Menuju konten utama

Pembawa Anjing ke Masjid Jadi Tersangka, Proses Hukum Dipersoalkan

Proses hukum terhadap SM yang kini menjadi tersangka penodaan agama dipersoalkan aktivis.

Pembawa Anjing ke Masjid Jadi Tersangka, Proses Hukum Dipersoalkan
Ilustrasi masjid. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kepolisian sudah menetapkan SM sebagai tersangka penodaan agama karena membawa seekor anjing masuk ke Masjid Al Munawaroh, Sentul, Bogor, Jawa Barat. SM dijerat pasal 156a KUHP dan ditahan setelah ditetapkan menjadi tersangka.

Namun, proses hukum terhadap SM dipersoalkan. Peneliti dari The Indonesian Legal Resource Center (ILRC) Siti Aminah berpendapat proses hukum terhadap SM seharusnya menimbang faktor gangguan kejiwaan yang dialaminya. SM memang diduga mengidap Skizofrenia.

"Dalam hukum pidana, [...] yang tidak bisa dimintai tanggung jawab [hukum] itu kan anak-anak di bawah 12 tahun, kemudian orang yang mengalami gangguan dalam masa tumbuh kembangnya. Skizofrenia termasuk gangguan kan," kata Aminah di di kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (2/7/2019).

Oleh karena itu, Aminah menilai kasus SM sebaiknya dihentikan jika ia terbukti mengalami gangguan kejiwaan.

"Ibu ini [SM] akan diperiksa oleh psikiater untuk memastikan benar enggak, ketika dia melakukan itu, skizofrenia-nya sedang kambuh. Kalau iya, dia tidak dapat dimintai pertanggungjawaban," dia menambahkan.

Dia juga mengkritik keputusan polisi menahan SM. "Sebenarnya enggak bijak. Karena bagaimana pun juga, [SM] enggak harus ditahan. Kalau dijadikan tersangka oke lah itu sebuah proses, tapi kalau ditahan itu enggak bijak," kata Aminah.

Selain itu, dia mengingatkan kasus SM perlu dilihat dalam konteks lebih luas. Faktor ketidaktahuan soal batas tempat suci di tempat ibadah umat Islam, kata dia, perlu menjadi perhatian. Kasus ini menunjukkan pentingnya saling memahami antarumat beragama agar hal serupa tak terulang.

Di sisi lain, Ketua Bidang Pengembangan Organisasi YLBHI Febiyonesta menilai kepolisian tidak bisa serta-merta menjerat SM dalam kasus penistaan agama. Sebab, polisi harus membuktikan ada unsur penistaan agama dalam tindakan SM.

"Kalau itu mengotori masjid, pelanggaran-hukum yang lain itu bisa saja. Tapi kalau untuk dijerat dalam penistaan agama harusnya gak boleh, dia harus dibuktikan dulu maksud menghina," kata pria yang biasa disapa Mayong itu di kantor YLBHI.

Menurut Mayong, di luar konteks SM mengalami gangguan kejiwaan, kepolisian harus benar-benar membuktikan bahwa ia sengaja melakukan penodaan agama. Unsur kesengajaan itu, kata dia, juga terkait dengan SM tahu atau tidak larangan membawa anjing masuk masjid.

"Ini bukan soal gangguan jiwa. Gangguan jiwa memang tadi pengecualian. Kalau kesengajaan, itu unsur bukti. Kesengajaan itu terlepas dari si ibu punya gangguan jiwa atau tidak, memang punya niat menghina. Ini kan harus dibuktikan dulu," ujar Mayong.

Mayong juga menganggap penahanan terhadap SM sebenarnya tidak diperlukan. "Proses hukum tanpa penahanan sebetulnya bisa saja, sampai meja hijau pun enggak masalah. Nanti dibuktikan apakah memang unsur-unsur itu terbukti atau memang ada pengecualian yang dilakukan dalam kasus itu," kata Mayong.

Baca juga artikel terkait KASUS PENODAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Addi M Idhom