tirto.id - Berdasarkan catatan kasus kejahatan jalanan "klitih" yang terjadi sepanjang 2019 hingga awal 2020, mayoritas pelaku masih berstatus pelajar di bawah umur. Peran keluarga dan sekolah menjadi sorotan.
Kapolda DIY Inspektur Jendral Polisi (Irjen Pol) Asep Suhendar memaparkan data kasus klitih saat membuka diskusi dengan tema "Menolak Kejahatan Jalanan yang Dilakukan Pelajar dalam Mewujudkan Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan & Kota Budaya" di Mapolda DIY, Selasa (4/2/2020).
"[Total] dari Januari 2019 hingga Januari 2020 tercatat ada 40 kasus yang dikategorikan sebagai klitih," kata Asep.
Lebih rinci, ia memaparkan 35 kasus terjadi sepanjang 2019, sedangkan lima kasus lainnya terjadi pada Januari 2020.
Dari total 40 kasus tersebut terdapat 81 pelaku yang ditangkap. "57 orang berstatus pelajar, kurang lebih 70 persen pelakunya pelajar," kata dia.
Secara lebih khusus dalam diskusi tersebut juga dipaparkan data kejadian dan jumlah sekolah yang rawan kekerasan pelajar di Yogyakarta. Sepanjang 2017, ada total 51 kasus kekerasan yang melibatkan pelajar, 2018 terdapat 45 kasus sedangkan pada 2019 terdapat 44 kasus.
Polda DIY juga melakukan pemetaan sedikitnya terdapat 29 SMA, 23 SMK, dan 2 madrasah yang dinilai memiliki kerawanan terhadap kasus kekerasan pelajar.
Kapolda mengatakan dalam diskusi yang dihadiri oleh perwakilan pelajar, orang tua, akademisi, dan dinas terkait itu diharapkan dapat menghasilkan rumusan untuk mengatasi masalah klitih. Polisi, kata dia, tidak dapat berjalan sendiri tanpa peran masyarakat, karena Asep menilai kasus klitih adalah masalah yang kompleks.
Sesuai dengan peran dan fungsinya, kata dia, polisi telah melakukan sejumlah upaya, termasuk melakukan patroli rutin untuk mengantisipasi klitih. Namun, para pelaku, kata dia, selalu memanfaatkan celah untuk beraksi.
"Kalau dalam teori polisi itu ada teori balon. Kalau balon itu panjang, kita pencet ke sini dia lari ke sini. Kalau kita kencang pasti dia sembunyi. Kalau kita kendor pasti dia berkumpul," kata Asep.
Pelajar Dimanfaatkan
Klitih, menurut sosiolog kriminal Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto, sebetulnya memiliki arti yang positif. Klitih memiliki makna kegiatan untuk mengisi waktu luang.
Namun, makna itu kemudian menjadi negatif ketika kegiatan mengisi waktu luang itu diisi dengan melakukan tindak kejahatan di jalan, menyerang orang lain secara acak tanpa motif yang jelas.
"Pelajar yang menamakan diri dengan kegiatan klitih itu sebenarnya tidak akan menyerang masyarakat umum yang kira-kira tidak bisa dipancing untuk menjadi musuhnya," kata Suprapto kepada Tirto, Rabu (5/2/2020).
Suprapto yang memulai intensif melakukan penelitian mengenai klitih sejak 2008 mengatakan bahwa terdapat kemungkinan aksi-aksi klitih yang terjadi saat ini ditunggangi oleh pihak lain yang lebih kuat.
"Aksi kejahatan jalanan ini banyak yang kemudian menumpangi sehingga tidak lagi murni karena mereka bermusuhan dengan pihak lain," katanya.
Aksi klitih yang kembali marak ini, menurut Suprapto, karena adanya rekrutmen anggota baru oleh kelompok yang lebih besar dari kelompok geng pelajar tersebut.
Lalu aksi mereka, kata dia, bisa didasari untuk unjuk diri bukan secara individu tetapi secara kelompok. Hal ini untuk menunjukkan eksistensi bahwa kelompok mereka ada.
Jika kemudian aksi mereka mendapatkan publikasi, ramai di media sosial hingga viral maka kata Suprapto akan semakin membuat kelompok tersebut bangga. Sebab, mereka merasa tujuannya telah tercapai dan pelaku dianggap berjasa di kalangan mereka.
"Oleh karena itu, saya selalu sarankan kepada pihak yang berwenang. Jangan hanya menghukum pelaku tetapi telusuri siapa yang ada di balik pelaku tersebut," kata Suprapto.
Menurutnya, tidak sepenuhnya dalam mengatasi persoalan klitih dibebankan kepada polisi, sebab masyarakat juga memiliki tanggung jawab. Masyarakat memiliki kewenangan untuk mencegah klitih dan melaporkan setiap kejadian.
