tirto.id - Republik Demokratik Kongo masih terus bergejolak. Milisi kelompok Kamwina Nsapu pada Sabtu (25/3/2017) dilaporkan membunuh sedikitnya 40 polisi Kongo. Al Jazeera menyebut serangan terhadap aparat keamanan ini adalah salah satu yang paling mematikan sejak akhir tahun lalu.
“Mereka menyergap polisi saat melakukan perjalanan dari Tshikapa ke Kananga,” kata Ambrose Muwasa, seorang petugas keamanan senior kepada kantor berita Anadolu. “Setelah menangkap para polisi, mereka membunuhnya dan hanya menyisakan enam orang yang bisa berbicara dengan bahasa Tshiluba.”
Cornel Mbombo, kepala dari kelompok aktivis Masyarakat Sipil untuk Kasai mengatakan kepada Reuters bahwa 40 polisi tersebut dibunuh dengan cara dipenggal. Milisi tersebut kemudian dilaporkan melarikan diri dengan kendaraan dan senjata milik polisi.
Kongo adalah negara di benua Afrika yang terletak di bagian Afrika Tengah. Negara yang kadang-kadang masih disebut Zaire dan pada 1908-1960 pernah disebut Kongo Belgia ini sedang menghadapi konflik yang meletus sejak awal Agustus 2016 kemarin.
Bentrok ini dimulai di provinsi Kasai Central, Kasai, Kasai Oriental, dan Lomami yang melibatkan dua kubu yaitu kelompok milisi Kamwina Nsapu dan pasukan keamanan Kongo yang terdiri dari polisi dan militer negara.
Tentara Kongo sendiri, pada Februari lalu juga memiliki catatan buruk dalam menghadapi milisi Kamwina Nsapu. Setidaknya 39 wanita dari total 101 orang ikut tewas dalam serangan tentara terhadap milisi ini antara 9 sampai 13 Februari 2017. Tentara menembak tanpa pandang bulu dengan senapan mesin ketika melihat kawanan milisi yang mayoritas bersenjata parang dan tombak.
“Kami sangat prihatin pada tingginya angka kematian, yang jika dikonfirmasi mengindikasikan penggunaan kekuatan tentara yang berlebihan dan tidak proporsional.” ungkap juru bicara HAM PBB, Liz Throsell kepada Reuters.
Pemicu dari kekacauan di Kongo ini beragam, mulai dari pasukan keamanan yang membunuh Kamwina Nsapu dan memicu pemberontakan sejak Agustus 2016, hingga penolakan Presiden Joseph Kabila untuk mundur saat mandat konstitusinya berakhir pada Desember lalu.
Protes terhadap Joseph Kabila
Joseph Kabila memerintah Kongo sejak 26 Januari 2001 silam, menggantikan ayahnya Laurent-Désiré Kabila yang dibunuh. Kala itu, Kabila yang masih berumur 29 tahun menjadi presiden termuda di dunia modern. Tugas sekaligus tantangan pertamanya adalah mengakhiri perang sipil yang sedang berlangsung.
Meski berhasil mendamaikan dan merangkul para pemimpin kelompok pemberontak dan sipil lainnya setelah perjanjian perdamaian pada 2002, di tahun-tahun berikutnya muncul kembali aksi-aksi pemberontakan dan kudeta yang merupakan bagian dari pendukung pemerintahan sebelum ayahnya.
Tahun 2005, referendum pernah digelar di Kongo untuk mengetahui dukungan rakyat akan konstitusi baru yang salah satunya memuat tentang penurunan usia minimum calon presiden antara 30 sampai 35 tahun. Pada 30 Juli 2006, diadakanlah pemilu presiden, dan Kabila mendaftarkan diri kembali ketika usianya kala itu 35 tahun.
Pada 6 Desember 2006 ia secara resmi menjabat kembali sebagai presiden setelah serangkaian proses pemilu hingga diadakan pemilu ulang hingga disahkan oleh Mahkamah Agung. Hal ini berulang kembali pada Desember 2011 dimana Kabila kembali terpilih dan dilantik. Kali ini kerusuhan mewarnai kota Kinshasa dan Mbuji-Mayi merespon keluarnya Kabila sebagai pemenang.
Laporan dari The Carter Center menyebut hampir 2000 tempat pemungutan suara di basis dukungan lawan Kabila telah hilang, dan digambarkan sebagai pemilu yang kurang kredibel.
Sebanyak 35 uskup Katolik di Kongo mengecam pemilu tersebut dan mengeluhkannya sebagai tindak pengkhianatan, kebohongan, dan teror. Mereka menyeru pada komisi pemilu untuk memperbaiki kesalahan serius ini.
Tahun 2015, protes besar pecah di seantero Kongo. Para pengunjuk rasa menuntut agar Joseph Kabila mundur dari jabatannya sebagai Presiden sejak ia berusia 29 tahun. Protes tersebut sejatinya telah masuk ke majelis rendah Kongo dan berlanjut disahkan di majelis tinggi. Namun, Kabila tetap berkuasa setidaknya sampai jadwal pemilu tahun 2016 berlangsung.
Kamwina Nsapu adalah salah satu bagian dari banyaknya kelompok yang memberontak terhadap pemerintahan Joseph Kabila. Berbasis di provinsi Kasai Central, mereka yang sebagian besar adalah orang-orang Luba dan masih percaya pada sihir tradisional sedang menolak otonomi daerah.
Aksi kelompok pimpinan Kamwina Nsapu terutama menyerang aparat pemerintah baik polisi maupun tentara sejak 8 Agustus 2016. Seperti yang terjadi pada 12 Agustus 2016, ketika bentrok dengan polisi di Tshimbulu dan menewaskan 11 polisi, Kamwina Nsapu turut tewas dalam serangan tersebut bersama dengan 8 milisi kelompoknya.
