Menuju konten utama

Pembubaran Kajian Hanan Attaki dan Dilema Kebebasan Berekspresi

Ketika organisasi atau individu tertentu dilarang menyuarakan gagasannya di ruang publik, biasanya muncul organisasi atau individu lain yang justru berpandangan lebih ekstrem.

Pembubaran Kajian Hanan Attaki dan Dilema Kebebasan Berekspresi
Avatar Andina Dwifatma. tirto.id/Sabit

tirto.id - Tak lama setelah penceramah Felix Siauw ditolak mengisi kajian bulanan di Masjid Fatahillah, Balaikota DKI Jakarta Juni lalu, giliran Hanan Attaki yang diboikot di Tegal pada awal bulan ini. Penceramah gaul bertopi kupluk yang sedang digandrungi pemuda-pemudi hijrah se-Tanah Air itu tadinya akan mengisi kajian yang diselenggarakan oleh Komunitas Patriot Hijrah, tapi ditolak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kota Tegal.

Seperti diberitakan dalam artikel Tirto, “Kegersangan Spiritual: Pemicu "Hijrah" & Kesalehan Muslim Urban", yang ditolak oleh Ansor bukan seminar atau kajian keagamaannya, melainkan sosok Hanan Attaki sebagai pemateri yang dianggap kontroversial. Hanan Attaki pernah menyebut Nabi Musa sebagai "premannya" para Nabi. Dia juga pernah menyatakan berat badan wanita sholehah tidak lebih dari 55 kilogram. Hal ini dianggap Ansor berbahaya, terlebih bila didengarkan anak-anak muda yang belum terlalu paham agama.

Dalam wacana kebebasan berekspresi, yang dialami Felix Siauw dan Hanan Attaki lazim disebut dengan no-platforming, yaitu aksi pemboikotan organisasi atau individu tertentu dari tampil di ruang publik karena idenya dianggap berbahaya. Aksi no-platforming diawali di Inggris pada tahun 1973 saat organisasi National Union of Students (NUS) menolak memberikan panggung untuk organisasi dan pembicara yang mereka nilai rasis dan fasis. Hingga April 2015 lalu, NUS masih menerbitkan daftar organisasi yang mereka no-platform-kan, termasuk Al-Muhajiroun, British National Party, dan Hizbut Tahrir.

Konsep no-platforming sendiri masih menuai kontroversi sampai hari ini. Apabila kita me-no-platforming-kan organisasi atau individu tertentu, apakah itu berarti kita memberangus hak mereka untuk berbicara? Namun, jika kita biarkan berbicara, sementara kita tahu ide-ide mereka berbahaya, apakah kita tidak sedang membahayakan keselamatan publik?

Mereka yang menentang konsep no-platforming biasanya berpegang pada gambaran ideal bahwa dunia selayaknya menjadi ‘pasar bebas gagasan’ (marketplace of ideas). Semua orang, apapun organisasinya dan bagaimanapun gagasannya, berhak diberikan kesempatan berekspresi. Publik yang akan memilih dan memilah, ide-ide mana yang layak didukung dan mana yang tidak. Diharapkan nantinya akan terjadi semacam ‘seleksi alam’ gagasan.

Jika berpegang pada prinsip ini, meskipun kita tahu Felix Siauw mendukung ide khilafah dan tidak suka Pancasila, atau Hanan Attaki kerap mengeluarkan pernyataan yang provokatif, mereka harus tetap diberi kesempatan bicara. Tentu saja, dengan logika yang sama, diskusi tentang komunisme dan sosialisme juga tidak boleh dibubarkan.

Kenyataannya, empat tahun lalu di ajang Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2015, beberapa novelis yang hendak meluncurkan buku tiba-tiba diboikot oleh panitia atas desakan “pihak berwenang”. Para pengarang itu menulis novel tentang tragedi 1965 dan reformasi 1998. Sebuah panel diskusi tentang reklamasi Bali juga ditiadakan, alasannya karena takut mengganggu ketertiban umum. Kita juga masih ingat bagaimana kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dihancurkan ormas saat menggelar acara “Asik-Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi” pada 2017 lalu karena dikira sedang merayakan kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Dalam diskusi No-Platforming and Free Expression di OsloMet, Norwegia, Mei lalu, Professor Eric Heinze dari Queen Mary University, London menyatakan bahwa batasan kebebasan berekspresi selalu terletak pada potensi bahaya dalam pesan yang ditawarkan. Masalahnya, ukuran orang mengenai potensi bahaya atau urgensi tentu berbeda-beda. Bagi sebagian kalangan, ide khilafah berbahaya, sementara bagi kalangan yang lain, ide komunisme lebih mengerikan. Inilah yang menyebabkan munculnya semacam standar ganda dalam no-platforming: misalnya, seorang ustaz tidak boleh dilarang bicara karena agama pasti mengajarkan kebaikan, tapi diskusi tentang komunisme justru harus dilarang karena komunisme dianggap akan merongrong negara, atau sebaliknya.

Menurut profesor dari Macquarie University, Australia, Neil Levy, kebijakan no-platforming adalah sebuah tindakan komunikatif yang mau menyampaikan pesan yang lebih luas dari sekadar pemboikotan individu atau organisasi. Dalam artikelnya “Why no-platforming is sometimes a justifiable position”, Levy menyebutkan bahwa dalam no-platforming, ada higher order yang disasar, yaitu penolakan ide-ide yang abusif, penuh kebencian, dan bisa memicu orang untuk melakukan kekerasan.

Dari sudut pandang ini, aksi no-platforming terhadap Felix Siauw dan Hanan Attaki bisa dimaknai sebagai penolakan terhadap arus pasang konservatisme yang akhir-akhir ini terasa semakin mengkhawatirkan. Kita semakin sering melihat berbagai kebijakan yang mendukung perilaku konservatisme beragama di ruang-ruang publik yang sebenarnya tidak selalu berpangkal pada ajaran agama itu sendiri, seperti seleksi masuk perguruan tinggi berbasis hafal al-Quran, gratis mengisi BBM bagi yang bisa membaca kitab suci, sampai wacana pemisahan lahan parkir bagi laki-laki dan perempuan.

Felix Siauw memang akhirnya tetap tampil mengisi kajian, tapi penolakan dari GP Ansor menunjukkan adanya kontrawacana (counter-discourse) terhadap ide Islam yang disebut-sebut "radikal" dan "anti-Pancasila" seperti yang ditawarkan Felix. Penolakan terhadap Hanan Attaki juga tidak selalu bisa dipandang sebagai pembunuhan karakter personal, tetapi justru indikasi adanya kesadaran publik untuk melakukan “serangan balik” terhadap wacana konservatisme yang makin merebak.

Meski demikian, aksi no-platforming bukannya tanpa risiko. Di parlemen Belanda tahun 1990-an ada Hans Janmaat yang memiliki pandangan radikal mengenai imigran. Anggota parlemen kerap kali walkout ketika Janmaat berbicara. Media juga sering tidak memberinya porsi kutipan. Hal ini tidak membuat pandangan parlemen Belanda mengenai imigran menjadi lebih lunak, melainkan justru mendorong munculnya politisi yang semakin rasis, seperti Pim Fortuyn dan Geert Wilders pada tahun 2000-an.

Walhasil terjadilah backfire effect. Ketika organisasi atau individu tertentu dilarang menyuarakan gagasannya di ruang publik, biasanya muncul organisasi atau individu lain yang justru berpandangan lebih ekstrem.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.