diperkirakan akan merugikan negara sebesar US$ 377 juta per tahun.
Di sisi lain, lanjut Beyrra, pilihan energi terbarukan seharusnya mendorong transisi energi berkeadilan dan tidak memicu pemanfaatan sumber daya alam yang berpotensi merusak lingkungan.
“Biomassa pelet kayu memiliki potensi besar deforestasi ketika digunakan untuk memenuhi co-firing PLTU, sehingga seharusnya tidak direkomendasikan sebagai energi terbarukan. Karbon dioksida (CO2) dari deforestasi yang lepas ke atmosfer tidak serta-merta bisa diserap pohon. Sebaliknya, pembakaran biomassa hutan menciptakan “utang karbon” atau kelebihan karbon di atmosfer,” kata Beyrra.
“Pembahasan tentang energi baru dan beberapa jenis energi terbarukan menjadi tidak relevan dalam RUU EBET ini. Pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada substansi energi terbarukan yang mendukung penurunan emisi karbon, bukan sebaliknya,” tambahnya.
Menurut, Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo, justru beberapa energi yang masuk dalam kategori “energi baru” bukanlah barang baru. Katanya, masuknya energi-energi tersebut justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil.
“Teknologi yang disebut “energi baru” saat ini bukanlah barang baru, karena sudah ada sejak beberapa dekade yang lalu. Contohnya teknologi gasifikasi dan likuifaksi batu bara yang sudah dipakai Jerman sejak perang dunia kedua, carbon capture and storage sudah diuji coba di PLTU di Kanada dan Amerika tapi gagal. Dukungan terhadap energi baru ini memberikan sinyal untuk mempertahankan energi fosil seperti batu bara lebih lama di sistem energi dan menggantungkan dekarbonisasi pada opsi yang belum proven, padahal ada energi terbarukan yang sudah siap dan lebih murah untuk dimanfaatkan,” ujarnya.
Dalam RUU EBET, selain batu bara, ada nuklir yang akan dikembangkan sebagai energi baru Indonesia. Padahal jika dibandingkan dengan sumber energi terbarukan seperti angin dan matahari, pembangunan dan penggunaan nuklir memerlukan biaya tiga hingga lima kali lebih mahal—merujuk World Nuclear Industry Status Report (WNISR) 2019 yang dikutip oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil. Adapun WNISR 2022 mencatat, biaya pembangunan pembangkit energi matahari turun hingga 90 persen dan angin turun 72 persen, sedangkan nuklir justru naik 36 persen.
Menurut, Grita Anindarini dari Indonesian Center for Environmental Law, Pemerintah dan DPR harus menunda pengesahan RUU EBET dan memperbaiki RUU tersebut.
“Substansi draf rancangan undang-undang tersebut perlu dikembalikan pada tujuan transisi energi yang serius dan ambisius, bukannya malah berisi solusi palsu yang akan memperparah krisis iklim. Pemerintah dan DPR juga harus memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi publik, karena transisi energi tak akan berkeadilan jika prosesnya tidak demokratis,” kata Grita.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Reja Hidayat