Sejak kematian pemimpinnya, kelompok ini makin giat memberontak, melawan aparat keamanan. Pada bentrok September 2016, milisi Nsapu menguasai 180 kilometer dari daerah Kananga, sekaligus menguasai Bandara Kananga. Angkatan Bersenjata Republik Demokratik Kongo kemudian bergerak merebut pada 26 September.
Media lokal Kongo Radio Okapi mewartakan ada 49 tewas dalam peristiwa kali ini terdiri dari 27 milisi, 16 polisi dan 6 warga sipil, sementara 185 anggota milisi lainnya ditangkap sejak pertempuran dimulai.
Konflik terus berlanjut dan korban dari kedua belah pihak terus berjatuhan. Serangan besar kembali meletus berlokasi di Tshimbulu yang melibatkan 300 milisi Nsapu pada Februari 2017 kemarin. Radio France Internationalemelaporkan sedikitnya 6 orang tewas termasuk warga sipil. Hari berikutnya, 60 sampai 75 dilaporkan tewas di tangan pasukan militer dan dua prajuritnya terluka.
Hingga pada tanggal 14 Februari, juru bicara HAM untuk PBB Liz Throssell mengumumkan 101 orang tewas dalam serangan yang dilakukan tentara sejak 9 sampai 13 Februari. Ada 39 orang wanita. Beberapa hari setelahnya, menurut berita Reuters, ada video beredar yang menampilkan anggota militer yang membunuh para warga sipil Kongo di desa Mwanza Lomba.
Tampak para tentara berseragam seperti militer Republik Demokratik Kongo, lengkap dengan senjata dan truk militer menembaki warga meski tidak tampak pula upaya lari dari warga. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa mereka kebal dari peluru. Beberapa korban yang berjatuhan ditemukan lilitan dedaunan di tubuhnya.
Pemerintahan Kongo tidak mengakui peristiwa yang terekam video brutal tersebut. Menteri Komunikasi Lambert Mende Omalanga mengatakan bahwa video tersebut diambil di negara lain dengan maksud menghancurkan citra Kongo.
Milisi Kamwina Nsapu pada 24 Maret kemarin dilaporkan menewaskan sedikitnya 40 polisi dan hanya menyisakan 6 orang saja yang bisa berbahasa lokal Tshiluba. Serangan yang mematikan puluhan polisi ini praktis adalah yang terbanyak yang pernah dilakukan milisi Nsapu sejak pertama kali kerusuhan pecah dan sejak tentara Kongo menewaskan puluhan milisi Nsapu Februari kemarin.
Joseph Kabila masih enggan turun
Dihadang gelombang protes hingga munculnya milisi pemberontak Kamwina Nsapu yang telah menewaskan berbagai pihak baik sipil, pemerintah, dan anggota milisi sendiri, Kabila tetap enggan meletakkan jabatannya.
Menteri Luar Negeri Kongo, Raymond Tshibanda pada 27 November 2016 kemarin mengatakan bahwa tidak ada pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 2016. Media lokal Modern Ghana melaporkan Tshibanda mengatakan bahwa pemerintah Kabila telah berkonsultasi dengan para ahli pemilu di Kongo, PBB, dan tempat lainnya bahwa pendaftaran para peserta pemilu baru akan berakhir pada 31 Juli 2017, sehingga pemilu akan berlangsung pada April 2018.
Tanggal 20 Desember 2016 adalah masa berakhirnya jabatan Kabila sebagai presiden sekaligus tidak dapat lagi mencalonkan diri untuk menjadi presiden Kongo. Juru bicara Kabila sehari sebelumnya justru mengeluarkan pernyataan bahwa Joseph Kabila akan tetap berada di kantor sebagai presiden Kongo sampai presiden baru ditetapkan pada pemilu April 2018 mendatang.
Hal ini tentu memicu gelombang protes dan demonstrasi anti-Kabila yang bahkan sudah berlangsung sejak 14 Desember. Praktis membuka dua kubu yang berseteru, pemerintah Kongo di bawah pemerintahan Joseph Kabila, dengan rakyat pendemo dari kalangan anak muda dan publik umum lainnya. Laporan dari PBB untuk HAM yang dilansir Reuters menyebut ada 40 orang tewas dan 460 orang ditangkap selama aksi yang berlangsung sampai 23 Desember 2016 ini.
Kerusuhan di Kasai yang melibatkan kelompok milisi Kamwina Nsapu hanyalah salah satu dari banyaknya krisis yang terus melanda Kongo. Di wilayah timur, sebuah tentara pemberontak bernama M23 juga pernah mengagitasi wilayah timur Kongo yang berlangsung dari 4 April 2012 sampai 7 November 2013.
“Tak satu pun dari konflik ini secara langsung berhubungan satu sama lain, tetapi mereka berkembang biak di seluruh negeri karena pemerintah lemah dan diperebutkan,” kata Jason Stearns, direktur Congo Research Group, sebuah proyek penelitian yang berbasis di New York University seperti dikutip The New York Times.
Dari sekian banyak kelompok oposisi dan pemberontak, Kamwina Nsapu yang belakangan ini paling menyita perhatian lantaran jatuhnya banyak korban dan aksi serangan mereka terhadap aparat keamanan. Dilansir All Africa, sebanyak 216.000 orang mengungsi selama bentrokan antara milisi ini dengan pasukan keamanan di Kasai Central.
Sekalipun tidak menjadi target utama, tapi selama bentrokan berlangsung selalu ada warga sipil yang jadi korban. Ironisnya, ada pihak militer juga tampak melakukan kekerasan dan pembunuhan yang melibatkan warga sipil ketika membasmi kelompok Nsapu.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani