Menuju konten utama

PBB Soroti Penanganan Demo, Akankah Pemerintah Berbenah?

Tekanan baru akan signifikan jika diikuti dengan sanksi diplomatik, baik secara bilateral maupun multilateral.

PBB Soroti Penanganan Demo, Akankah Pemerintah Berbenah?
Personel kepolisian menembakkan gas air mata saat membubarkan paksa pengunjuk rasa di DPRD Provinsi Kalimantan Timur di Samarinda, Kaltim, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nym.

tirto.id - Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia sepanjang pekan terakhir bulan Agustus 2025 lalu telah menjadi sorotan dunia internasional. Organisasi internasional terbesar di dunia, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia (OHCHR) telah mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan menyeluruh atas tewasnya sejumlah korban selama aksi demonstrasi yang menyebar di berbagai daerah di Indonesia.

Juru Bicara OHCHR, Ravina Shamdasani, menekankan bahwa kantornya telah memantau perkembangan situasi demonstrasi di Indonesia. Dalam pernyataannya, Ravina mengatakan bahwa pihaknya turut memperhatikan penggunaan kekuatan yang tidak diperlukan dan tidak proporsional oleh aparat keamanan.

“Kami memantau dengan saksama serangkaian kekerasan di Indonesia dalam konteks protes nasional atas tunjangan parlemen, langkah-langkah penghematan, dan dugaan penggunaan kekuatan yang tidak perlu atau tidak proporsional oleh aparat keamanan,” ujar Ravina dalam keterangan resminya di situs OHCHR, pada Senin (1/9/2025) lalu.

Ravina menegaskan, aparat keamanan harus menjunjung tinggi hak masyarakat untuk berkumpul secara damai dan kebebasan berekspresi sambil menjaga ketertiban, sesuai dengan norma dan standar internasional. Ia juga meminta aparat militer tetap mematuhi prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan kekuatan dan senjata api.

“Kami menyerukan investigasi yang cepat, menyeluruh, dan transparan terhadap semua dugaan pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional, termasuk yang berkaitan dengan penggunaan kekuatan,” tegasnya.

Selain PBB, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) juga mengamati penanganan pemerintah Indonesia dalam merespons rangkaian demonstrasi. ASEAN, melalui Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR), mengecam keras tindakan represif aparat kepolisian dalam menangani aksi demonstrasi, termasuk insiden pelindasan pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan, oleh polisi.

Bagi APHR, para demonstran saat itu tengah menuntut upah hidup yang lebih baik, kondisi kerja yang lebih baik, transparansi dalam penggunaan anggaran, penentangan terhadap undang-undang pertambangan yang merusak, dan kebijakan sosial-ekonomi dengan mengutamakan kesejahteraan rakyat.

Namun, aih-alih dialog dan respons kebijakan, para demonstran justru menghadapi eskalasi kekerasan. Untuk itu, APHR mengutuk penggunaan kekerasan oleh aparat.

“APHR mengutuk keras penggunaan gas air mata, meriam air, dan kendaraan lapis baja oleh pasukan keamanan negara untuk membubarkan massa, sementara relawan medis dan jurnalis yang berusaha membantu atau meliput situasi dihalangi,” tulis APHR dalam keterangan pers resmi di situsnya pada Jumat (29/8/2025).

Aksi unjuk rasa berujung ricuh di Ternate

Personel Polres Ternate mengamankan seseorang mahasiswa dalam aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Kota Ternate, di Ternate, Maluku Utara, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/Andri Saputra/nz

Arlene Brosas, salah seorang Anggota Dewan APHR dan mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Filipina, menuntut agar pihak yang melakukan kekerasan yang dilakukan untuk dimintai pertanggungjawaban. Sementara itu, Anggota Dewan APHR, yang juga Anggota Parlemen Malaysia, Wong Chen, menyebut bahwa momen ini akan menjadi ujian bagi Indonesia, apakah akan memilih reformasi atau represi.

"Membungkam suara-suara yang menyuarakan keprihatinan nyata tentang korupsi, jaminan kerja, dan perpajakan tidak akan menyelesaikan masalah ini; justru akan mengobarkannya," kata Chen, dikutip dari situs resmi APHR.

APHR menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk membuka jalur dialog yang tulus dengan para demonstran dan masyarakat sipil serta memprioritaskan reformasi legislatif dan regulasi yang mengatasi korupsi, ketidakamanan pekerjaan, dan krisis ekonomi.

Respons Pemerintah Indonesia

Setelah mendapatkan tekanan dari Kantor HAM PBB, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) lantas langsung bertindak. Kemlu menyatakan saat ini pemerintah telah membentuk tim pemantau khusus untuk menangani unjuk rasa yang belakangan kerap terjadi di Tanah Air.

Kemlu meyakini pemerintah pusat bakal mengedepankan dialog terbuka dengan masyarakat atau pemangku kepentingan tingkat nasional dan internasional. Kata Kemlu, langkah tersebut dilakukan untuk menjaga keseimbangan kebebasan sipil, ketertiban umum, harmoni sosial, serta memastikan demokrasi, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM dapat berjalan bersama.

"Sebagai bentuk akuntabilitas, pemerintah juga telah membuka mekanisme pengaduan publik dan membentuk tim pemantau khusus," demikian keterangan resmi Kemlu, dikutip Kamis (4/9/2025).

Kemlu turut menyebutkan, langkah-langkah yang ditempuh dilakukan untuk menjaga ketertiban umum, melindungi warga sipil, serta mengamankan fasilitas publik. Pemerintah disebut hendak memastikan bahwa setiap dugaan pelanggaran aparat penegak hukum ditangani melalui mekanisme hukum yang transparan dan akuntabel.

"Presiden Republik Indonesia juga telah menegaskan bahwa aparat yang terbukti bersalah akan diproses sesuai hukum. Untuk itu, Kepolisian RI diperintahkan melakukan pemeriksaan internal secara cepat, terbuka, dan dapat dipantau publik," sebut Kemlu.

Sementara itu, Menteri HAM, Natalius Pigai, mengatakan, pernyataan Juru Bicara OHCHR, Ravina Shamdasani, yang meminta Indonesia menyelidiki dugaan pelanggaran HAM pada aksi demonstrasi di Indonesia, sudah terlambat.

Konferensi pers Menteri HAM menyikapi aksi unjuk rasa

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai (kiri) bersama jajaran memberikan keterangan pers menyikapi situasi terkini terkait aksi unjuk rasa di berbagai daerah, di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (2/9/2025). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/YU

Menteri HAM, Natalius Pigai, mengeklaim, Indonesia telah mengambil langkah-langkah lebih cepat tiga hari dibandingkan permintaan dari OHCHR.

"Telat! Indonesia telah mengambil langkah-langkah lebih cepat tiga hari dari Juru Bicara OHCHR," kata Pigai dalam keterangan tertulis, pada Selasa (2/9/2025).

Pigai mengeklaim, langkah-langkah yang diminta telah dilakukan pemerintah Indonesia. Pertama, Presiden Prabowo langsung bertindak pada Jumat (29/8/2025) setelah mendapat kabar meninggalnya Affan Kurniawan. Prabowo sudah menemui keluarga Affan saat itu.

Kemudian, Prabowo langsung mendeklarasi kebebasan berpendapat, berkumpul, dan penegakan hukum sesuai aturan dan HAM sebagaimana UN Convenant on International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).

"Dan saat ini proses hukum secara transparan sedang berlangsung dan menjaga kebebasan ekspresi serta pemerintah sedang dan akan lakukan pemulihan korban," pungkasnya.

Tekanan Internasional Uji Reputasi Indonesia

Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Ririn Tri Nurhayati, menilai sorotan dunia internasional terhadap aksi demonstrasi di Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Meski pernyataan datang dari Kantor HAM PBB (OHCHR) dan bukan Dewan Keamanan, lembaga ini tetap punya otoritas moral untuk menilai kepatuhan negara terhadap standar HAM internasional.

Menurutnya, Indonesia sebagai anggota OHCHR punya kewajiban untuk menanggapi serius tekanan tersebut. Dengan begitu, Indonesia akan mempertegas pentingnya menjaga konsistensi komitmen pada isu HAM.

Aksi unjuk rasa mahasiswa di Ternate

Mahasiswa menendang barikade personel Polres Ternate dalam aksi di depan kantor DPRD Kota Ternate di Ternate, Maluku Utara, Senin (1/9/2025). ANTARA FOTO/Andri Saputra/nym.

“Ketika kemudian sudah jadi concern internasional, tentu Indonesia harusnya memperhatikan berbagai pressure atau tekanan yang disampaikan,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (4/9/2025).

Selain PBB, Ririn juga menyoroti respons ASEAN lewat APHR. Meski bukan pernyataan resmi dari Sekretariat ASEAN, APHR tetap membawa bobot politik karena melibatkan anggota parlemen, termasuk dari Indonesia. Menurutnya, pemerintah tidak bisa menyepelekan hal ini karena tuntutan yang disampaikan menyentuh persoalan fundamental: kesejahteraan rakyat dan akuntabilitas parlemen.

Ia menekankan, tekanan semacam ini akan berdampak langsung pada reputasi Indonesia di mata dunia. Jika pemerintah bersikap defensif atau menolak masukan, hal itu bisa memperburuk citra sebagai negara yang selama ini aktif mendorong demokrasi di kawasan.

Ririn juga menolak anggapan bahwa kritik internasional bisa disebut intervensi. Ia memberi contoh bagaimana Indonesia kerap menyuarakan tekanan pada Israel terkait isu Palestina.

“Itu kan juga bukan Indonesia intervensi kepada Israel tetapi itu bentuk keprihatinan,” jelasnya.

Menurutnya, yang lebih penting bukan soal siapa yang memberi tekanan, tetapi bagaimana Indonesia menindaklanjutinya. Bila pemerintah hanya merespons secara retoris tanpa langkah nyata, komunitas internasional akan membaca adanya resistensi terhadap perbaikan.

Aksi unjuk rasa ricuh di Polrestabes Surabaya

Anggota Polri membentuk barikade saat massa pengunjuk rasa mulai anarkis di Jalan Veteran, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (30/8/2025). Aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa berbagai perguruan tinggi yang sebelumnya berlangsung damai itu berakhir ricuh setelah bergabungnya sekelompok orang mulai melakukan pelemparan ke arah polisi. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/sgd

Ririn juga menyinggung soal kedaulatan negara. Baginya, kedaulatan tidak bisa dimaknai sebatas kebebasan negara melakukan apa pun di dalam negeri. Kedaulatan modern justru menuntut tanggung jawab pemerintah melindungi rakyatnya.

Dalam konteks itu, kritik eksternal menjadi wajar jika pemerintah dinilai gagal memenuhi tanggung jawab tersebut. Mekanisme semacam ini, justru membantu negara untuk introspeksi dan menjaga komitmen internasionalnya.

Desakan Internasional Tak Akan Terlalu Berpengaruh

Sementara itu, peneliti politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, melihat tekanan dari PBB maupun ASEAN lebih bersifat moral ketimbang politis. Menurutnya, pernyataan tersebut tidak memiliki kekuatan langsung, tetapi tetap memberi dampak pada reputasi Indonesia.

“Tekanan baik regional maupun internasional yang muncul menyikapi sikap pemerintah menghadapi demonstrasi besar-besar kemarin masih sebatas imbauan atas nama moralitas dan kemanusiaan sehingga lebih berdampak reputasi Indonesia di kancah internasional,” kata Wasisto saat dihubungi Tirto, pada Kamis.

Unjuk rasa di Polda Bali

Massa dari gabungan mahasiswa dan pengemudi ojek daring menyanyikan lagu Indonesia Raya saat unjuk rasa di depan Polda Bali, Denpasar, Bali, Sabtu (30/8/2025). Kapolda Bali Irjen Pol. Daniel Adityajaya meminta personel mengutamakan pendekatan persuasif dalam mengawal aksi demonstrasi dari sejumlah elemen masyarakat sipil. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/YU

Ia menilai, sorotan global ini bisa menjadi amunisi bagi aktivis di dalam negeri untuk menekan pemerintah. Adanya pemantauan internasional membuat aparat lebih berhati-hati dalam menggunakan kekerasan.

Meski begitu, dampak terhadap politik domestik masih terbatas. Tekanan baru akan signifikan jika diikuti dengan sanksi diplomatik, baik secara bilateral maupun multilateral.

“Tergantung apakah tuntutan internasional itu nantinya akan diikuti dengan sanksi,” jelas Wasisto.

Ia juga menyoroti posisi Presiden Prabowo dalam menanggapi tekanan. Respons pemerintah, kata dia, akan bergantung pada eskalasi situasi. Jika peringatan internasional mulai berdampak ke sektor ekonomi atau perdagangan, barulah pemerintah akan mulai menanggapinya dengan lebih serius.

Dalam kondisi sekarang, tekanan yang ada lebih banyak berfungsi sebagai cermin bagi Indonesia. Dunia ingin melihat apakah pemerintah memilih jalan reformasi atau terus mempertahankan pola represif.

Baca juga artikel terkait PBB atau tulisan lainnya dari Naufal Majid

tirto.id - News Plus
Reporter: Naufal Majid
Penulis: Naufal Majid
Editor: Farida Susanty