tirto.id - Mulanya mengisi waktu dengan berwisata bersama teman-teman sekolah. Senin, 12 Desember, Adnan Wirawan Ardiyanta, 16 tahun, di antara rombongan sepuluh sepeda motor, pergi ke pantai Ngandong, Gunungkidul. Pulangnya, para pelajar SMA 1 Muhammadiyah itu berpapasan dengan rombongan pelajar lain yang menaiki delapan sepeda motor, di ruas jalan perbatasan Gunungkidul dan Bantul, sekira 50 kilometer dari lokasi pantai.
Kedua rombongan saling melirik. Keduanya saling menggeber motor. Kelompok pelajar itu, yang diduga sengaja menguntit teman-teman Adnan dari perseteruan lama antar-geng sekolah, lantas berbalik arah dan mengejar. Mengenakan cadar dan membawa celurit dan parang, para pelajar SMA 1 Muhammadiyah dikeroyok, disabet parang, ditusuk, dan dilempari batu.
Sebagian teman Adnan yang berhasil menyelamatkan diri segera mencari dan melapor kepolisian terdekat. Kembali ke lokasi, enam kolega mereka terluka, salah satunya Adnan. Nahas, Selasa malam sekira pukul 19:30, Adnan tak bisa diselamatkan. Ia meninggal tanpa sempat dioperasi persis ketika sang ayah, Agus Riyanto, sedang meneken prosedur operasi. Nyawa putranya melayang akibat pendarahan organ dalam.
“Tusukan senjata tajam menembus mengenai ginjalnya sehingga mengakibatkan pendarahan parah,” tutur Agus kepada media.
Sayangnya aksi kekerasan antara pelajar dan remaja, dari pembacokan hingga berujung kematian seperti menimpa Adnan, bukanlah yang pertama dan tampaknya bukan pula yang terakhir di Yogyakarta.
Mengapa aksi macam ini marak di provinsi yang menjadi lokasi turisme dengan slogan terkenal “Jogja Berhati Nyaman”?
Apa yang menimpa Adnan, dan teman-teman seusianya, dikenal dalam istilah di Yogyakarta sebagai klitih atau klithih, bahasa Jawa untuk aktivitas mencari angin di luar rumah atau keluyuran. Namun, dalam dunia kekerasan remaja, ia berubah jadi sebutan yang seram. Sematan klitih berkembang sebagai aksi kekerasan dengan senjata tajam atau tindak-tanduk anak di bawah umur di luar kelaziman.
Kenakalan anak usia remaja dari lingkungan sekolah, di kota-kota besar di Indonesia, lazim disebut tawuran. Dan tawuran pelajar di Yogyakarta sudah terjadi sejak lama, demikian Soeprapto, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada yang meneliti kriminalitas usia remaja di kota pelajar sejak 2007.
“Tetapi,” katanya, “kenakalan atau tawuran remaja pada masa lalu tidak seberani ini.”
Anak-anak di bawah umur ini, seperti dirangkum Tirto sepanjang 2016, membawa senjata tajam berupa pedang, celurit, pisau, atau gir sepeda.
“Anak-anak dulu hanya adu mulut, paling-paling pukul-pukulan dengan tangan kosong,” kata Soeprapto.
Sering terjadi: Kriminalitas kecil-kecilan ala remaja ini melibatkan komunitasnya. Seorang anak dari satu sekolah terlibat perkelahian dengan anak lain di sekolah lain, ia lantas melapor ke temannya-temannya, lalu mereka menghadang si anak itu untuk melancarkan aksi balasan. Narasi macam ini umum dijumpai di kalangan remaja sejak mereka mengenal institusi sekolah, dan bahkan dipakai sebagai elemen-elemen penting dalam produk budaya populer.
Misalnya, kalangan remaja 70-an di Indonesia mengenal film berjudul Ali Topan Anak Jalanan, mengisahkan seorang anak paling pandai di kelasnya tapi jadi pemimpin geng akibat problem keluarga di rumah. Pada 1990-an, perkelahian atau tawuran antar-geng sekolah bisa disebabkan oleh kesukaan atas grup band tertentu, misalnya, antara mereka yang berselera pada musik grunge lewat Nirvana dan hair metal yang diwakili Guns N’ Roses.
