tirto.id - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memastikan bahwa rencana pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) bukan termasuk bentuk upaya pelarangan dakwah Islam.
Rais Syuriah PBNU, Kiai Ahmad Ishomuddin menyatakan kritik yang menganggap pemerintah sedang berupaya melarang aktivitas dakwah Islam saat berencana membubarkan HTI adalah salah besar. Sasaran pemerintah, menurut dia, ialah gerakan politik HTI yang terindikasi menolak dasar negara.
"Ini salah besar. Pemerintah tidak melarang dakwah Islam. Pemerintah tidak melawan agama Islam, tapi melarang gerakan politik HTI," kata Ishomuddin, dalam diskusi "Khilafah Dalam Pandangan Islam" di Gedung PBNU Jakarta, pada Jumat (12/5/2017) seperti dilaporkan Antara.
Menurut Ishomuddin, salah satu kesalahan yang dilakukan HTI adalah sering mengatasnamakan Islam untuk menarik simpati masyarakat demi memuluskan tujuan politiknya, yakni menegakkan pemerintahan khilafah di Indonesia.
"Mereka ingin membuat sistem negara dipimpin oleh khilafah dari Sabang sampai Maroko. Bukan Merauke ya, tapi Maroko," kata dia menjelaskan ideologi transnasional HTI.
Ishomuddin mencatat, selama ini, Hizbut Tahrir (HT) merupakan organisasi politik lintas negara yang awalnya berdiri di Palestina. Organisasi ini muncul buah dari kekecewaan sebagian aktivis muslim terhadap Israel yang terus melakukan okupasi dan penjajahan terhadap wilayah Palestina.
"Hizbut Tahrir kemudian berkembang hingga 43 negara," kata Ishomuddin.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, menurut Ishomuddin, ada sekitar 23 negara yang sudah melarang aktivitas Hizbut Tahrir.
Di tempat yang sama, Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj menegaskan organisasinya mendukung upaya pemerintah dalam membubarkan HTI karena organisasi ini memiliki pandangan yang bertentangan dengan Pancasila. Sikap serupa, menurut dia, juga dinyatakan oleh 12 ormas keagamaan lain di Indonesia.
"Kami bersama 12 organisasi keagamaan lainnya pendapatnya sama, menolak kehadiran HTI di Indonesia. Organisasi yang merongrong Pancasila, tidak menghormati kebhinnekaan, tidak menghormati UUD 45, harus dibubarkan," kata Said.
Said menjelaskan sesungguhnya Islam tidak mengatur secara khusus mengenai masalah perpolitikan dan sistem pemerintahan. Karena itu, konsep sistem pemerintahan diputuskan dengan cara ijtihad, yaitu upaya untuk memutuskan perkara yang tidak dibahas dalam Alquran dan Hadits dengan menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
"Sistem perpolitikan menurut ahlussunnah waljamaah itu melalui ijtihadiyah. Tidak harus bersistem kerajaan, khilafah atau republik. Yang penting harus berkeadilan, hukum ditegakkan, sejahtera. Itu saja," kata Said.
Dia menambahkan aktivitas HTI perlu diwaspadai mengancam sistem pemerintahan RI meski organisasi tersebut selama ini tidak melakukan kekerasan. "Sangat bahaya kalau dibiarkan menjadi besar. Bisa berpotensi perpecahan, konflik, bahkan perang saudara," kata Said.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto telah mengumumkan pemerintah akan menempuh sejumlah langkah hukum untuk membubarkan HTI. Menurut dia, pemerintah telah sejak lama mengamati dan mengawasi aktivitas HTI sehingga pada akhirnya menyimpulkan organisasi ini bertentangan dengan ideologi negara.
Pihak HTI sendiri sudah menolak anggapan pemerintah itu. Juru Bicara HTI, Ismail Yusanto telah menyatakan organisasinya akan mempersiapkan langkah hukum untuk melawan upaya pemerintah dalam membubarkan HTI.
"Kita akan segera membentuk tim hukum. Kita akan menyiapkan tim- tim dengan cermat," kata Ismail pada Selasa (9/5/2017) lalu.
Ismail juga membantah tudingan pemerintah. Menurut dia, AD/ART HTI menyebutkan bahwa HTI adalah organisasi dakwah yang berazas Islam di dalam NKRI berdasar Pancasila dan UUD 45.
"Azas HTI yang terdaftar berazaskan Islam dan azas Islam itu boleh menurut UU Ormas tidak harus Pancasila asal tidak bertentangan dengan Pancasila. Lagi pula parpol saja boleh berazaskan Islam kenapa ormas tidak boleh, parpol punya implikasi politik sedangkan ormas tidak," kata dia.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom