tirto.id - Di Indonesia ada Sukarno. Di Kongo ada Patrice Lumumba. Keduanya sama-sama punya visi nasionalisme lintas-etnis dan lintas-golongan sebagai fondasi negara, yang mula-mula perlu diperjuangkan untuk merdeka. Bedanya, jika Sukarno meninggal karena sakit dan menua, riwayat Lumumba berakhir di pucuk senjata.
Deutsche Welle mencatat Lumumba lahir di desa Onalua pada 3 Juli 1925 dengan nama Elias Okit Asombo—khas suku Tetela, di mana ia menjadi bagian di dalamnya. Lelaki dengan nama tengah “Emery” itu keturunan sepasang orang tua yang tinggal di Katakombe, Provinsi Kasai, di masa Kongo masih dijajah Belgia.
Di luar pelajaran sekolah, Lumumba menaruh minat pada bacaan terkait cita-cita Era Pencerahan Jean Jacques Rousseau dan Voltaire. Ia juga menyukai karya-karya penulis Perancis lain seperti Moliere dan Victor Hugo. Semangat anti-imperialisme tumbuh, dan beberapa di antaranya ia tuangkan dalam puisi.
Pada 1955 ia mulai aktif di gerakan politik. Pemicunya adalah kebangkitan negara-negara berkembang pasca-Perang Dunia II. Sayangnya pada 1956 ia ditangkap atas tuduhan penggelapan duit sebesar 2.500 dolar di kantor pos tempatnya bekerja. Lumumba dipenjara 12 bulan plus dikenai denda.
Memerdekakan Negeri
Jeruji besi justru kian mengeraskan sikap anti-imperialisme dalam dada Lumumba. Thomas R. Kanza dalam The Rise and Fall of Patrice Lumumba: Conflict in the Congo (1978) mengisahkan Lumumba mendirikan Partai Mouvement National Congolais (MNC) pada awal Oktober 1958, atau tak lama setelah bebas. Ia segera menempati posisi sebagai ketua partai.
Kebaruan yang dibawa partai adalah gagasan nasionalis tanpa sentimen etnis. MNC ingin perjuangan bersama kaum anti-imperialis se-Kongo bisa terbangun tanpa sekat sektarian, tapi nasib yang sama. Gabungan karisma pribadi dan orasi Lumumba yang memikat membuat partai cepat meraih popularitas.
Orang-orang juga tertarik dengan gagasan Pan-Afrikanisme yang dibawa Lumumba. Pada Desember 1958 ia menghadiri Konferensi Rakyat Seluruh Afrika pertama di Accra, Ghana, di mana ia bertemu dengan para nasionalis dari seluruh benua.
Keinginan untuk merdeka makin tak terbendung. Setahun setelahnya pemerintah Belgia mengumumkan program menuju kemerdekaan Kongo dengan mula-mula menyelenggarakan pemilihan lokal pada 1959.
Lumumba dan kaum nasionalis lain menganggapnya sebagai taktik Belgia untuk menaikkan pemimpin boneka yang nantinya tidak pro-rakyat, tapi pro-kepentingan Belgia. Mereka kemudian menyerukan boikot pemilu.
Pemerintah Belgia merespon dengan represi. Kekacauan di Stanleyville (sekarang Kisangani) membunuh 30 orang. Lumumba dipenjara dengan tuduhan sebagai dalang di balik kerusuhan. MNC mengubah taktik. Mereka memutuskan ikut pemilu, dan menang besar di Stanleyville.
Pemerintah Belgia menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar di Brussels pada Januari 1960 untuk mendiskusikan nasib Kongo. MNC diundang, tapi menolak datang tanpa kehadiran Lumumba. Lumumba dibebaskan dari penjara kemudian diterbangkan ke Brussels. Hasilnya menggembirakan: Kongo akan merdeka pada 30 Juni 1960.
Pemilu nasional diselenggarakan satu bulan sebelumnya untuk menentukan partai pemenang yang akan menjadi pemerintahan mandiri pertama. MNC menang. Reputasi Lumumba meroket tajam sebagai figur nasionalis paling matang.
Meski ada beberapa usaha untuk mencegah kekuasaan MNC, Lumumba berhasil membentuk pemerintahan pertama Republik Kongo pada 23 Juni 1960 (berganti menjadi Republik Demokratik Kongo sejak 1965). Saat itu juga ia dilantik sebagai perdana menteri pertama.
Kongo tidak langsung stabil. Sebagaimana dialami negara berkembang yang baru merdeka, Lumumba berhadapan dengan pihak-pihak yang ingin mendirikan negara di dalam negara. Mereka didukung pendanaan hingga senjata dari orang-orang yang punya kepentingan di Kongo, termasuk Belgia.
Mengutip catatan Encyclopaedia Britannica, terjadi pemberontakan sejumlah tentara selang beberapa hari saja usai perayaan hari kemerdekaan. Motivasi utamanya adalah keberatan dengan komandan mereka, sekaligus memanfaatkan momentum di mana Kongo baru saat itu belum punya pertahanan kuat.
