Menuju konten utama

Panjat Sosial Lewat Kontes Kecantikan di Venezuela

Bagi banyak perempuan Venezuela, kontes kecantikan adalah kendaraan untuk naik kelas.

Panjat Sosial Lewat Kontes Kecantikan di Venezuela
Johandrys Colls berbicara dengan saudara perempuannya Camila di balkon rumah mereka, di permukiman kumuh pinggiran Caracas, Venezuela, pada 1 Juli 2018. Colls masih ingat menonton kontes Miss Venezuela dengan keluarganya saat berumur 6 tahun dan kemudian mencuri sepatu hak ibunya untuk meniru ratu kecantikan di layar. "Ini menginspirasi," katanya. "Sangat indah melihat mereka bersaing dan berbagi bakat dengan dunia." AP Photo/ Fernando Llano

tirto.id - “Di Venezuela, kontes kecantikan bukan lomba melainkan agama” ujar Irene Saez, mantan Miss Universe dan Miss Venezuela 1980-an dalam laporan bertajuk "Caracas Journal; A Venezuelan Factory Line That Is Adeot at Assembling Beauty", yang terbit pada Desember 1997.

Kuatnya tradisi kontes kecantikan di masyarakat Venezuela rupanya membuat laporan yang muncul di New York Times itu tetap relevan hingga bertahun-tahun berikutnya, termasuk hari ini ketika Venezuela diguncang krisis politik berkepanjangan.

Pernyataan senada terlontar dari Patricia Zavala ketika diwawancarai ABCNewspada 2009.

“Ajang Miss Venezuela itu seperti Super Bowl,” kata Zavala, seorang kontestan Miss Venezuela. Zavala, saat itu berusia 24 tahun, tengah menggambarkan kontes kecantikan yang diselenggarakan di tempat berkapasitas 20.000-an pengunjung. Warga yang tidak bisa masuk ke area acara memilih berdesakan di sepanjang trotoar jalan untuk menyoraki kontestan favoritnya.

Para orangtua yang menyaksikan kontes dari layar televisi di rumah berharap anak perempuan mereka bisa tampil di kontes Miss Venezuela, berlaga di ajang Miss World (atau Miss Universe), lalu punya kehidupan baru yang bergelimang harta.

Imajinasi kolektif itu muncul sejak 1952 ketika kontes Miss Venezuela pertama kali diadakan di negara penghasil minyak ini. Awalnya kontes diselenggarakan produsen baju renang, bekerjasama dengan maskapai Pan America. Jenis penyelenggara dan format acara dibikin serupa dengan Miss World.

Para gadis yang menonton kontes pun jadi punya mimpi serupa.

“Acara itu sangat inspiratif. Aku senang menyaksikan perempuan yang bisa memperlihatkan bakat kepada orang-orang di seluruh dunia,” kata Johandrys Colls (16 tahun) seperti yang dimuat NBC News, Juli 2018.

Usia Colls baru enam tahun kala pertama kali menonton kontes kecantikan di televisi. “Setelah nonton, aku langsung mengambil sepatu hak tinggi ibuku dan meniru gaya para putri kecantikan,” katanya.

Bagi Colls, berlaga di kontes kecantikan bukan impian muluk-muluk untuk warga Venezuela yang tinggal di rumah beratap seng bekas yang dibangun di area kumuh dekat Caracas, ibu kota Venezuela.

Colls tak keliru. Sejumlah peserta kontes dan pemenang Miss Venezuela adalah perempuan yang tinggal di perkampungan kumuh. Bagi sebagian besar perempuan Venezuela—terutama mereka yang lahir dari kaum papa—kontes kecantikan adalah jalan terbaik untuk mengubah nasib.

Tiap kali Venezuela mengalami krisis ekonomi, jumlah peminat kontes biasanya membeludak. Orang kaya umumnya langsung pindah ke luar negeri, sementara yang tidak punya uang akan berusaha membekali diri agar layak jadi putri kecantikan.

“Bayangkan, kamu gadis 18 tahun yang tinggal di daerah kumuh dan diiming-imingi tinggal di vila dan kastil. Kamu enggak akan berpikir mana yang baik dan yang buruk. Yang terpikirkan cuma kenyamanan yang bisa diraih,” kata Maria Gabriela Isler, Miss Universe 2013 dan mantan Miss Venezuela kepada New York Times.

Kisah serupa diungkapkan Debora Menicucci, pemenang Miss Venezuela yang tampil di ajang Miss World 2014. Kerap dilecehkan karena bertubuh gemuk, Menicucci lahir dari keluarga yang tinggal di perkampungan kumuh. Tayangan Miss Venezuela membuatnya ingin dihargai dan diperlakukan layaknya putri kecantikan.

“Aku melihat tiara itu sebagai kekuatan, bukan materi,” katanya kepada Ellepada Desember 2014.

