Menuju konten utama

Para Pejuang Sepur Lintas Merak-Rangkasbitung

Bagi sejumlah pedagang lintas Merak-Rangkasbitung, yang terpenting adalah kereta tetap beroperasi dengan murah.

Para Pejuang Sepur Lintas Merak-Rangkasbitung

tirto.id - Ini adalah cerita para pedagang di lintas Merak-Rangkasbitung. Mereka yang setiap hari menumpang kereta untuk berjualan, membawa aneka barang dalam kardus, keranjang, atau tas besar. Ukurannya beragam, isinya pun macam-macam—dari pakaian hingga penganan.

Di antara mereka ada Kumala, perempuan 67 tahun asal Serang, yang siang itu (11/11/2025) duduk di kursi tunggu Stasiun Rangkasbitung. Jam di peron menunjukkan pukul 12.59 WIB, setengah jam sebelum kereta tiba untuk membawanya pulang.

Tentengan Kumala berat dan penuh. Sebuah kardus besar berlapis plastik ia taruh di depan lutut, sementara keranjang merah diletakkan di sisi kiri. Sejak 1990-an, begitulah rutinitasnya. Dua kali seminggu Kumala naik kereta lokal dari Serang untuk berjualan di Rangkasbitung. Kadang ia berpindah rute hingga ke Cilegon atau Merak.

“Besoknya ke Serang, ke Cilegon, kadang-kadang ke Merak,” ujarnya saat kami berbincang.

Setiap hari, Kumala naik kereta pukul setengah sembilan pagi untuk tiba di Rangkasbitung, sekitar jam sepuluh. Sekitar tiga jam ia berjualan di sekitar pasar, tak jauh dari stasiun. Dan jauh sebelum sore menjelang, ia biasanya sudah berada di perjalan pulang.

Dari dalam kardus besar, ia mengeluarkan kerupuk seharga Rp25 ribu per bungkus, sementara keranjang berwarna merah berisi otak-otak bakar—dibanderol Rp3 ribu per biji. Setiap hari ia membawa sekitar 20 bungkus kerupuk dan 80 otak-otak.

“Bawa kemplang, ada kerupuk. Bawa dua puluh biji itu enteng. Karena kerupuk ya, enteng ini sih, enggak berat,” ujarnya.

Bisa dibilang, hidup Kumala selalu berjalan dalam irama yang sama: berangkat pagi dari Serang, berjualan, lalu pulang sore untuk menyetor sisa dagangan ke pemilik. Tak ada keluhan, tak ada keinginan muluk.

Ia bahkan tak tahu bahwa di jalur yang setiap hari ia lalui akan ada Kereta Khusus Petani-Pedagang (K3). Sebaliknya, fasilitas yang disiapkan oleh PT Kereta Api Indonesia untuk para pedagang dengan aneka barang bawaan malah membuat Kumala tampak bingung. Ia mengernyit, lalu bertanya balik, “Oh gitu?”

Kereta dimaksud adalah rangkaian baru yang rencananya diluncurkan KAI pada November 2025. Warna hijau toska dengan tulisan putih pada bagian bodi yang terbaca jelas: “Kereta Khusus Petani-Pedagang.”

Saat kami menjumpai fasilitas tersebut di Stasiun Rangkasbitung, lambung kereta masih berlapis cat mengilap. Tak ayal, kehadirannya menyedot perhatian beberapa penumpang yang baru tiba di stasiun Rangkasbitung—kecuali Kumala.

Dan wajar belaka jika mungkin Kumala terkesan tak terlalu peduli. Lagi pula, tak ada kesulitan yang berarti saat membawa barang dagangan. Ia merasa tidak membutuhkan perubahan besar, apalagi sampai menyiapkan kereta baru untuk para pedagang.

Kereta Khusus Petani-Pedagang

Kereta Khusus Petani - Pedagang yang Terparkir di Stasiun Rangkasbitung. tirto.id/Natania Longdong

Di usianya yang hampir tujuh puluh, tubuhnya masih lincah dan suaranya menunjukkan semangat menjemput keuntungan. “Maunya ngayap mulu,” katanya, memberi alasan mengapa ia tetap memilih keluar rumah dan menjajakan dagangan seperti biasa meski anak-anaknya sudah bekerja dan cucunya mulai besar. "Masih sehat. Orang-orang udah pada loyok, saya masih kuat jualan.”

Bagi Kumala, naik kereta juga telah menjadi bagian dari hidup. Tidak ada masalah dengan ruang, tidak juga dengan barang bawaan. Selama puluhan tahun berdagang, ia sudah hafal ritme perjalanan dan tahu cara menyesuaikan diri dengan aturan.

Sebabnya absah belaka: ia naik kereta sejak kambing hingga bebek masih dibolehkan bercampur baur bersama para penumpang, dan transaksi antara pembeli dan pedagang bebas dilakukan di gerbong. Ketika hal tersebut mulai dilarang sejak Ignasius Jonan melakukan pembenahan besar-besaran, ia tak lantas berpindah moda.

“Sekarang enggak boleh (berdagang), diomelin. Cuma nyolong-nyolong kalau ada yang mau beli. Kayak maling,” katanya.

Bagi Kumala, aturan baru atau fasilitas khusus bukan hal penting. Yang penting ongkosnya tetap murah. “Kalau naik mobil (angkot) tiga puluh lima ribu. Kereta paling tiga ribu. Murah kalau naik kereta."

Sementara Kumala mengakhiri perjalanannya di Stasiun Serang, di jalur lain—antara Merak dan Cikeusal—sekitar pukul 16.21 WIB, seorang perempuan paruh baya tampak memanggul keranjang merah berisi sayur matang, lontong, dan gorengan.

Perempuan yang biasa dipanggil Febri itu telah lebih dari 15 tahun ia melintasi rel Merak-Cikeusal. Dan hampir sama seperti Kumala, ia menjalani hari-hari dengan ritme yang nyaris tak berubah. “Ada lah 15 tahun mah, dari dulu waktu kereta (dari Rangkasbitung) ke kota,” ujarnya, sambil menata dagangan, ketika kami memulai perbincangan.

Febri tak berjualan untuk dirinya sendiri. Semua dagangan itu milik seorang yang ia sebut ‘bos’. Ia hanya mengambil dan menyetorkannya kembali sore hari. “Repot kalau masak sendiri. Udah tua juga,” tuturnya.

Setiap pagi, sekitar pukul setengah delapan, Febri meninggalkan rumahnya menuju Stasiun Merak. Dari sana, ia membawa keranjang ke pelabuhan—tempat orang-orang menunggu kapal menuju Sumatra. “Saya mah jualannya di pelabuhan, yang mau nyebrang,” katanya.

Ia masih ingat betul masa ketika aturan belum seketat sekarang. Saat itu, ia bebas menjajakan dagangan di sepanjang lintasan menuju Jakarta, berpindah dari satu gerbong ke gerbong lain, turun hanya bila kereta berhenti lama. “Dulu mah ke arah kota. Gak turun-turun, di kereta aja. Berenti di Parung Panjang, di mana aja kalo transit,” kenangnya.

Kini, semua itu tinggal cerita. Ia tak lagi bisa menjajakan jualannya di dalam gerbong. Tapi buatnya, itu bukan masalah besar. Ia sudah berdamai dengan berbagai macam aturan untuk para pedagang. Saat mendengar kabar soal rencana Kereta Khusus Petani-Pedagang, Febri hanya menaikkan alis. “Emang iya (ada nanti)? Kapan adanya?” tanyanya, bingung.

Suasana Gerbong KA Lokal Rangkasbitung-Merak. Natania Longdong/Tirto.id

KA Lokal Merak-Rangkasbitung

Alasannya sederhana, kata Febri. Selama ini, ia tak merasa kesulitan naik kereta. Berbeda dengan dua dasawarsa lalu, ketika kereta masih doyan mogok. Untuk mengamankan waktu perjalanan, ia kerap berpindah ke angkutan darat. "Sekarang mah enggak ada (kereta mogok),” katanya.

Yang penting baginya saat ini adalah kereta tetap beroperasi, murah, dan bisa mengantarkannya dari rumah ke tempat rezeki—khususnya jalur pendek Merak-Cikeusel, yang sudah ia hapal setial lengkungannya. “(Dulu) waktu masih arah kota, jualan di dalam KRL. Pokoknya selama ganti kereta gak ke sana (kota)."

Baca juga artikel terkait KAI atau tulisan lainnya dari Natania Longdong

tirto.id - Insider
Reporter: Natania Longdong
Penulis: Natania Longdong
Editor: Hendra Friana