Moise Tshombe adalah politisi dan pebisnis Kongo yang membuat Lumumba kerepotan. Tshombe memproklamirkan Republik Katanga di Provinsi Katanga, Kongo bagian selatan. Katanga menarik Tshombe, selain untuk kekuasaan politik, juga karena memiliki sumber daya mineral yang melimpah.
Belgia mengirim pasukan untuk melindungi warga negara Belgia dari kekacuan di Katanga. Tapi sesampainya di sana mereka malah mendukung rezim separatis Tshombe.
Sebagai perdana menteri Lumumba berupaya sebisa mungkin untuk mengatasi problem separatisme dan kekacauan internal yang marak di beberapa wilayah. Pasukan militernya dalam kondisi yang tidak solid. Pemerintahan sipilnya belum berpengalaman mengelola negara. Aliansi politik yang menyokong rezimnya juga amat rapuh.
Pengkhianatan PBB
Lumumba kemudian meminta bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengeluarkan pasukan Belgia dari Kongo dan membantu mengembalikan kestabilan negara. Tidak ada jawaban yang jelas. Tentara Belgia tetap berjaga di tangsi-tangsi, dan keberadaan mereka makin menguatkan posisi rezim Tshombe.
Lumumba meminta bantuan kedua, yakni agar pasukan PBB membantu tentara Kongo dalam upaya meredam pemberontakan Katanga. Kali ini PBB menyediakan jawaban yang lebih tegas: menolak. Amerika Serikat sebagai sekutu utama PBB juga bersikap sama. Keduanya benar-benar tak bisa diharapkan.
Ia kemudian berpaling pada Uni Soviet, musuh utama AS dan Belgia sejak permulaan Perang Dingin, yang bersikap lebih hangat kepada Kongo. Lumumba juga tak lupa untuk meminta bantuan negara-negara baru Afrika lain, dengan mengadakan pertemuan pada Agustus 1960 di Leopoldville (ibukota Kongo sebelum diganti Kinshasa).
Manuver ini dianggap membahayakan oleh presiden Kongo pertama Joseph Kasa-Vubu, yang platform politiknya lebih konservatif. Ia berseberangan visi dengan Lumumba karena menginginkan negara yang lebih desentralisasi dan federal, sementara Lumumba membayangkan negara kesatuan yang tersentral.
Friksi kedua kubu makin lama makin memanas. Sebagaimana diceritakan Ludo De Witte dalam buku The Assasination of Lumumba (2005), puncaknya adalah saat Lumumba diberhentikan dari jabatannya oleh Kasa-Vubu pada 5 September karena dituduh sebagai komunis.
Seminggu setelah peristiwa pemberhentian Lumumba, giliran Joseph Mobutu yang bermanuver. Kepala staf tentara Kongo itu melakukan kudeta militer dengan bantuan Belgia dan AS. Ia lalu mengonsolidasikan kekuasaan dengan Kasa-Vubu, sehingga pilihannya adalah dengan menyingkirkan Lumumba.
PBB, yang sebelumnya menolak memberi bantuan ke Lumumba, kini mengakui kredensial pemerintah Kasavubu dan Mobutu melalui Majelis Umumnya. Sikap ini membuat perpecahan yang tajam di kalangan negara-negara Afrika yang baru merdeka.
Pengkhianatan PBB kepada Lumumba terjadi kembali pada bulan November di tahun yang sama. Saat itu Lumumba merencanakan pergi ke Stanleyville di mana mayoritas pendukungnya tinggal. PBB memberikan perlindungan, tapi rombongan dengan mudah ditangkap pasukan Kasavubu.
Kasavubu menahan Lumumba hingga awal Januari 1971, di mana Lumumba diserahkan ke rezim separatis Katanga. Beberapa hari kemudian ia dipaksa terbang ke Elisabethville. Di sana ia dipukuli dan disiksa secara brutal oleh petugas Katanga dan Belgia, sementara Tshombe dan kabinetnya berdiskusi soal mau diapakan Lumumba.
Ludo De Witte menceritakan kematian Lumumba dengan tragis. Pada malam hari 17 Januari 1961, tepat hari ini 58 tahun lalu, Lumumba dipindah ke sebuah tempat sepi di mana sudah ada tiga regu tembak.
Riwayat Lumumba berakhir di moncong senjata. Kekejaman eksekutor belum berakhir. Mereka lalu memotong-motong jenazah Lumumba, dilarutkan di asam sulfat, dan mengubur tulang-belulang seadanya.
Lumumba, sang bapak bangsa, praktis hanya sempat memimpin negara yang dimerdekakannya selama 3 bulan saja. Setelah itu ia menjadi korban elite-elite yang buta oleh kekuasaan serta menjalin kongsi dengan pihak asing.
Ribuan kilometer jauhnya dari Kongo, Sukarno mengabadikan nama Patrice Lumumba menjadi nama sebuah jalan di Jakarta Pusat. Ia melakukannya sebagai penghormatan untuk bapak bangsa Kongo itu. Kini jalan tersebut bernama Jalan Angkasa.
Editor: Ivan Aulia Ahsan