Menuju konten utama

Kegersangan Spiritual: Pemicu "Hijrah" & Kesalehan Muslim Urban

Globalisasi dan modernitas perkotaan kerap menimbulkan kegersangan spiritual. Inilah salah satu faktor yang memicu maraknya "hijrah" dan fenomena sejenis.

Kegersangan Spiritual: Pemicu
Ilustrasi wanita muslim berbisnis. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Hanan Attaki, penceramah muda asal Bandung, barangkali tak pernah menyangka acara kajian keagamaannya akan dibubarkan di Kota Tegal, Jawa Tengah.

Minggu (7/7/2019) siang, ia telah berada di lokasi kegiatan bertajuk “Menjemput Keajaiban dalam Ujian”. Namun, acara yang digelar Komunitas Patriot Hijrah itu tiba-tiba dibatalkan.

Pembatalan bermula dari penolakan oleh Gerakan Pemuda Ansor Kota Tegal atas dirinya sebagai pembicara. Alasannya, ia dianggap mempunyai rekam jejak yang provokatif.

“Pengajiannya kami tidak menolak. Hanan Attaki-nya yang kami keberatan mengisi pengajian yang ada di Kota Tegal,” ungkap Ketua GP Ansor Kota Tegal Imam Kharomain seperti dilansir Kompas.

Akhir-akhir ini, Hanan beserta sejumlah penceramah muda lain tengah menjadi sorotan. Tepatnya, mereka sedang menikmati popularitas sebagai dai di tengah suburnya gerakan “hijrah” di kalangan anak muda. Mula-mula gerakan ini tumbuh di sejumlah kota besar seperti Bandung dan Jakarta, kemudian merembet ke beberapa kota seperti Tegal, Pekalongan, Semarang, Surakarta, dan lain-lain.

Sejumlah pesohor di Jakarta yang tertarik dengan gerakan ini bahkan telah beberapa kali menggelar Hijrah Fest, yang berhasil mendatangkan pengunjung—terutama anak-anak muda—dan sejumlah keuntungan finansial tentu saja.

Fenomena ini merupakan kelanjutan dari dekade sebelumnya saat masyarakat Muslim urban melakukan pencarian identitas atau pemaknaan ulang terhadap agama, yang kemudian melahirkan sejumlah ekspresi kesalehan.

Greg Fealy dalam Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer (2012) menyebutnya sebagai “mencari kepastian moral, pengayaan spiritual, dan identitas yang saleh”, sebab “tergoncangnya kemantapan identitas keagamaan” akibat mengalami transformasi sosial dan budaya.

Globalisasi dan modernitas di perkotaan yang kerap menghamparkan kehidupan yang gersang secara spiritual mendorong masifnya gerakan ini. Di sisi lain, tumbuhnya kelas menengah perkotaan menjadikan fenomena ini berkelindan dengan bisnis seperti lahirnya Hijrah Fest.

Keterkaitan ini memang sulit dihindarkan, karena bagaimana pun kumpulan massa adalah pasar. Dalam konteks ini, mereka adalah pasar bagi produk-produk Islam yang tengah mereka gandrungi.

Fealy menjabarkan hal ini berdasarkan respons masyarakat dan para intelektual yang fokus pada kajian tersebut.

Pertama, sebagian dari mereka menilai “konsumsi Islam” ini sebagai sesuatu yang bisa dipuji, sebab membawa makna baru dalam kehidupan keagamaan Muslim, yakni membantu menciptakan masyarakat dengan pelaksanaan prinsip-prinsip Islam yang lebih ketat.

Kedua, ada pula yang menganggapnya sebatas komersialisasi Islam yang dangkal, sebab hanya memperlihatkan perilaku luar, alih-alih membangun sisi spiritual dan keindahan iman secara lebih mendalam.

Lalu ketiga, dan ini barangkali yang beririsan dengan sikap GP Ansor Kota Tegal dalam kasus penolakan Hanan Attaki, adalah kekhawatiran bahwa gerakan ini akan mengubah sifat Islam di Indonesia—setidaknya seperti yang mereka cita-citakan—yang pluralis dan toleran, menjadi Islam yang puritan dan radikal.

Pola “Konsumsi Islam” Kiwari

Safa Zaheera Anhar adalah seorang perempuan muda lajang yang tengah “mendalami Islam”. Sekali waktu ia terpukau oleh ayat-ayat Alquran yang dilantunkan seseorang di sebuah masjid. Ia seketika jatuh cinta pada lantunan tersebut, juga kepada pelantunnya.

“Hanya dengan mendengar suaranya, aku jatuh cinta. Sesederhana itu Tuhan menghadirkan cinta,” gumamnya.

Singkat cerita, di kotanya akan diadakan kajian Islam yang menghadirkan Hanan Attaki sebagai pembicara, beserta para penghafal Alquran yang merupakan murid-murid sang ustaz.

“Besok malem temenin gue yuk ke kajian ustaz Hanan Attaki. Katanya ada beberapa murid-muridnya yang ngisi acara juga. Para hafiz Alquran gitu,” ajak Rossa, teman Safa.

“Ustaz Hanan Attaki? Ahhh mau banget, kapan? Besok? Jam berapa? Di mana?” tanyanya antusias.

Alur cerita kemudian membawa Safa Zaheera Anhar berjodoh dengan salah satu penghafal dan pelantun Alquran tersebut.

“Tidak terasa, air mataku menetes. Aku benar-benar dibuat takjub dengan keajaiban Allah. Semua ini membuktikan bahwa janji Allah itu benar adanya, apa yang tidak mungkin bagiku, tapi mungkin bagi Allah. Ibu memelukku hangat,” ungkap Safa.

Kisah tersebut merupakan penggalan dari cerpen “Sajadah Panjang” karya Eccy Nov yang dihimpun dalam Jodoh Bertemu Jomblo Berlalu (2018).

Cerita “Islami” seperti ini merupakan salah satu produk yang belakangan kembali hidup, setidaknya setelah era kejayaan majalah Annida yang merupakan media sastra yang mengusung napas Islam.

Tema yang diangkat pun sangat mencerminkan tentang pasangan yang dianggap ideal dalam pandangan Islam—tentang bagaimana proses tokoh utamanya dalam mendapatkan pasangan, juga profil pasangan yang ia dapatkan.

Ada juga kisah tentang Lalan, seorang preman bertato yang disegani, kemudian insaf dan berjuang demi anak dan istrinya dalam Hijrah Bang Tato (2017) karya Fahd Pahdepie. Cerita ini bukan hanya tentang pertobatan, tapi juga membahas soal deradikalisasi.

“Inilah biografi orang biasa. Inilah Hijrah Bang Tato,” tulisnya.

Kisah pertobatan tentu bukan hal baru. Namun penulis dan penerbit agaknya jeli menangkap tren hijrah yang tengah marak, sehingga menggunakan lema tersebut.

Beberapa tahun ke belakang, pola konsumsinya bahkan lebih masif, dan sebagian dimotori para penceramah populer seperti Yusuf Mansur, almarhum Arifin Ilham, alharhum Jefri Al Buchori alias Uje, dan lain-lain.

Yusuf Mansur, misalnya, selain mendorong kedermawanan lewat sedekah yang akan mendatangkan berkah dari Allah dalam soal materi dan spiritual, ia juga pernah meluncurkan layanan SMS berlangganan yang isinya nasihat-nasihat keislaman.

Produknya bernama “Kun Fayakuun” yang diambil dari kalimat dalam Alquran yang artinya “jadi, maka terjadilah”. Produk ini kemudian menjadi sangat populer saat menjadi buku dan film.

Kuburkan dan selesaikan semua masalah secara instan bersama ustadz Yusuf Mansur. Sesulit apa pun permasalahan yang kita hadapi…, Allah menyediakan jalan keluarnya. Ikuti SMS Kun Fayakuun dan mari temukan jawaban… Kalau Allah sudah berkata, Kun..Fayakuun,” demikian salah satu iklan tentang layanan SMS berlangganan tersebut seperti dikutip Greg Fealy dalam “Mengonsumsi Islam: Agama yang Dijadikan Jualan dan Kesalehan yang Diidam-idamkan di Indonesia”.

Sementara layanan SMS berlangganan dari almarhum Arifin Ilham bernama “RomantIslam”. Produk ini menawarkan nasihat-nasihat cinta berdasarkan Islam. Berikut contoh salah satu iklannya, juga sebagaimana terdapat dalam tulisan Fealy:

Mandi bersama istri di antara kesukaan Rasulullah sampai-sampai beliau saling berebut air… Ingin mesra dan romantis seperti Rasulullah pada istri dan suami Anda? Dapatkan rahasianya langsung dari ustadz Arifin Ilham. Ketik REG MESRA, kirim SMS ke 4209.

Infografik kesalahan Muslim Urban kekinian

Infografik kesalahan Muslim Urban kekinian. tirto.id/Quita

Komodifikasi Agama

Sejumlah contoh pola “konsumsi Islam” di atas oleh sejumlah peneliti disebut “komodifikasi Islam” atau komersialisasi Islam. Fenomena ini adalah menguatnya kembali keimanan dan simbol-simbolnya menjadi sesuatu yang bisa diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan. Dan kita dapat memperpanjang daftarnya.

“Istilah ini rawan perdebatan. Ilmuwan-ilmuwan sosial dan sebagian Muslim skeptis menyatakan bahwa istilah ‘komodifikasi Islam’ secara akurat menangkap dan mengizinkan analisis atas dimensi komersial dari kegiatan-kegiatan spiritual,” ungkap Fealy.

Lebih lanjut ia menerangkan, mayoritas Muslim pun keberatan dengan istilah tersebut. Bagi mereka yang bergiat dalam ekonomi Islam, istilah itu mengabaikan niat suci keagamaan dan hanya melihatnya sebagai motif keuangan.

Fealy mengakui, relasi antara spiritualitas dan perdagangan memang kompleks. Terdapat sejumlah pertanyaan tentang batas antara yang suci dan yang profan. Juga kecurigaan ihwal kemungkinan bisnis keagamaan yang mencemari niat suci spiritual.

Kebangkitan kesadaran untuk kembali pada identitas keislaman, dengan pelaksanaan prinsip-prinsip Islam secara ketat, tak hanya pada sektor ekonomi dan budaya. Ekspresi ini juga merambah sektor sosial dan politik. Hanan Attaki dan fenomena hijrah hanyalah salah satunya.

Baca juga artikel terkait GERAKAN HIJRAH atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan