tirto.id - PT Bank Muamalat Indonesia Tbk sedang mencari investor baru untuk menambah modal guna memperkuat dan ekspansi bisnis. Bank syariah pertama di Indonesia ini, berencana melakukan penambahan modal melalui right issue dengan target perolehan dana Rp4,5 triliun.
Masalah permodalan Bank Muamalat sempat mencuat setelah PT Minna Padi Investama Tbk akan menjadi pemegang saham mayoritas dengan suntikan dana sebesar Rp4,5 triliun, sayang berujung gagal. PT Minna Padi Investama Tbk baru menyetor Rp1,7 triliun buat Bank Muamalat melalui rekening Escrow.
Kegagalan akuisisi ini disebabkan PT Minna Padi Investama Tbk gagal memenuhi kewajiban seperti tertuang dalam perjanjian jual beli bersyarat atau conditional share subscription agreement (CSSA) yang berakhir pada 31 Desember 2017.
Kondisi yang menimpa bank syariah pertama di Indonesia ini menjadi perhatian para anggota dewan di Senayan. Komisi XI DPR RI menggelar rapat kerja dengan PT Bank Muamalat Tbk dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Selasa (11/4/2018). Pertemuan tersebut untuk memaparkan kondisi Bank Muamalat oleh OJK.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam rapat kerja Komisi XI DPR mengatakan Bank Muamalat basisnya mempunyai likuiditas bagus, hanya membutuhkan tambahan modal untuk beroperasi ke depan.
Sampai akhir Desember 2017, rasio kecukupan modal (CAR) Bank Muamalat (kategori BUKU 3) mencapai 13,62 persen memang masih di atas syarat CAR minimum perbankan 8 persen. Namun, jumlah tersebut di bawah rata-rata CAR bank syariah BUKU 3 yang 14,25 persen.
“Kebutuhan modal ini hal yang normal karena Bank Muamalat harus terus tumbuh untuk menjalankan fungsi intermediasi (perantara) secara berkelanjutan,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso di Kompleks Parlemen, Jakarta, seperti dikutip Antara.
OJK meyakini Bank Muamalat tidak mengalami persoalan likuiditas yang mengkhawatirkan. Kondisi likuiditas Bank Muamalat antara lain dapat dilihat dari Financing to Deposit Ratio (FDR) atau rasio pembiayaan kredit yang diberikan bank dengan simpanan masyarakat sebesar 86,14 persen. Kondisi membaik dari tahun sebelumnya yang tercatat 96,47 persen.
Dalam paparan Direktur Utama Bank Muamalat Achmad Kusna Permana di depan Komisi XI DPR-RI, Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank Muamalat tumbuh 16,14 persen atau jauh lebih tinggi dibanding pembiayaan yang hanya 3,19 persen pada 2017.
Sehingga Achmad Kusna Permana menegaskan masalah utama adalah memang soal modal. Saat ini, klaim Achmad, sudah banyak investor dari dalam dan luar negeri yang tertarik menambah permodalan.
“Kami melihat ini masalah penguatan modal. Ketika modal ada, tim manajemen punya modal untuk mengembangkan Bank Muamalat,” ujar Achmad seperti dilansir Antara.
Masalah permodalan ini terjadi karena pemegang saham Bank Muamalat tidak bisa ikut serta dalam menambahkan modal. Sejumlah faktor di antaranya terkait peraturan internal yang membatasi kepemilikan modal dan persoalan konsolidasi. Seperti diketahui Islamic Development Bank (IDB) adalah salah satu pemegang saham mayoritas dengan poersi 32,74 persen. Selebihnya ada Grup Boubyan Bank-Kuwait 30,45 persen, Grup Sedco 24,23 persen dan perseorangan 12,58 persen.
Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Yusuf Wibisono mengatakan persoalan utama yang dihadapi Bank Muamalat memang terkait dengan permodalan. Namun, Yusuf menduga ada faktor-faktor lain yang membuat Bank Muamalat butuh suntikan modal.
“Mungkin masalahnya ada pada manajemen risiko yang kurang prudent dan struktur untuk sektor-sektor pembiayaan yang berbeda dengan bank lain,” ucap Yusuf kepada Tirto.
Selain itu dalam kurun waktu 1-2 tahun terakhir kinerja Bank Muamalat memang kurang menggembirakan. Salah satunya terkait masalah rasio kredit bermasalah (Non Performing Loans/NPL/NPF) atau kredit macet. Yusuf berkata masalah NPL ini sebetulnya juga dialami bank-bank syariah lainnya.
Pada 2016, rata-rata rasio NPL bank syariah mencapai 5,68 persen, di atas ketentuan OJK yang hanya 5 persen. NPL gross dan NPL net Bank Muamalat juga memperlihatkan peningkatan pada 2017. Berturut-turut, besarannya mencapai 4,43 persen dan 2,75 persen. Padahal pada 2016, NPL gross Bank Muamalat tercatat 3,65 persen serta memiliki NPL net sebesar 1,40 persen.
Yusuf Wibisono menilai adanya inisiatif dari Bank Muamalat untuk membangun kepercayaan. Salah satunya seperti saat Ustaz Yusuf Mansur mengajak ribuan jemaah untuk membuka rekening di Bank Muamalat. Yusuf menilai aksi massal tersebut merupakan bentuk simbolik untuk menepis segala anggapan negatif terkait kinerja Bank Muamalat.
Tuntutan DPR
Situasi sulit yang dihadapi Bank Muamalat membuat DPR meminta OJK aktif mencarikan investor. Anggota Komisi XI DPR RI Hendrawan Supratikno meminta OJK tidak terus mengulur waktu dan jangan ragu-ragu untuk bertindak. Hendrawan melihat bahwa dalam kondisi tertekan, masalah akan terus berakumulasi serta semakin kompleks.
Politikus PDI Perjuangan itu juga mengkritisi sikap pemegang saham yang terkesan ragu terhadap prospek Bank Muamalat. Sikap semacam itu berpotensi membuat investor baru yang optimistis jadi susah mendekat.
“Jadi komitmen pemegang saham lama harus diminta serius. Kalau tidak, jual saja dengan harga jual yang fair,” ungkap Hendrawan kepada Tirto.
Lantas apakah masyarakat harus khawatir dengan masalah yang dihadapi Bank Muamalat ini?
Hendrawan berpendapat masyarakat sebetulnya tidak perlu panik. Meski ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) namun ia menekankan agar penanganan Bank Muamalat ini juga tidak boleh sembarangan. Pasalnya, Bank Muamalat merupakan contoh bank yang dijalankan dengan prinsip syariah.
“Bank ini harus bisa menjadi contoh dari manajemen yang baik, integritas para pengelola yang mengundang kagum, dan kinerja yang kinclong. Jangan justru sebaliknya,” kata Hendrawan.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Mufti Sholih