Namun, seiring waktu, intensitas tawuran membentuk geng, suatu pendalaman pada identitas komunal—yang bisa merujuk pada sekolah maupun ikatan pertemanan. Lambat-laun, kata Soeprapto, anak-anak ini berani menggunakan batu bata dan senjata tajam. “Selain itu,” tambahnya, “kualitas kenakalan mereka meningkat sampai tidak takut menghilangkan nyawa orang lain.”
“Anak-anak seakan sengaja mencari musuh sehingga muncullah istilah klitih di Yogya,” ujar Soeprapto.
Unjuk Diri dan Rasa Bangga
Mengapa sikap nekat ini meluas?
Soeprato menyebut, selain unjuk eksistensi diri—perasaan bangga di hadapan kerumunan teman sebaya bahwa kamu telah berhasil melukai orang lain—aksi klitih dipakai pula sebagai akad demi diterima jadi bagian dari kelompok-kelompok lebih tinggi.
“Mereka bisa bersedia melakukan apa saja seperti yang disyaratkan agar bisa bergabung dengan kelompok-kelompok besar,” katanya.
Saat ditanya siapa saja kelompok-kelompok besar ini, Soeprapto enggan menyebut secara terperinci. Ia hanya mengisyaratkan bahwa kelompok ini bisa berasal dari kelompok politik atau perusahaan jasa keamanan.
“Meminjam arah mata angin—dari sisi barat, timur, utara, selatan, dan tengah—sudah ada lima kelompok besar,” ungkapnya.
Di Yogyakarta, premanisme bukannya sepi. Di atas usia anak-anak sekolah, para jago ini menguasai sektor jasa dan jalanan, yang umumnya parkir dan keamanan serta bisnis bawah tanah lain seperti perjudian dan prostitusi. Ini sejalan perkembangan sebuah perkampungan di pinggir perkotaan.
Pada awal 1980-an, Yogya menjadi lokasi perdana apa yang dikenal “penembakan misterius”. Ia aksi penembakan terhadap para kriminal kelas teri atau orang bertato, yang kemudian menyebar ke seluruh Jawa, dengan jumlah korban sekira sepuluh ribu orang. Aksi ini dipakai untuk menciptakan gelombang ketakutan di tengah masyarakat dengan tujuan menjinakkan preman demi menguntungkan kelompok penguasa Orde Baru.
Presiden Soeharto, dalam autobiografinya, menyebut aksi tahun 1982-1983 itu sengaja dilakukan secara sadar, lewat eksekutor para tentara, sebagai “shock therapy”. Gilirannya, agar para gali atau gabungan anak liar bisa dipakai sebagai kekuatan vigilante untuk melawan kelompok oposisi demi melancarkan proyek-proyek ekonomi Orde Baru.
Perubahan itu melahirkan kantong-kantong kekuasaan preman tertentu, yang mendapatkan perlindungan negara, salah duanya di Kampung Badran dan Terban; keduanya di Kota Yogyakarta. Seiring perkembangan kota ke arah utara, tempat kampus dan hiburan bermekaran, muncul pula kelompok preman baru yang mengubah peta kekuatan jalanan.
Kasus paling mencolok untuk melihat perubahan sosial dan politik lokal di Yogyakarta adalah penembakan terhadap empat tahanan oleh tentara aktif Kopassus di Lapas Cebongan, Sleman, Maret 2013. Alih-alih mengutuk, kampanye publik di jalanan justru memunculkan sentimen terhadap pendatang, dengan merujuk para korban tewas adalah orang Kupang dan makin menguatnya rasisme anti-orang (dari Indonesia) Timur.
Selain kelompok-kelompok preman lama ini, kota pelajar juga menjadi tempat kedua geng yang sudah sekian lama berseteru. Satu kubu bernama QZRUH—akronim untuk “Q-ta Zuka Ribut Untuk Hiburan” (acap ditulis QZR atau pengikutnya mendaku 'cah Qezer), dengan membangun sentimen di kalangan pelajar di kawasan utara.
Kubu lain bernama JOXZIN, akronim untuk “Joxo Zinthing” atau sebutan lain “Pojox Benzin” (cukup dikenali sebatas JXZ atau 'cah 14), dengan memainkan sentimen pada kelompok pelajar di selatan Yogya. Kedua geng ini berafiliasi atau dipakai oleh partai politik sebagai basis massa, yang mewakili spektrum Islam dan nasionalis. Mereka biasa unjuk diri di jalanan dengan menggelar konvoi saat acara-acara politik.
Tetapi, apa relevansi kelompok gali yang notabene berusia dewasa ini dengan anak-anak pelajar?
Proses pendewasaan sebagai preman atau terbatas untuk diakui sebagai bagian dari kelompok yang lebih besar, dengan memandang seseorang atau komunitas sebagai patron, sangat mungkin memompa semangat kalangan remaja yang dinilai masih labil secara psikologis. Ia butuh sandaran atau penopang.
Dalam istilah Soeprapto, “Eksistensi ini berhubungan dengan unjuk kekuatan anak-anak pada kelompok tinggi dan berpengaruh, serta memiliki modal besar untuk membuatnya memiliki pekerjaan tertentu.”
Tetapi motif klitih bisa sangat beragam. Ia tak sebatas ingin menunjukkan loyalitas. Ia juga bisa bersumber dari perasaan kecewa, masalah di rumah, putus cinta, lingkungan sekolah maupun pergaulan, atau pemberontakan terhadap sistem. Pendeknya, perihal yang sangat luas plus lazim dikenali pada remaja menjelang masa akil balig.
“Ketidakpuasan itu lantas mereka limpahkan dengan perbuatan kriminal, dari hal biasa seperti minum minuman keras sampai klitih,” katanya.
Tiada Istilah yang Tepat
Namun, mendeteksi aksi klitih takkan pernah mendapatkan sudut pandang terbaik tanpa melihat korban. Cerita Adnan Wirawan Ardiyanta bisa menjelaskan hal itu.
Adnan adalah anak yang baru pindah dari Semarang mengikuti orangtuanya ke Yogyakarta. “Kurang lebih enam bulan lalu, Adnan masuk Muhi baru semester genap ini,” kata ibunya, Sri Lestari, kepada reporter Tirto Mutaya Saroh yang datang seminggu selepas kematian anaknya. Muhi kependekatan dari SMA 1 Muhammadiyah dan Adnan baru kelas satu di sekolah tersebut.
Sri semula tersenyum saat kedatangan wartawan, tetapi ia terlihat gelisah. Di depan pintu pagar rumah, ia sesekali memalingkan muka ke arah jalan, mengawasi pelintas motor. Usai deru suara motor itu lenyap, ia lalu berkata: “Adnan itu anak yang pendiam.”
Sehari-hari, ujar Sri, Adnan jarang keluar rumah. Sesekalinya keluar, biasanya ia hanya pergi ke warung di depan rumah. Keluarga itu belum mengenal secara dekat lingkungan keluarga sekitar, begitu pun sebaliknya.
Boleh jadi Adnan tidak memahami betapa dalam sentimen permusuhan antar-geng sekolah. Kepada media, ayah Adnan, Agus Riyanto mengatakan bahwa anaknya sering ketakutan terhadap kelompok geng sekolah. Karena takut itulah, untuk menjaga diri, Adnan sering mengganti seragam sekolah dengan kaos dalam perjalanan pulang ke rumah.
Adnan dimakamkan pada 14 Desember 2016.
Bila kematian orangtua memiliki sebutan yatim atau piatu atau yatim-piatu bagi anak yang ditinggalkan, dalam bahasa duka, yang mengenal kesedihan dan kesakitan dan sejenisnya, tak ada istilah yang tepat untuk menggambarkan rasa kehilangan orangtua terhadap anaknya. Tidak seorang pun.
Efek Jera
Sikap jagoan bisa menular. Sebelum kematian Adnan, pada Jumat dini hari bulan September, Adnan Hafid Pamungkas (20) tewas ditikam dengan pisau di Gamping, Sleman. Pada akhir Agustus, Iqbal Dinaka Rofiqy tewas dianiaya di Umbulharjo, Yogyakarta
Sekitar April, polisi mengamankan sepuluh orang yang hendak mengacau di sekitar taman rekreasi Sindupark, Yogyakarta. Pada Maret, polisi mengamankan empat orang di sekitar Jogja Expo Center, Yogyakarta. Polisi juga menggerebak 14 orang di Jalan Kalipakis, Kasihan, Bantul. Pada November 2015, polisi mengamankan 70 pelajar di sekitar Malioboro karena gerombolan itu mengganggu ketertiban.
Pelaku penusukan Hafid Pamungkas adalah residivis berusia 17 tahun, demikian pernyataan polisi saat menangkapnya pada 5 Oktober 2016. Para pelaku pengeroyokan terhadap Adnan Wirawan, yang ditangkap di hari insiden itu, sudah berjumlah sepuluh orang. Usia mereka di bawah umur.
Apa tindakan kepolisian agar aksi klitih selekas mungkin mereda?
Hukum Indonesia mengenal perlindungan terhadap anak dari penyiksaan dan hukuman yang bisa dinilai terlalu berat bagi anak. Bagaimanapun masa depan para remaja ini masih panjang. Ia perlu pendekatan hati-hati. Kata kunci yang dipakai polisi adalah “diproses hukum hingga memberikan efek jera.” Kapolda Yogya mengatakan bahwa anak-anak akan dipenjarakan di Lapas khusus anak-anak.
Sosilog Soeprapto sendiri mengusulkan bahwa para pelaku anak-anak ini “tak hanya dibina,” tetapi juga perlu dikenali siapa di antara mereka yang sepatutnya dihukum lebih berat berdasarkan kadar keterlibatannya dalam menghilangkan nyawa seseorang.
“Orangtua, komisi nasional hak asasi manusia, dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada anak-anak harus mampu memilah mana anak yang layak untuk diperbaiki dan mana yang harus benar-benar dibela,” ujarnya.
“Jika tidak, korban bisa semakin banyak,” ujar Soeprapto.
Kampanye 'Darurat Klitih'
Sehari setelah Adnan dikuburkan, sekelompok orangtua pelajar menggelar diskusi bertajuk “darurat Klitih” di gedung parlemen daerah. Seorang orangtua mengisahkan putrinya yang SMA ketika mengendarai sepeda motor pada satu malam ditakuti-takuti oleh pengendara motor di belakangnya. Penyebabnya: Si putri berhenti ketika lampu merah, sementara si pengendara minta ia melaju; saat lampu hijau, si pengendara menyalip sambil mengacungkan celurit. Insiden itu bikin anaknya syok dan takut keluar rumah sendirian pada malam hari.
Tiga hari usai Adnan dimakamkan, solidaritas yang menamakan diri Masyarakat Peduli Pendidikan melakukan aksi damai bertema “Save Jogja dari Darurat Klithih” di Titik Nol Kilometer, jantung Kota Yogya. Mereka menyerukan agar aparat kepolisian bertindak cepat mencegah aksi keluyuran bermotif kekerasan di kalangan pelajar.
Seruan aksi itu memang mendesak. Seminggu setelah penusukan terhadap Adnan yang berakhir pada kematian, pada Selasa dini hari, 20 Desember, aksi klitih terjadi lagi di Bantul. Dua orang, yang berhenti di tepi jalan untuk buang pipis, didatangi oleh empat orang memakai cadar dan berjaket hitam. Pelaku lantas membacok salah satu korban. Si korban, berusia 19 tahun, mengalami luka berat di bagian pelipis, mulut, jidat, dan luka bacok di tengkuk selebar 20 sentimeter, segera mendapatkan perawatan intensif di satu rumah sakit.
Ketika berita lelayu Adnan Wirawan dipajang di 'info cegatan jogja'—grup publik di Facebook yang jadi alun-alun percakapan pelbagai problem perkotaan di seputar provinsi istimewa ini—4 jam 10 menit sesudah kematiannya, ia mendatangkan 790 emotikon sedih dan 158 emotikon marah dari 6.300 penanda emosi dari 388.410 anggotanya, memantik banyak ragam pendapat di kolom komentar, sebagian besar berupa ucapan belasungkawa di antara 1.000 komentar.
Di hari pemakaman putranya, Agus Riyanto berujar bahwa polisi mesti bertindak tegas. Ia sendiri membuka jalan musyawarah.
“Tetapi,” tuturnya, “Saya ingin tetap diproses hukum. Kasihan nanti kalau ada jatuh korban lagi.”
Penulis: Fahri Salam
Editor: Fahri Salam