Menuju konten utama

Pegiat HAM Minta Polisi Bebaskan Aktivis Papua yang Ditahan

Human Rights Watch (HRW) mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut tuduhan makar dan membebaskan 22 aktivis yang telah ditahan sejak Agustus 2019.

Pegiat HAM Minta Polisi Bebaskan Aktivis Papua yang Ditahan
Kerusuhan Wamena. STISIP Amal Ilmiah Yapis Wamena terbakar pada 23 September 2019. tirto.id/Fahri Salam

tirto.id - Human Rights Watch (HRW) mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut tuduhan makar dan membebaskan 22 aktivis yang telah ditahan sejak Agustus 2019. Dalam siaran pers yang diterima Tirto, peneliti HRW, Elaine Pearson, mengatakan bahwa penuntutan tersebut merupakan bentuk kemunduran dari kebebasan berekspresi.

Pearson pun meminta kepada aparat untuk membatalkan dakwaan dan segera membebaskan orang yang ditahan dengan dalih memiliki bendera atau merencanakan aksi.

“Papua mungkin menjadi topik sensitif di Indonesia, tapi itu bukan alasan untuk menangkap dan mengirim mereka ke penjara karena aksi damai,” ujar Pearson, Kamis (28/11/2019).

Jelang 1 Desember, ia juga meminta kepada para duta besar negara lain dan pejabat PBB untuk memantau aksi demonstrasi yang terjadi di Papua dan Papua Barat. Selain itu, serta memantau respon penegakan hukum.

Pearson menegaskan bahwa pihaknya merupakan organisasi yang tak mengambil posisi apa pun dalam isu Papua. Namun, ia mendukung seseorang untuk mengekspresikan pandangan politik secara damai, tanpa takut ditangkap.

Ia menegaskan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan negara telah melanggar Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Dan Indonesia merupakan pihak yang telah meratifikasi.

HRW mencatat, aparat penegak hukum di Indonesia telah menangkap 22 orang pada bulan Agustus dan September, setelah terjadinya demonstrasi di provinsi Papua dan Papua Barat. Mereka ditangkap di berbagai daerah di Indonesia dengan tuduhan makar berdasarkan pasal 106 dan 110 KUHP setelah melakukan aksi protes di daerah masing-masing.

Protes itu bermula dari sebuah video rasisme terhadap orang Papua yang terjadi di Surabaya pada 17 Agustus. Video tersebut telah menggerakkan demonstrasi di 30 kota di seluruh Indonesia, termasuk Jakarta. Di Papua, kerusuhan telah membuat kantor DPRD Manokwari, penjara di Sorong, Papua Barat, dan Jayapura, Papua dibakar.

Koalisi pegiat Hak Asasi Manusia untuk Papua mencatat, ada sekitar 73 orang yang ditangkap dalam aksi damai, termasuk 22 orang yang telah ditahan. Namun hingga kini, mereka tak mengetahui nasib dari 51 orang yang ditangkap dalam rangkaian aksi damai tersebut.

“Pemerintah Indonesia telah membuat kemajuan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir dengan membebaskan hampir semua tahanan politik, namun penangkapan yang terjadi akhir-akhir ini mengancam,” ujar Pearson.

“Ketika peringatan 1 Desember semakin dekat, aparat penegak hukum Indonesia harus berhenti menangkap dan menahan orang hanya karena mengibarkan bendera atau secara damai mendesak kemerdekaan,” tambahnya.

Menanggapi hal tersebut, Karopenmas Divhumas Mabes Polri Argo Yuwono menegaskan bahwa mereka tidak akan melepas para tersangka dalam kasus pengibaran bendera. Ia beralasan, para tersangka tengah menghadapi pengadilan dan menunggu keputusan hakim.

“Itu mau bebaskan gimana? Kan sudah proses sidang. Kita tunggu saja proses sidangnya seperti apa, nanti putusannya,” kata Argo saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (29/11/2019).

Argo menuturkan bahwa dirinya tak mau menanggapi ihwal kabar 51 orang yang ditangkap oleh polisi, sebab ia belum memegang data valid. Argo berjanji akan mengecek ke pengadilan apabila ada berkas yang tengah disidangkan.

Selain itu, Argo pun enggan memastikan kalau polisi tidak akan menangkap massa saat 1 Desember. Ia mengungkapkan, polisi akan memberi tindakan jika terjadi pelanggaran.

"Namanya ekspresi itu ada aturannya dan tidak absolut. Kalau misalnya melanggar undang-undang menyampaikan pendapat gimana? menurut kamu, merusak fasilitas umum gimana? Jadi tetap harus memenuhi aturan," tandasnya.

Baca juga artikel terkait PAPUA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Widia Primastika