tirto.id - Partai Rakyat Demokratik (PRD) semestinya merayakan hari ulang tahun ke-23, Senin (22/7/2019) lalu. Panitia telah menyiapkan berbagai acara, dari mulai diskusi terbuka, panggung budaya, hingga turnamen olahraga. Acara itu bertema 'Ini Jalan Kita ke Depan: Bangun Persatuan Nasional, Wujudkan Kesejahteraan Sosial, Menangkan Pancasila.'
Tapi semua rencana gagal. Polisi mendatangi lokasi perayaan sekaligus Sekretariat PRD Jawa Timur yang beralamat di Jalan Bratang Gede, Gang VI E Nomor 2A, Surabaya, yang terdiri dari dua lantai. Mereka meminta semuanya dipercepat karena akan ada ormas datang, padahal saat itu acara baru saja dimulai.
Ketua Pengurus Wilayah PRD Jatim, Hermawan, dengan berat hati mengikuti anjuran polisi. Dia mengaku tak mau ribut, karena itu memutuskan mengalah. Para peserta, kira-kira 40 orang, lalu melepas atribut partai, termasuk spanduk dan bendera.
Tidak berselang beberapa lama, sejumlah ormas memang datang ke lokasi perayaan. Bendera dan atribut lain yang tak sempat dicopot lalu mereka bakar. Mereka berteriak-teriak bahwa PRD adalah partai terlarang, seperti Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketua Umum PRD, Agus Jabo Priyono, mengatakan orang-orang ini mengintimidasi peserta, termasuk Hermawan. Pada malam itu Hermawan sebenarnya berupaya mengajak massa dialog dan meluruskan anggapan dan tuduhan miring soal PRD.
Tapi, kata Agus Jabo, "massa emosional" dan tak mau mendengar.
Dalam rilis yang diterbitkan Dominggus Oktavianus, Sekjen PRD, gangguan juga terjadi serempak di berbagai kota. Bendera-bendera PRD diturunkan di Jakarta dan di Tuban; sementara yang terjadi di Malang dan Kendari sama seperti yang terjadi di Surabaya, yaitu massa melarang kegiatan diskusi.
Agus Jabo bilang sebelum pembubaran ini mereka telah diintimidasi agar tak menggelar diskusi.
"Awalnya diskusi mau diselenggarakan di salah satu rumah makan di Surabaya, tapi karena ditekan terus, pemiliknya ketakutan. Kami pindah ke Sekretariat PRD," jelas Ketua Umum PRD, Agus Jabo Priyono, ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (23/7/2019).
Salah satu kelompok yang teridentifikasi ialah Laskar Pembela Islam (LPI), sayap ormas Front Pembela Islam (FPI), kata Agus Jabo. "Dari seragamnya pakai baju putih-putih, sebagian pakai seragam loreng," sambung dia.
Wali Laskar LPI Surabaya, Agus Fachrudin, membenarkan kalau mereka memang mendatangi acara PRD. Dia membenarkan kalau 'orangnya'-lah yang membakar atribut PRD. Tapi tidak lebih dari itu. Dia mengaku LPI tidak secara langsung membubarkan acara.
"Yang membubarkan bukan FPI (dan LPI) tapi aparat. Ya kepolisianlah," kata Fachrudin kepada reporter Tirto. "FPI hanya ikut serta dalam pembubaran."
Dalam pernyataan sikap, PRD memang bilang kalau selain ormas reaksioner, perayaan ulang tahun ini juga "telah mendapati gangguan-gangguan dari aparat negara." Meski demikian, Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera menyatakan sebaliknya. Tak ada pembubaran. Yang mereka lakukan hanya menjaga situasi agar tetap terkendali.
"Menjaga jangan sampai bentrok. Karena ada ormas yang tidak setuju acara itu," katanya kepada reporter Tirto.
Alasan Ngawur
Agus Fachrudi lantas bicara apa motif organisasinya tak setuju dengan perayaan ini--terlepas dari klaim bahwa mereka tidak secara langsung membubarkan acara.
Menurutnya PRD adalah partai terlarang berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 210-221 Tahun 1997. Kedua, "AD/ART PRD sama dengan AD/ART PKI hasil kongres tahun 1954." Karena itu, baginya, "keberadaan PRD sama saja mengancam Indonesia."
"Musuh negara adalah musuh bersama, bukan hanya TNI-Polri. Ini negara hukum. Itu saja," katanya.
Tapi dua alasan di atas sebenarnya tidak tepat. Pertama soal PRD sebagai partai terlarang. Benar bahwa PRD pernah dilarang pemerintah orde baru/Soeharto yang hanya mengenal tiga partai--Golkar, PDI, dan PPP. Tapi setelah Soeharto lengser keputusan dicabut.
PRD diakui negara lewat Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M.UM.06.08-164 tanggal 24 Februari tahun 1999 tentang Pendaftaran dan Pengesahan Partai Politik. Mereka juga terdaftar di Keputusan Menteri Dalam Negeri/Ketua Lembaga Pemilihan Umum Nomor 31 Tahun 1999 tentang Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 1999.
Sejak saat itu, kata Agus Jabo, "tidak pernah ada satu pun keputusan dari institusi negara yang menyatakan PRD sebagai partai terlarang." Mereka bahkan tengah berupaya kembali lagi dalam gelanggang politik elektoral 2024.
Kemudian soal kesamaan dengan PKI. Faktanya AD/ART PKI dan PRD berbeda sama sekali. Dalam Kongres Nasional ke-V yang diselenggarakan pada 16-20 Maret 1954, PKI menetapkan partai dijalankan dengan prinsip Marxisme-Leninisme. Sementara PRD, saat pertama kali didirikan, mengusung asas sosial-demokrasi kerakyatan. Pada kongres ke-7 yang diselenggarakan pada 2010 lalu, PRD bahkan mengganti asas ini dengan Pancasila.
"Pihak-pihak yang sekarang mengangkat narasi yang sama merupakan elemen-elemen anti demokrasi sebagaimana Orde Baru," tegasnya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino