tirto.id - Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja Denni Purbasari menyebut bahwa, banyak masyarakat di umur 30 hingga 40 tahun rentan dalam menghadapi disrupsi akibat sulit beradaptasi pada perubahan global.
"Di sepanjang span umur tersebut (18-64 tahun), kita melihat bahwa kerentanan-kerentanan terjadi. Ada distruptions, dan kemudian ada sekelompok pekerja yang terdampak oleh distruptions tersebut dan kesulitan untuk beradaptasi, terutama adalah pekerja-pekerja di usia pertengahan 30 hingga 40 tahun," kata Denni dalam konferensi pers Inclusive Lifelong Learning Conference di Bali, Senin (3/7/2023).
Denni menjelaskan, umur 30-40 mengalami tantangan karena skill mereka cukup usang. Hal ini tidak lepas dari persepsi bahwa tidak ada pendidikan yang mumpuni usai lulus perguruan tinggi yang rerata pada umur 22 tahun. Program Kartu Prakerja hadir untuk menyelesaikan masalah skill masyarakat yang usang dalam menghadapi disrupsi global.
"Mereka skillnya sudah cukup usang karena mereka selesai perguruan tinggi di usia 22 tahun, tapi kemudian bagaimana kita memberikan kesempatan buat mereka untuk mengupdate diri sehingga kemudian tidak stagnan skillnya dan mereka kemudian bisa tetap bekerja bahkan lebih produktif hingga usia pensiunnya," kata Denni.
Denni pun mengklaim, upaya pendidikan lewat program Kartu Prakerja juga adalah upaya untuk mengelola penduduk yang masih memiliki usia produktif meski sudah pensiun. Hal itu akan berguna untuk mengurangi beban generasi muda di masa depan.
"Setelah pensiun masih ada usia produktif untuk terus melakukan upaya supaya kemudian tidak menjadi beban bagi generasi di bawahnya. Karena itu Prakerja hadir dan kita telah melihat hasilnya," kata Denni.
Sementara itu, Chair of the Governing Board, UNESCO Institute for Lifelong Learning Daniel Baril menilai bahwa budaya pembelajaran sepanjang hayat penting di dunia yang terus berkembang seperti kemunculan kecerdasan buatan (AI), gangguan dunia kerja, perubahan iklim dan perubahan demografis. Ia menilai belajar sepanjang masa akan membuat masyarakat hidup lebih baik. Ia pun tidak memungkiri ratusan juta masyarakat terdampak akibat perubahan dunia dan memerlukan pembelajaran untuk orang dewasa.
"Namun, dunia kita keluar jalur. 763 juta orang dewasa kekurangan literasi dasar. Hampir setengah dari orang dewasa saat ini tidak melek digital. Di sepertiga negara di seluruh dunia, kurang dari 5 persen orang dewasa berpartisipasi dalam program pendidikan dan pembelajaran dan seperti yang ditunjukkan oleh Laporan Global Kelima UNESCO tentang Pembelajaran dan Pendidikan Orang Dewasa, mereka yang paling membutuhkan pembelajaran orang dewasa adalah penduduk asli, migran, lansia atau penyandang disabilitas, yang terlalu sering kehilangan kesempatan belajar," kata Baril.
UNESCO bersama sekitar 140 negara yang menjadi anggota UNESCO berupaya memenuhi visi dan hak untuk belajar sepanjang hayat sesuai Konferensi Internasional Pendidikan Orang Dewasa Ketujuh (CONFINTEA VII) di Makkarech. Mereka bersepakat untuk mengubah pendidikan tidak hanya di waktu muda, tetapi juga di seluruh waktu di seluruh dunia. Hal itu terbukti dalam berbagai acara UNESCO, termasuk Konferensi Dunia tentang Perawatan dan Pendidikan Anak Usia Dini di Tashkent, Konferensi Dunia tentang Pendidikan Tinggi di Barcelona, dan Transforming Education Summit di New York.
"Komitmen bersama ini menunjukkan tekad bersama untuk memprioritaskan dan mengubah pendidikan di semua tahap kehidupan, menggarisbawahi pengakuan global akan pentingnya pendidikan dalam membentuk masa depan yang berkelanjutan dan adil," kata Baril.
"Saat kita menyaksikan kekuatan transformatif dari pembelajaran sepanjang hayat dalam tindakan, kita melihat bagaimana hal itu mengubah kehidupan dan mengubah masyarakat. Anda dapat menemukan transformasi ini, misalnya dengan mengunjungi pameran kami dengan kesaksian dan cerita dari pembelajar seumur hidup dari seluruh dunia yang akan Anda temukan di seluruh tempat konferensi," tutur Baril.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Anggun P Situmorang