Suprapto mengatakan remaja adalah kelompok yang dimanfaatkan oleh pihak lain. Mereka dimanfaatkan dengan harapan bahwa para remaja akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan.
"Kedua, mereka menggunakan pelajar karena remaja secara psikologis kondisi emosional atau IQ masih labil sehingga itu dimanfaatkan oleh mereka," kata dia.
Apa yang dikatakan Suprapto itu berdasarkan data penelitian yang ia peroleh dari observasi lapangan. Suprapto menyambangi warung-warung yang biasanya digunakan untuk berkumpul kelompok remaja yang disebutnya "calon pelaku klitih".
"Saya mendengar apa yang mereka bicarakan, biasanya mereka bilang 'kita ketemu dimana, pakai kaos apa dan bawa senjata apa'," ujarnya.
Sementara terkait adanya indikasi pihak lain yang memanfaatkan para remaja ini, kata Suprapto, misalnya banyak terjadi saat kegiatan sekolah yang berada di luar semisal kemah atau outbond.
"Ketika berada di lokasi sering ditemui pihak-pihak tertentu saat istirahat lalu di situ ada indoktrinasi," ujarnya.
Antara Peran Sekolah & Keluarga
Menurut Suprapto, mengatasi masalah klitih harus ada partisipasi dari berbagai pihak salah satunya selain lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan.
"Kurikulum yang ada itu mestinya benar-benar kembali untuk memberikan muatan-muatan yang bersifat soft skill atau aspek-aspek afektif yaitu memberikan bekal kepada para siswa para pelajar, anak-anak untuk kembali bermartabat mempunyai moralitas," katanya.
Sejatinya, visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang baru dengan menciptakan insan Indonesia cerdas, kompetitif dan bermartabat yang telah dirumuskan dalam 18 karakter itu, menurutnya, sudah baik dan harusnya diimplementasikan dalam kurikulum.
"Jadi mestinya dari Dinas Pendidikan terutama itu bisa melakukan kontrol yang lebih intensif. Apakah tadi kurikulum yang sudah disarankan bermuatan pendidikan karakter itu hendaknya betul-betul diterapkan," katanya.
Pakar pendidikan Darmaningtyas kepada Tirto, Rabu (5/2/2020) mengatakan bahwa sebetulnya pendidikan formal itu sifatnya sangat normatif, sehingga ia tak yakin lembaga pendidikan dapat memberantas klitih.
"Pendidikan itu kan normatif ya, sedangkan masalahnya itu ada di dalam keluarga. Kalau kita lihat pelakunya itu pasti dari keluarga sosial menengah ke bawah," kata dia.
Masalah pola asuh anak, menurutnya, menjadi masalah utama dalam kasus kejahatan yang dilakukan anak-anak. Hal ini, kata dia, selain karena ketidakmampuan orang tua dalam mengatur waktu juga salah satunya disebabkan rendahnya pendidikan dan pengetahuan orang tua dalam mengasuh anak.
Untuk itu, pemerintah, kata dia, dapat melakukan intervensi dalam hal ini dengan membuat program pendidikan masyarakat.
"Mestinya pendidikan komunitas atau orang dewasa yang diikuti oleh para orang tua," kata dia.
Pergub Soal Pencegahan Klitih
Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono Xmenyatakan kini sedang dalam proses penyusunan Peraturan Gubernur tentang Pencegahan Klitih. Dalam peraturan tersebut nantinya akan lebih diatur mengenai ketahanan keluarga.
"[Pergub] kita hanya bagaimana membangun keluarga tangguh. Keluarga tangguh itu bagaimana kalau keluarga itu punya persoalan ya kita harus bisa membangun dialog dengan [anggota] keluarga itu. Apa yang mungkin bisa kita bantu," kata Sultan.
Pergub saat ini, kata Sultan, sedang dalam proses penyusunan oleh tim. Penyusunan Pergub ini akan rampung dalam Februari 2020.
"Janjinya dari tim [penyusun] itu satu bulan. Jadi kira-kira pertengahan bulan ini presentasinya," katanya.
Pergub itu nantinya juga akan mengatur pembentukan kelompok kerja yang salah satunya juga akan melibatkan para psikolog.
Sultan mengatakan persoalan klitih belum tentu karena masalah pendidikan. Namun, masalah yang utama ada pada keluarga.
"Kita bukan intervensi pada aspek keluarganya, tapi mungkin dia punya problem. Ya mungkin problemnya bapak ibunya sehingga dia tidak nyaman tinggal di rumah," ujarnya.
Selain itu, kata Sultan, para pelaku klitih hanya sekedar ikut-ikutan temannya, sehingga hal itu dapat dicegah melalui pendekatan dan dialog.
"Kalau itu tidak kita lakukan dialog hanya tindakan hukum, juga tidak akan menyelesaikan," kata Sultan.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri