tirto.id -
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1994 tentang Perkawinan. Aturan itu resmi diperbarui di rapat paripurna, Senin (16/9/2019) kemarin.
“Apakah setuju RUU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kita sahkan menjadi undang-undang?” tanya Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, selaku pimpinan sidang.
“Setuju!” jawab anggota parlemen.
Salah satu poin yang direvisi adalah batas usia perkawinan untuk perempuan. Jika di pasal 7 ayat (1) sebelum revisi negara memperbolehkan pernikahan perempuan minimal 16 tahun, di aturan baru, batas usia naik jadi 19 tahun, sama dengan batas usia laki-laki.
“Diharapkan kenaikan batas umur yang lebih tinggi bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko kematian ibu dan anak,” ujar Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Totok Daryantodi di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (16/9/2019).
Sesuai aturan UU Perkawinan baru, apabila seseorang hendak menikah sebelum usia 19 tahun, maka mereka harus mengajukan dispensasi dengan bukti kuat.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Perkawinan Sudiro Asno menjelaskan dispensasi tersebut diminta di pengadilan.
“Kalau agama Islam ke pengadilan agama, kalau non-Islam ke pengadilan negeri,” kata Sudiro kepada reporter Tirto, Jumat (13/9/2019).
Sudiro mengklaim dispensasi dari pernikahan itu tak mudah, sebab hakim wajib mendengarkan penjelasan dari calon pengantin pria dan perempuan secara langsung.
Saat kami bertanya ihwal pengawasan terhadap pelaksanaan aturan tersebut, Sudiro mengatakan petugas pencatat perkawinan harus bersikap tegas supaya tak ada pelanggar.
Menurut Sudiro, hal yang paling penting dalam penerapan aturan ini adalah sosialisasi.
“Masyarakat harus memahami, karena kita mengeluarkan Undang-Undang dalam rangka tujuan nasional yang ingin kita capai. Harus dimulai dari sekarang, sedikit demi sedikit untuk menunda perkawinan,” tuturnya.
Bagi petugas yang nekat menikahkan warga di bawah umur, mereka akan dikenai sanksi indisipliner sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Belum Selesai
Direktur Eksekutif Kapal Perempuan, Misiyah, mengapresiasi langkah DPR yang meningkatkan batas usia minimal perkawinan bagi perempuan.
Meski begitu, ia mengatakan bahwa perjuangan mereka belum selesai, sebab dalam pemantauan Kapal Perempuan, pemerintah masih akan membahas bentuk dispensasi pernikahan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam bentuk Perma (Peraturan MA).
“Bentuk aturan dispensasi itu nanti akan diterbitkan Mahkamah Agung, kalau dispensasi itu, kan, orangtua atau wali mengajukan ke pengadilan, kemudian dengan menyertakan argumen dan bukti-buktinya, kalau yang di Undang-Undang enggak diatur secara rinci,” tutur Misiyah.
Misiyah menjelaskan, setelah ini, pemerintah harus gencar memberikan sosialisasi dan penyadaran kepada masyarakat dan petugas yang melakukan pencatatan perkawinan.
“Salah satu upayanya adalah menyiapkan anak-anak kita supaya tidak terjerembab dalam perkawinan anak, karena saat ini publik sudah mulai teracuni dengan gerakan tanpa pacaran, gerakan menikah muda, dan sejenisnya. Ini bukan memojokkan agama, tapi ini untuk memajukan publik untuk memenuhi hak dasar,” ungkapnya.
Tak hanya itu, Misiyah menegaskan bahwa pemerintah punya tanggung jawab penting untuk membangun kesadaran bagi aparat penegak hukum, sehingga mereka bisa menerapkan aturan perkawinan dengan ketat.
“Undang-Undang ini satu instrumen, dia bisa hidup kalau ditopang dari instrumen yang ideal, penegak hukum berjalan dan tegas menegakkan aturan yang ada, serta menegakkan masyarakat yang bersentuhan langsung, orangtua, anak-anak remaja. Publik pun harus mendukung dengan kesadaran penuh bahwa perkawinan anak ini merugikan,” tandasnya.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Maya Saputri & Rio Apinino