“Dari Petare ke dunia. Mimpi benar-benar bisa jadi kenyataan,” kata Isabella Rodriguez, pemenang Miss Venezuela 2018 yang dibesarkan di Petare, sebuah permukiman kumuh Venezuela. Ia berharap bisa mengembuskan optimisme kepada para perempuan yang tinggal di daerah miskin dengan tingkat kriminalitas tinggi.

Infografik Venezuela pencetak juara kontes kecantikan

Infografik Venezuela pencetak juara kontes kecantikan

Namun, ada harga yang harus dibayar untuk ikut kontes. Tim penjurian Miss Venezuela, misalnya, menuntut mereka tampil layaknya perempuan berkulit putih yang dinilai punya derajat lebih tinggi. Osmel Sousa, pria yang menjabat sebagai presiden Miss Venezuela 1981-2018, adalah penentu standar kecantikan itu.

Ia pantang melihat perempuan berhidung lebar, pipi sedikit tembem, dada rata, dan tubuh sedikit berisi. Sousa bahkan tak segan-segan meminta kontestan mengunjungi dokter bedah terkenal di Venezuela agar cocok dengan seleranya.

“Di semua negara, Tuhan menciptakan perempuan cantik dan dokter bedah plastik,” kata Sousa yang menganggap bedah plastik sebagai prosedur yang sangat normal dilakukan.

“Sousa akan meminta mereka merapikan bentuk gigi, memancungkan dan mengecilkan hidung, membesarkan bokong dan payudara,” tulis Rebecca Moss, jurnalis Elle.

“Kami cuma memoles, tidak mengubahnya. Mereka sudah cantik sejak awal,” kata Petr Romer, dokter bedah klien ajang Miss Venezuela.

Hasil operasi itu telah menjadikan Venezuela sebagai negara paling banyak memenangkan kontes kecantikan. Sejauh ini Venezuela memenangkan tujuh Miss Universe, enam Miss World, delapan Miss International, dan dua Miss Earth. Negara ini konsisten mengirimkan wakilnya dalam ajang kontes kecantikan bergengsi. Kalaupun tak mendapat juara satu, biasanya mereka masuk ke posisi tiga sampai sepuluh besar.

Lantas, siapa yang membiayai operasi plastik itu?

Dalam “Pimping Out Miss Venezuela” (New York Times, 19/5/2018), Tal Abbady menulis bahwa selama puluhan tahun tersebar rumor bahwa kontestan dipaksa berhubungan seks dengan laki-laki tajir dan berkuasa agar mereka bisa membayar operasi, kursus kecantikan, dan mendapatkan uang demi membeli busana dan aksesoris.

Sousa berperan memperkenalkan kontestan dengan pria-pria kaya.

Awal tahun lalu, NBC Chicago melaporkan bahwa penyelenggaraan Miss Venezuela terpaksa ditunda. Pihak penyelenggara didesak untuk berbenah setelah muncul tuduhan prostitusi dan korupsi yang melibatkan para petingginya.

Sousa, yang dinilai bertanggungjawab atas serangkaian skandal tersebut, telah mengundurkan diri sebelum tuduhan dilayangkan.

“Kalau kamu jadi kontestan Miss Venezuela artinya kamu siap melacurkan diri,” kata Patricia Velasquez, runner up Miss Venezuela 1989.

Velasquez tak malu mengakui telah menjalin relasi dengan seorang pria tua yang mengongkosi seluruh kebutuhannya dan menghadiahinya sebuah apartemen pada 1989. “Waktu itu, aku enggak mengaku kalau kami dekat,” katanya.

Menicucci mengalami hal serupa. Sousa memperkenalkannya pada seorang pengacara kaya yang usianya 25 tahun di atas Menicucci. Akhirnya, mereka menikah. Menicucci kini bekerja sebagai desainer busana, aktris, dan filantropis.

“Ya, kami tinggal di negara yang perempuannya bahkan rela jual diri untuk beli sabun,” kata Esteban Velásquez, pelatih kontestan.

Guardian menulis Venezuela sebagai negara dengan tingkat konsumsi produk kosmetik terbesar. “Di sini kecantikan wajah adalah nilai yang sangat penting,” kata Titina Penzini, penulis buku panduan fesyen 100% Chic. Pendapat senada datang dari Jose Rafael Briceno, seorang pelatih pidato kontestan kecantikan. “Di sini orang lebih baik mati ketimbang dianggap jelek,” katanya kepada ABC.

Impian jadi cantik dan kaya berdampak pada larisnya sekolah kecantikan di Caracas. Sekolah milik mantan Miss Venezuela Andrea Reyes itu terbuka bagi siapa pun yang berusia 4-24 tahun. Para peserta diajari cara berjalan, berdandan, dan bersikap.

“Kamu bisa mati kelaparan kalau cuma terobsesi pada kecantikan tapi tak mampu jadi kontestan Miss Venezuela,” kata Reyes.

Baca juga artikel terkait KECANTIKAN atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Windu Jusuf