tirto.id - Daunjati, Lembaga Pers Mahasiswa dari Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, sudah mempersiapkan segalanya demi kelancaran diskusi publik dengan tema situasi terkini Nduga, kabupaten di Papua tempat konflik bersenjata yang membikin puluhan ribu orang mengungsi terjadi.
Diskusi juga akan membahas New York Agreement, perjanjian soal penyelesaian sengketa Papua Barat yang terjadi pada 15 Agustus 1962. Perjanjian ini melahirkan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat)--yang dianggap menyalahi hukum internasional karena tidak dilakukan dengan cara satu orang satu suara.
Lewat Pepera-lah Papua Barat resmi jadi bagian Republik Indonesia.
Undangan diskusi sudah disebar. Wil Bib dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Kaemka dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dipastikan hadir sebagai pembicara. Yang perlu dilakukan tinggal menunggu orang-orang hadir di belakang Gedung Sunan Ambu, Rabu (14/8/2019) pukul 14.00.
Tapi rencana tinggal rencana. Acara keburu dibubarkan.
Setengah jam sebelum acara dimulai, panitia didatangi seorang perwakilan dari kemahasiswaan rektorat. Orang ini memerintahkan panitia dan semua pengurus Daunjati, yang jumlahnya tujuh orang, menghadap ke Rektor ISBI Een Herdiani.
Permintaan itu ditolak. Pimpinan Umum LPM Daunjati sekaligus moderator diskusi Ridwan Kamaludin mengatakan jika ingin bicara, sebaiknya di ruang terbuka saja.
"Kami usulkan di teras sekretariat LPM Daunjati," kata Ridwan kepada reporter Tirto, Kamis (15/8/2019).
Orang kemahasiswaan ini bersikeras. Dia beralasan ada organisasi masyarakat yang sedang menuju kampus hendak membubarkan paksa diskusi. Dengan pertimbangan keamanan Ridwan akhirnya setuju bertemu rektor di ruangannya.
Ternyata dia dan pengurus LPM tidak cuma bertemu rektor. Di ruang rektor, kata Ridwan, juga ada lima polisi berseragam lengkap dan dua tentara.
Polisi, tentara, dan rektor lalu meminta Ridwan menjelaskan isi diskusi.
"Setelah itu polisi langsung menanggapi: 'diskusi yang kalian buat akan berdampak perpecahan NKRI, karena persoalan ini adalah persoalan internasional,' 'kamu tahu enggak, New York Agreement itu isu yang sangat sensitif. Itu bentuk bersatunya dan terpisahnya Papua dari Indonesia.'"
Tidak lama kemudian tiga orang berkemeja putih bercelana hitam masuk. Belakangan diketahui mereka adalah anggota ormas yang dimaksud. Lalu mereka memotret wajah Ridwan dan semua panitia di ruangan, tentu tanpa izin.
Rektor menyaksikan itu, dan, kata Ridwan, "seakan membiarkan."
"Ini jelas-jelas tidak sesuai dengan perkataan kemahasiswaan sebelumnya, bahwa tujuan pembicaraan dilakukan di Gedung Rektorat agar pengurus aman dari serangan ormas."
Kemudian polisi meminta rektor membuat surat yang isinya tidak mengizinkan diskusi. Rektor menyanggupinya. Sembari menunggu surat selesai, Ridwan meminta ke polisi, juga TNI, untuk membubarkan ormas yang sudah ada di halaman kampus.
Instruksi langsung keluar. Seorang polisi memerintahkan seorang anggota ormas tadi, yang disebut-sebut sebagai "ketua kelompok", membubarkan anggotanya dan pulang. Mereka manut, keluar ruangan bersama seorang TNI.
Tapi menurut seorang mahasiswa yang ada di luar, anggota ormas tidak segera pergi.
"Ini diskusinya bahaya. Saya sudah siapkan tiga kompi pasukan, mereka siap ke sini kalau saya panggil," kata seorang polisi tiba-tiba, tanpa ditanya.
Surat selesai dibuat. Pihak terkait, termasuk perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa, membubuhkan tanda tangan.
Lalu, kata Ridwan, "ormas, TNI, dan polisi bubar sekitar pukul 16.30." Tapi hingga pukul 17.00 "beberapa mahasiswa masih melihat orang yang diduga intel berkeliaran di kampus."
Kapolrestabes Bandung Kombes Pol Irman Sugema tidak menjawab pertanyaan reporter Tirto terkait masalah ini. Dia mengaku sedang rapat, tapi hingga berita ini ditulis tidak juga merespons.
Kepada reporter Tirto, Rektor ISBI Bandung Een Herdiani membenarkan bahwa mereka tidak ingin ada diskusi dengan tema itu. Alasannya, tema tersebut "sensitif dan berbahaya."
"Boleh saja diskusi, tapi carilah bahan-bahan yang tidak mencelakakan kami. Nanti kasihan [nama] ISBI jelek," katanya, lalu mencontohkan diskusi yang aman itu yang bertema "seni dan budaya," yang "ada jurusannya dan berkaitan."
Dia khawatir apabila ada pihak-pihak yang memanfaatkan diskusi itu dengan tidak bertanggung jawab. "Bisa saja ada orang lalu mengibarkan bendera atau membentangkan spanduk dan dipotret terus dimasukkan sosmed. Itu kan bisa viral di dunia."
Een mengaku tahu diskusi itu justru dari aparat. Dia mengklaim tidak tahu sama sekali meski pada hari itu ada di kampus.
"Tiba-tiba pada 14 Agustus datang polisi ingin menjaga. Kemudian datang polisi dan TNI sekitar 10 orang agar acara tidak terjadi," akunya. "Akhirnya kami sepakat kegiatan ini tidak jadi. Dibubarkannya juga sesuai kesepakatan, kok."
Ke Mana Kebebasan Akademik?
Peneliti dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia cum dosen di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Jakarta Beni Sukadis mengatakan kasus ini membuktikan bahwa baik pihak kampus dan aparat serta ormas tidak paham apa itu kebebasan akademik. "Atau memang pimpinan kampus takut terhadap kasus-kasus sensitif yang bisa mengganggu keberlangsungan kampusnya," kata Beni kepada reporter Tirto.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan kampus semestinya bisa luwes mendiskusikan berbagai topik. Diskusi akan memunculkan nalar kritis, dan pembubaran bisa mengkebiri itu.
"Kalau [pembubaran] diteruskan dan dibiarkan, ini menjadi pertanda matinya tradisi berpikir, nalar kritis, dan tamatnya budaya literasi di kampus."
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino