tirto.id - Yogyakarta kembali digegerkan dengan kasus kecelakaan maut (yang diduga bersangkutan dengan) klitih. Namun, kali ini, justru merekalah yang menjadi korban.
Sebermula dari cuitan akun Twitter @MuhSujarw4 pada Sabtu (08/12/2018). Akun dengan pengikut sebanyak 3.302 itu menulis: “Ada 2 anak klitih. Memukul spion sebuah mobil dengan stik besi. Pemilik mobil marah. Dikejar 2 anak tersebut. Digilas habis dengan mobilnya. 2 anak tewas seketika.”
Kicauan tersebut segera ditanggapi oleh banyak warganet, terutama dari wilayah Yogya. Banyak yang bersimpati dengan sikap brutal sang sopir, tak sedikit pula yang menyayangkan kenapa aksinya mesti sesadis itu. Lantaran ramainya pro-kontra terkait cuitan tersebut, akun @MuhSujarw4 pun memutuskan menghapusnya.
Hingga kini, sebetulnya masih belum jelas apakah dua pengendara motor yang tewas tersebut memang klitih. Sebelumnya Tribunnews memberitakan sebuah mobil pikap berpelat nomor R1913VE menabrak rumah warga usai mengalami kecelakaan lalu lintas dengan motor Scoopy AB2591EX di depan Puskesmas Seyegan, Jalan Kebon Agung, Dusun Seyegan, Margokaton, Sleman, Yogyakarta, Jumat (07/12/2018) dini hari.
Berdasarkan keterangan Kasi Humas Polsek Sayegan, Paijan, yang dilansir Tribun, sopir pikap tersebut bernama Nur Irawan (33), warga Margomulyo Seyegan yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang ayam. Pada subuh dini hari itu, ia hendak berangkat ke Desa Ketingan, Mlati, bersama istrinya, Etika Dwi Novisari (29). Tepat di depan Kantor Kecamatan Mlati, pikap Nur Irawan papasan dengan pengendara Scoopy yang berboncengan sekitar pukul 02.15 WIB.
"Nah, di situ kaca mobilnya dipukul stik. Kemudian karena dipukul, otomatis dia balik mengejar. Pas di perempatan Sayegan, informasinya yang naik Scoopy ngancam, bilang 'tak pateni koe'," jelas Paijan seperti dikutip Tribun. Nur Irawan yang tak terima ditantang akhirnya mengejar Scoopy hingga sampai ke depan Puskesmas Sayegan. Laka lantas pun tak terhindarkan dengan dua pengendara Scoopy tewas di tempat, RK (18) dan AN (18).
Pada hari yang sama, Jumat (07/12/2018), Jawa Pos juga turut memberitakan kasus laka lantas tersebut. "Ada dugaan pelaku klitih. Tapi masih belum cukup saksi," ujar Kanit Laka Polres Sleman, Iptu Rahandy Gusti Pradana, seperti dikutip Jawa Pos.
Klitih, Yogya, dan Efek Jera
Yogyakarta adalah kota yang paradoks. Di satu sisi, ia dikenal sebagai kota pelajar dan juga salah satu sentra turisme di Indonesia yang menawarkan wisata budaya dengan slogan “Jogja Berhati Nyaman”. Sementara di sisi lain, kota ini juga lekat dengan sejarah premanisme yang berdarah-darah.
Pada awal 1980-an, Yogya menjadi lokasi dimulainya kebijakan Soeharto untuk menggebuk para preman. Kebijakan yang dinamakan dengan istilah “penembakan misterius” (“petrus”) tersebut menyasar bromocorah kelas teri hingga sembarang orang bertato yang tidak jelas betul apa profesinya. Kejadian ini kemudian menyebar ke seluruh Jawa, dengan jumlah korban sekira sepuluh ribu orang.
