tirto.id - (Artikel sebelumnya: Rapor Merah Ekonomi Turki di Bawah Erdogan)
Ekonomi lesu yang ditimpa dengan karut-marut gempa bumi awal Februari silam membuat kompetensi Recep Tayyip Erdoğan sebagai Presiden Turki kian dipertanyakan. Media dan pakar politik mulai heboh membahas tergerusnya potensi kemenangan Erdoğan—dan partai yang didirikannya, AKP—dalam pemilihan presiden pertengahan Mei nanti.
Ada yang yakin betul Erdoğan akan kalah setelah menang dua kali berturut-turut. Sejak awal tahun ini bermunculan beragam survei yang menyebut dia bisa dikalahkan oleh tokoh-tokoh populer dari kubu oposisi. Ada pula yang masih merasa perlu berhati-hati untuk membuat prediksi.
Meski mungkin tak lagi berkuasa, Erdoğan tampaknya tenang-tenang saja. Mungkin hal ini karena hasil survei yang menyatakan popularitasnya sudah kembali ke posisi yang relatif aman seperti sebelum badai inflasi pada 2021 dua pekan sebelum gempa bumi besar. Dilansir dari Middle East Eye, pada pertengahan Januari silam dua lembaga survei swasta menyebut 40-42 persen responden berniat memberikan suara untuk Erdoğan.
Persentase dukungan tak jauh berbeda untuk koalisi partainya, terdiri dari AKP dan Nationalist Movement Party (MHP).
Menurut direktur salah satu lembaga survei, Ulas Tol, situasi susah akibat kemerosotan ekonomi sebenarnya masih berlanjut, “Namun efek permasalahan terhadap sentimen para pemilih suara sudah berkurang karena mereka sudah terbiasa dengan krisis dan dampak yang dirasakan dari inflasi juga semakin berkurang.”
Terlebih dari itu, terdongraknya popularitas Erdoğan ke posisi lebih aman sekarang tidak bisa dipisahkan dari kebijakan-kebijakan populis yang digulirkan administrasinya sejak tahun lalu. Kebijakan ini memberikan dampak terhadap calon pemilih dari beragam latar belakang.
Bulan Juli tahun lalu, misalnya, Erdoğan menaikkan upah minimum sampai 30 persen—keputusan yang memengaruhi nyaris separuh dari 30 juta tenaga kerja. Lima juta PNS juga mendapat kenaikan gaji sampai 42 persen. Memasuki tahun 2023, Erdoğan mendorong upah minimum pekerja lagi 55 persen menjadi 8.500 lira atau hampir Rp7 juta.
Selain itu, Erdoğan juga berupaya memakmurkan tenaga medis dan staf kesehatan yang belakangan ini dikabarkan berbondong-bondong melakukan eksodus ke luar negeri karena di dalam negeri diupah terlampau rendah dengan tuntutan kerja tidak manusiawi. Tak luput dari perhatian Erdoğan adalah kaum pelajar dan mahasiswa. Mereka mendapatkan ampunan bunga dana pinjaman pendidikan. Ada juga program rumah terjangkau bagi pembeli rumah pertama. Para pelaku bisnis pun diberi keringanan kredit lebih murah.
September silam Erdoğan memutuskan untuk meringankan beban warga berpenghasilan rendah dengan menggelontorkan anggaran sampai 30 miliar lira. Itu untuk menanggung utang-utang yang dimiliki oleh lima juta orang. Lalu Kementerian Energi masih melanjutkan kebijakan pemberian subsidi listrik dan gas yang diperkirakan menelan anggaran negara sampai 100 miliar lira.
Untuk menarik suara dari kalangan pekerja senior, administrasi Erdoğan menghapus syarat usia pensiun—langkah yang berpotensi memengaruhi 2,3 juta pekerja. Alih-alih memenuhi usia pensiun minimal, yang boleh mengajukan pensiun adalah orang-orang yang sudah mulai bekerja sebelum September 1999 dan yang telah menuntaskan 20-25 tahun masa kerja sesuai registrasi keamanan sosial.
Selain serangkaian kebijakan di atas, usaha Erdoğan yang diapresiasi masyarakat adalah giat mencari uang untuk membiayai aktivitas ekonomi di tengah inflasi parah dan menipisnya cadangan devisa. Caranya tak lain dengan “meminta” kepada negara-negara sekutu, baik yang relasinya sudah lama maupun baru.
Hasilnya, Turki berhasil mengamankan 10 miliar investasi dari Uni Emirat Arab dan 20 miliar dolar dari Rusia untuk proyek kerja sama pembangkit listrik tenaga nuklir. Erdoğan juga mengupayakan puluhan miliar dolar dari Arab Saudi agar didepositkan pada obligasi dan rekening pemerintah—yang sampai hari ini baru ditransfer 5 miliar dolar.
Karena beragam kebijakan di atas, tidak mengherankan apabila gempa bumi hebat awal Februari kemarin nyaris tidak mengguncang singgasana Erdoğan. Dilansir dari Middle East Eye, survei oleh Center for Social Impact Studiesterhadap 1.930 pemilih pada 18-20 Februari lalu menunjukkan bahwa koalisi partai Erdoğan, People’s Alliance, masih mendapat dukungan cukup besar, 44 persen, tidak jauh berbeda dari survei yang dilakukan sebelum gempa.
Menurut seorang narasumber, Erdoğan percaya diri bahwa gempa bumi tidak akan bisa mengusiknya. Dia menganggap dirinya-lah satu-satunya orang yang bisa mewujudkan proyek rekonstruksi pascagempa sekaligus dapat meyakinkan rakyat tentang kemampuan tersebut.
Erdoğan pun berusaha menunjukkan betapa dirinya adalah pemimpin bertanggung jawab, salah satunya dengan meminta maaf atas kelambanan pemerintah beberapa hari pertama pascagempa, “Seperti manusia umumnya, kami punya kelemahan dan bisa bikin kesalahan. Oleh karena itu, saya meminta maaf,” ucap dia pada pengujung Februari di dekat episentrum gempa di Provinsi Adiyaman.
Di samping itu, Erdoğan menetapkan situasi darurat selama tiga bulan di seluruh kawasan terdampak. Artinya, dia diperbolehkan menggelontorkan anggaran belanja besar-besaran untuk urusan apa pun di sana.
Erdoğan pun mengatakan akan memberikan 10 ribu lira atau sekitar Rp8 juta kepada setiap korban gempa serta subsidi untuk akomodasi. Janji lain adalah dana 100 miliar lira (Rp 81 triliun) untuk usaha pemulihan pascagempa.
Menarik dicatat, pada pemilu terakhir 2018 silam, Erdoğan dan kubu politiknya meraih kemenangan telak di tujuh dari sepuluh provinsi terdampak gempa. Pendek kata, bukan tidak mungkin program-program pemulihan untuk korban akan memperkuat dukungan untuk Erdoğan dan AKP.
Lawan Tidak Sepadan?
Sebulan setelah gempa, atau kurang dari 70 hari menuju pilpres, koalisi enam partai oposisi “Table of Six” yang berambisi menggulingkan Erdoğan sepakat untuk mengajukan kandidat tunggal. Dialah Kemal Kılıçdaroğlu, pemimpin Republican People’s Party (CHP), partai sekuler berhaluan tengah-kiri yang dibangun oleh pendiri Turki modern Mustafa Kemal Atatürk dan pernah menguasai lanskap politik negara tersebut pada paruh pertama abad ke-20.
Kılıçdaroğlu dikenal punya karakter kalem dan halus—kontras dari Erdoğan yang suka bicara berapi-api dan bisa tampil karismatik di depan publik. Ekonom berusia 74 tahun ini berjanji mengembalikan sistem pemerintahan Turki ke parlementer setelah diubah pemerintah pada 2018—langkah yang dikritik sebab membuat Erdoğan semakin sewenang-wenang dan sulit diawasi.
Meski kubu oposisi berhasil mengajukan kandidat capres, prosesnya tidak berjalan lancar. Meral Aksener, pemimpin Good Party (terbesar kedua setelah CHP di dalam grup tersebut), sempat mundur dari koalisi setelah Kılıçdaroğlu resmi diajukan. Aksener lebih suka tokoh-tokoh populer CHP lainnya, Wali Kota Istanbul Ekrem Imamoglu dan Wali Kota Ankara Mansur Yavas—yang dalam survei berpeluang unggul dari Erdoğan. Menurut Aksener, memilih Erdoğan atau Kılıçdaroğlu sama halnya diberi pilihan antara “kematian atau malaria”.
Kılıçdaroğlu sebetulnya bukan figur yang mentereng, tidak juga menginspirasi, malah cenderung membosankan. Menurut Selim Koru, analis dari think-tank Tepav di Ankara pada Financial Times, di luar sana ada orang-orang yang “bisa langsung nyambung dengan massa” dan Kılıçdaroğlu jelas tidak termasuk. “Apabila Kılıçdaroğlu yang maju ke depan… semua orang akan mengalihkan pandangan ke layar telepon genggamnya hanya dalam kurun lima menit.”
Kılıçdaroğlu belum pernah menang pemilu apa pun di level nasional. CHP pun gagal meraup jumlah suara berarti di setiap pemilu selama 13 tahun di bawah kepemimpinannya.
Kemungkinan, masih dilansir dari Financial Times, pencapresan Kılıçdaroğlu merupakan pertaruhan kubu oposisi. Mereka berasumsi rakyat tidak akan keberatan memilih presiden dengan karakter menjemukan setelah bertahun-tahun hidup di bawah kepemimpinan tidak kompeten Erdoğan, yang membiarkan kemerosotan ekonomi, represi kebebasan berpendapat, dan baru saja, karut-marut penanganan bencana gempa bumi.
Sementara pengamat lain menyambut Kılıçdaroğlu dengan optimistis meskipun mengakui jalan menuju kemenangan tidak mudah. Jurnalis Inggris-Turki Michael Daventry menyebut Kılıçdaroğlu masih perlu dukungan suara ekstra—yang bisa diraup dari kalangan minoritas agamis-konservatif di daerah pedalaman dan etnis minoritas Kurdi. Dalam dua demografi tersebut, mungkin ada sebagian yang dulu pernah mendukung Erdoğan namun sekarang merasa dikecewakan sehingga berminat mengalihkan pilihan ke kandidat lain.
Sementara menurut jurnalis-peneliti Turki Asli Aydintasbas dalam artikel di Washington Post, Kılıçdaroğlu merupakan tokoh demokrat sejati yang tidak korup, karakter langka di lanskap politik pemerintahan Turki sekarang. Akan tetapi, kubu Kılıçdaroğlu perlu berjuang lebih keras untuk meyakinkan pemilih bahwa mereka adalah alternatif lebih baik dari “one-man rule” Erdoğan.
Bukan tidak mungkin juga pihak pemerintah akan menggoreng isu-isu ketidakstabilan untuk meyakinkan pemilih agar bertahan dengan status quo alias tetap bersama Erdoğan.
Editor: Rio Apinino