tirto.id - Rencana Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menggandeng band Sukatani menjadi duta adalah lagu lama yang berulang. Pengangkatan duta sebatas ritual gimik, yang terbukti tak pernah benar-benar menyelesaikan masalah. Alih-alih membenahi mekanisme kritik dan akuntabilitas di tubuh kepolisian, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, justru kembali pada pendekatan seremonial yang cuma memoles citra, bukan mengubah watak anggota Korps Bhayangkara.
Langkah ini jelas bukan pertama kalinya lembaga negara mengangkat individu sebagai duta untuk menyudahi perkara. Namun, sebagaimana upaya-upaya serupa sebelumnya, ini tak lebih dari pertunjukan kosong. Misalnya, Polri mengangkat Gunawan Sadbor menjadi duta antijudi online usai pemengaruh di TikTok itu ditangkap karena terjerat kasus promosi judi online. Tetapi hingga kini, langkah tersebut tidak cukup untuk memberantas menjamurnya praktik judi online di masyarakat.
Dalam konteks perkara Sukatani, kritik terhadap institusi kepolisian bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba atau tanpa alasan. Polri punya sejarah panjang merespons kritik dengan represif, alih-alih membuka ruang dialog yang sehat. Kasus-kasus kekerasan aparat terhadap demonstran, pembungkaman suara kritis, dan penyalahgunaan wewenang sudah menjadi catatan yang terus berulang.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, memandang menjadikan Sukatani duta Polri tidak menyelesaikan persoalan di tubuh kepolisian. Ini hanya akan berakhir menjadi gimik semata untuk meredam kritik dan memoles citra Polri.
“Praktik-praktik seperti ini adalah praktik yang menjadi duta atau semacamnya itu tidak menyelesaikan masalah. Praktik reaksioner yang secara kelembagaan hanya gimik saja,” kata Isnur kepada wartawan Tirto, Senin (24/2/2025).
Isnur menilai, lagu yang diciptakan Sukatani berangkat dari pengalaman masyarakat yang faktual terhadap polisi. Mengacu pada praktik pungli dan pemerasan penanganan perkara di kepolisian yang terjadi di berbagai sektor urusan publik.
Fakta itu terbukti dari ramainya keluhan serupa dari masyarakat, mendukung Sukatani usai mereka diduga diminta membuat video klarifikasi dan menghapus lagu berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’ dari platform pemutar musik. Lagu tersebut berisi pesan satir soal pungli yang sering kali dilakukan oleh instansi kepolisian.
Sementara itu, video berisi klarifikasi dan permintaan maaf kepada Kapolri yang diunggah duo punk asal Purbalingga, Jawa Tengah itu menjadi viral. Sekondan itu harus rela melepas topeng yang selama ini menjadi identitas panggung Sukatani. Diduga polisi meminta mereka melakukan aksi permintaan maaf karena lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ yang mengkritik polisi.
Isnur menilai jika memang Kapolri ingin membenahi persoalan ini, dia harus menindak tegas anggota polisi yang masih melakukan pungli dan pemerasan. Selama praktik itu terus terjadi maka kritik Sukatani lewat lagu ‘Bayar Bayar Bayar’ akan terus menjadi fakta.
“Faktanya masyarakat banyak mendapatkan keharusan untuk bayar kepada kepolisian. Tilang harus bayar. Ditangkap harus bayar. Budaya itu yang harus dibersihkan secara masif di tubuh kepolisian,” kata Isnur.
Di sisi lain, Isnur mengingatkan agar Polri berhati-hati dan tidak arogan dalam merespons kritik dan masukan dari masyarakat. Ia menjelaskan, seharusnya Polri tidak bisa memproses dirinya sendiri ketika merasa tertekan karena adanya kritik dan masukan dari publik.
Artinya, penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Polri dalam merespons kritik lembaga seharusnya tidak bisa dilakukan. Masalahnya, akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan jika Polri menganggap kritik sebagai tindakan yang mengotori marwah lembaga kepolisian. Hal ini akan menimbulkan benturan kepentingan ketika polisi membela lembaganya sendiri dari sasaran kritik.
“Seharusnya kewenangan penyelidik dan penyidik kepolisian agar tidak sewenang-wenang dibatasi dalam perubahan UU KUHAP. Agar kepolisian tak mengalami abuse of power-nya di mana-mana,” ucap Isnur.
Diberitakan sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menawarkan Sukatani menjadi Duta Polri. Namun, niatan tersebut hanya terealisasi bila Sukatani berkenan menerimanya. Sigit mengeklaim Polri tidak antikritik. Menurut dia, Korps Bhayangkara amat menerima dan terbuka dengan saran serta masukan. Institusi Polri hendak menunjukkan komitmen tersebut melalui ajakan Sukatani menjadi Duta Polri.
Sigit mengaku tak pernah melarang maupun membungkam semua pihak yang menyalurkan hak kebebasan berekspresi. Selama Sigit menjadi Kapolri, korps Bhayangkara beberapa kali menggelar kegiatan yang bertujuan menyalurkan pendapat serta ekspresi masyarakat. Seperti lomba orasi, mural, serta stand up comedy. Kegiatan itu disebut bertemakan kritik terhadap Polri.
"Ini bagian dari komitmen kami untuk terus berbenah menjadi organisasi yang bisa betul-betul adaptif menerima koreksi untuk bisa menjadi organisasi modern yang terus melakukan perubahan dan perbaikan menjadi lebih baik," kata Sigit.
Sejauh ini, Sukatani belum menanggapi secara resmi permintaan Kapolri untuk menjadi duta Polri. Sebelumnya, Sukatani mengaku kondisi mereka semakin membaik setelah lagu mereka yang berjudul "Bayar Bayar Bayar" ditarik peredarannya dari platform pemutar musik. Hal ini dinyatakan melalui akun resmi Instagram mereka @sukatani.band.
Sukatani mengaku berterima kasih dengan doa dan dukungan masyarakat usai polisi diduga mengintimidasi mereka karena lagu "Bayar Bayar Bayar". Selain itu, mereka turut mengaku personel kini telah berada di tempat yang lebih aman.
"Kami dari Sukatani mengucapkan banyak-banyak terima kasih atas dukungan dan doa yang diberikan oleh semua pihak selama beberapa hari ini," demikian unggahan yang tertulis di akun @sukatani.band, dikutip Minggu (23/2/2025).
Salah Kaprah
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Chairul Anam, menilai lagu berjudul "Bayar Bayar Bayar" milik Sukatani sebetulnya berisi substansi kritik yang biasa saja. Chairul merasa masih banyak kritik yang lebih pedas terhadap Polri dibandingkan lagu Sukatani. Untuk itu, ia mengingatkan aktivitas kesenian merupakan bagian dari kebebasan berekspresi.
Ekspresi kritik tersebut dapat disampaikan dalam medium mural, lagu, lukisan, dan banyak lainnya. Anam mempertegas kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia yang perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya.
Dalam hal ini, Anam melihat sudah banyak upaya positif dari Polri untuk menjamin hal-hal tersebut. Sayangnya, tidak semua anggota memiliki pemahaman yang sama terhadap kritik lewat medium kesenian.
“Kepolisian juga melakukan itu dan cuma memang tidak semua anggota terutama di daerah memahami maksimal,” ucap Anam kepada wartawan Tirto, Senin.
Dalam kacamata Anam, menjadikan Sukatani sebagai duta Polri adalah langkah yang positif. Setidaknya ada dua alasan yang diungkap Anam. Pertama, ini menunjukkan kepada masyarakat bahwa Polri tidak antikritik. Kedua, menjadi penegasan kepada jajaran internal Polri bahwa kepolisian tidak seharusnya membatasi kebebasan berekspresi.
Bahkan, kata Anam, keseriusan ini betul-betul dilakukan setelah Polri menerjunkan Propam untuk memeriksa anggota polisi yang diduga mengintimidasi Sukatani. Tindakan tegas ini memang diperlukan agar kejadian serupa tidak berulang di masa mendatang.
Ia merasa Kapolri menginginkan agar kepolisian dibangun dari kritik dan masukan publik. Ini tercermin juga dengan saluran pengaduan masyarakat yang bisa langsung diakses melalui pesan WhatsApp kepada divisi Propam Polri.
“Jadi banyak pilihan masyarakat untuk membangun kepolisian dengan cara masing-masing. Masukan keras, kritikan keras, nah itu yang saat ini sedang dilaksanakan Polri,” terangnya.
Senada dengan Anam, Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menilai Kapolri Listyo Sigit sebetulnya toleran terhadap kritik. Sugeng merasa, dibanding lembaga penegak hukum lain, Polri jarang memperkarakan kritik keras terhadap lembaga. Selain itu, Sugeng menilai langkah Kapolri mengajak Sukatani sebagai duta Polri sudah tepat.
Itu membuktikan bahwa Kapolri mendengarkan kritik warga atas kelakuan anak buahnya. Ini juga dibuktikan dengan dilakukannya pemeriksaan kepada anggota yang diduga melanggar.
“Kapolri menawarkan band Sukatani menjadi duta kritik itu kan satu tindakan bagus. Artinya Polri diwakili Kapolri menunjukkan sebagai lembaga yang tidak antikritik,” kata Sugeng kepada wartawan Tirto, Senin.
Propam Polri memang tengah memeriksa enam anggota Ditsiber Polda Jawa Tengah yang diduga mengintimidasi dua anggota Sukatani. Pemeriksaan tersebut dilakukan sejak Jumat (21/2/2025). Pemeriksaan masih dilakukan oleh Propam hingga berita ini ditulis.
"Betul, sampai dengan saat ini total enam anggota Siber Polda diperiksa," kata Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Artanto saat dikonfirmasi reporter Tirto, Senin.
Di sisi lain, Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, menilai langkah Polri menggandeng Sukatani sebagai duta Polri adalah tindakan yang salah kaprah. Bambang merasa, jika perkara cuma dibenahi sebatas mengangkat Sukatani sebagai duta Polri hanya memunculkan persepsi Polisi sedang melakukan upaya kooptasi pada pengkritiknya.
Kalau hal itu terjadi, tentu akan semakin menjauh dari harapan masyarakat terkait substansi kritik. Pasalnya, kata Bambang, upaya kekuasaan untuk membungkam pengkritiknya selalu dengan intimidasi maupun kooptasi. Dalam democratic policing, kritik merupakan partisipasi publik mengawasi dan mengontrol kepolisian. Maka, dibutuhkan mindset kesetaraan antara publik (pengkritik) dengan kepolisian untuk menemukan sintesa dan solusi.
Polri harus menyadari mengangkat duta cuma alat membangun citra positif sesaat. Lebih penting dari memoles citra adalah membangun reputasi Polri. Dan hal itu tak bisa dibangun dengan instan, tetapi lewat upaya konsisten dan berkesinambungan melakukan perbaikan.
“Kalau hanya mengangkat duta, tapi tidak ada perbaikan, justru ke depan publik semakin tidak percaya pada polisi. Bahkan upaya itu akan diasumsikan sebagai upaya pengalihan isu,” jelas Bambang kepada wartawan Tirto.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Anggun P Situmorang