Kebijakan tersebut semula ditujukan agar memberi rasa aman kepada masyarakat. Namun, sesungguhnya itu hanyalah dalih lain untuk menciptakan gelombang ketakutan demi menguntungkan kelompok penguasa Orde Baru. Hal tersebut diakui sendiri oleh Soeharto dalam autobiografinya. Ia menyebut aksi “petrus” yang terjadi pada 1982-1983 itu sengaja dilakukan secara sadar, lewat eksekutor para tentara, sebagai “shock therapy”.
Kelak, para gali atau gabungan anak liar akan digunakan sebagai vigilante untuk melancarkan proyek-proyek ekonomi Orde Baru. Kantong-kantong kekuasaan preman tertentu, yang mendapatkan perlindungan negara, kemudian bermunculan di Yogya, salah duanya di Kampung Badran dan Terban. Seiring perkembangan kota ke arah utara, tempat kampus dan hiburan bermekaran, muncul pula kelompok preman baru yang mengubah peta kekuatan jalanan.
Selain kelompok-kelompok preman lama tersebut, terdapat dua geng lain di Yogya yang sudah sekian lama berseteru. Satu kubu bernama QZRUH—akronim untuk “Q-ta Zuka Ribut Untuk Hiburan” (acap ditulis QZR atau pengikutnya mendaku 'cah Qezer), dengan membangun sentimen di kalangan pelajar di kawasan utara.
Kubu lain bernama JOXZIN, akronim untuk “Joxo Zinthing” atau sebutan lain “Pojox Benzin” (cukup dikenali sebatas JXZ atau 'cah 14), dengan memainkan sentimen pada kelompok pelajar di selatan Yogya. Kedua geng ini berafiliasi atau dipakai oleh partai politik sebagai basis massa, yang mewakili spektrum Islam dan nasionalis. Mereka biasa unjuk diri di jalanan dengan menggelar konvoi saat acara-acara politik.
Dari berbagai silang sengkarut kondisi sosial-politik itulah muncul klitih. Dalam bahasa Jawa, klitih bermakna suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Namun, dalam dunia kekerasan remaja Yogya, pemaknaan klitih kemudian berkembang sebagai aksi kekerasan dengan senjata tajam atau tindak-tanduk kriminal anak di bawah umur di luar kelaziman.
Dimulai dari keributan satu remaja beda sekolah dengan remaja yang lain, lalu berlanjut dengan melibatkan komunitasnya masing-masing. Aksi saling membalas pun terus terjadi, berulang, sengaja dipelihara turun temurun. Persoalannya, motif klitih amat beragam dan yang mengerikannya lagi, korban mereka bisa jadi amat random. Permusuhan antar geng hanyalah salah satunya.
Sepanjang bulan Juni 2018 lalu, ada dua kasus pembacokan yang menggegerkan Yogya. Pertama, pembacokan yang dilakukan sekelompok orang di Jalan Kapten Pierre Tendean. Korban selamat namun mendapatkan puluhan jahitan. Kedua, pembacokan di dekat Mirota Kampus UGM yang menewaskan korban bernama Dwi Ramadhani Herlangga, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kejadian tersebut terjadi sekitar saat jam sahur.
Kejadian terakhir menjadi pembicaraan yang paling menghebohkan. Sebab, sebelum kejadian, korban baru saja membagikan sahur gratis kepada orang-orang sekitar. Setelah tertangkap, pelaku mengatakan ia mengira bahwa korban adalah seseorang yang dulu juga pernah melukainya. Dengan kata lain: dendam masa silam.
Dalam laporan Tirto (26/12/2018), disebutkan bahwa hukum Indonesia mengenal perlindungan terhadap anak dari penyiksaan dan hukuman yang bisa dinilai terlalu berat. Hal ini selaras dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun.
Sebelum putusan ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8 hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana. Jika yang dilakukan anak merupakan tindak pidana berat dan dapat diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Terkait ancaman pidana minimum, minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap Anak.
Secara moral, ketentuan tersebut menjadi bahan yang juga kontroversial. Sebab, kasus kriminal para anak-anak yang dikategorikan klitih ada yang tergolong berat: membunuh.
Editor: Maulida Sri Handayani