tirto.id - Dalam satu dekade terakhir, belanja online merevolusi pola konsumsi masyarakat. Namun, perubahan ini juga memicu krisis lingkungan yang sering terabaikan. Transaksi instan dan promosi digital mendorong lonjakan permintaan pengiriman kemasan praktis yang mayoritas berupa plastik sekali pakai seperti bubble wrap, kantong polietilena, dan styrofoam.
Menurut United Nations Environment Programme (2024), lebih dari 36% plastik global digunakan untuk kemasan dan sebagian besar tidak didaur ulang. Limbah ini menumpuk di TPA, mencemari sungai hingga laut, bahkan masuk ke tubuh manusia dalam bentuk mikroplastik yang tersebar di udara, air, dan makanan.
Setiap paket yang diterima konsumen, diam-diam menyumbang krisis ekologis. Ironisnya, demi menjamin keamanan produk, kita mempercepat kerusakan sistem kehidupan jangka panjang. Sebuah paradoks antara kenyamanan digital dan tuntutan keberlanjutan yang belum terselesaikan secara sistemik.
Antara Kesadaran dan Ketidakpedulian
Saya punya pengalaman. Suatu hari, saya memesan barang kecil seukuran pena, tetapi yang datang adalah kotak besar berlapis empat jenis plastik berbeda yang langsung berakhir di tempat sampah. Hal ini bukan sekedar kejadian pribadi, banyak orang mengalami hal serupa, dan menganggapnya sebagai perkara normal dalam berbelanja online.
Pada 2022, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mencatat bahwa dalam dua tahun pertama pandemi, volume limbah plastik dari e-commerce melonjak 62%. Sementara itu, International Institute for Sustainable Development (2023) melaporkan bahwa rata-rata konsumsi e-commerce global tumbuh 30% per tahun, dan tren ini terus berlanjut.
Menurut data SIPSN KLHK (2025), timbulan sampah plastik nasional mencapai 6,74 juta ton/tahun dengan kemasan pengiriman sebagai salah satu penyumbang utamanya. Rahmat, seorang pemulung di TPA Jatibarang, Semarang, menyebutkan bahwa sejak tren berbelanja online meningkat, limbah plastik ikut mengalami peningkatan secara tajam. Selain menumpuk, limbah tersebut juga sulit didaur ulang karena tercampur bahan dan terkontaminasi residu produk.
Kondisi ini menunjukkan, krisis terjadi tidak hanya di hulu, tetapi juga di hilir dan dampaknya paling dirasakan oleh kelompok rentan dan lingkungan sekitar.
Kita sering merasa lepas dari tanggung jawab karena kemasan yang kita buang segera hilang dari pandangan. Padahal, jejak ekologisnya tetap tertinggal, berpindah dari tangan kita ke bumi yang terus menanggung beban tak terurai.
Bukan Perkara Sepele
Survei yang saya lakukan terhadap 300 responden di Semarang menunjukkan, 78% responden belanja online lebih dari dua kali dalam sebulan. 65% mengaku menggunakan kemasan plastik sekali pakai sebagai alasan utama untuk menjaga keamanan produk saat pengiriman, dan 70% responden menyadari bahwa limbah plastik kemasan mereka meningkat drastis sejak mulai rutin berbelanja online. Hanya 10% responden yang aktif mencari alternatif kemasan ramah lingkungan atau berupaya mengurangi penggunaan plastik.
Temuan ini sejalan dengan laporan dari International Institute for Sustainable Development yang menyebutkan bahwa konsumsi e-commerce secara global meningkat hingga 30% per tahun, sementara pengelolaan limbah plastik belum mampu mengikuti laju pertumbuhan tersebut.
Survei tersebut mempertegas bagaimana kenyamanan dan keamanan pengiriman masih menjadi prioritas utama konsumen. Meskipun kesadaran akan dampak lingkungan mulai tumbuh, tetapi tindakan nyata untuk perubahannya masih minim. Data ini menyoroti perlunya edukasi dan inovasi yang lebih efektif agar tren belanja online tidak berujung pada krisis lingkungan yang lebih parah.
Beberapa pihak berpendapat bahwa limbah plastik belanja online sebenarnya hanya menyumbang sebagian kecil dari total limbah plastik global, jika dibandingkan dengan sektor lain seperti kemasan pangan, industri manufaktur, serta sampah rumah tangga.
Menurut laporan Plastic Pollution Coalition (2022), kira-kira 40% limbah plastik global berasal dari kemasan makanan dan minuman, sedangkan kemasan e-commerce diperkirakan baru menyumbang 10%. Pendapat ini menyiratkan bahwa fokus berlebihan pada kemasan pengiriman dapat mengalihkan perhatian dari masalah limbah yang lebih besar dan lebih mendesak.
Namun, meskipun kontribusinya relatif kecil, data dari IISD menunjukkan bahwa limbah plastik dari e-commerce meningkat dengan laju tahunan mencapai 30%, jauh lebih cepat dibandingkan sektor lainnya.
Selain itu, karakteristik kemasan e-commerce yang beragam dan sering tercemar membuat proses daur ulang menjadi jauh lebih sulit dan kurang efisien dibandingkan kemasan makanan yang umumnya lebih homogen. Oleh karena itu, menyepelekan dampak limbah belanja online berisiko mempercepat akumulasi limbah plastik yang sulit diatasi dan menambah tekanan pada sistem pengelolaan limbah global yang sudah rentan.
Solusi Kolaboratif untuk Jejak Ramah Lingkungan
Melihat langsung dampak limbah plastik dari belanja online yang terus meningkat dan sulit didaur ulang, saya terdorong merancang pendekatan yang tidak hanya berbasis pada teknologi, tetapi juga berakar pada perubahan perilaku serta kolaborasi lintas sektor.
Dari pemahaman tersebut, lahirlah gagasan Sustainable Packaging Alliance (SPA), sebuah inisiatif kolektif yang mengajak pelaku e-commerce, produsen, pemerintah, dan masyarakat untuk bergerak bersama dalam upaya mengurangi jejak plastik secara bertahap melalui langkah-langkah terukur.
Untuk memperkuat arahan strategis, analisis SWOT berikut disusun guna memetakan kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan SPA:

SPA tidak hanya mendorong pergantian jenis kemasan, melainkan juga menanamkan prinsip keberlanjutan dalam seluruh rantai pasok. Hal ini meliputi penggunaan material daur ulang berkualitas tinggi dan kemasan yang dapat terurai secara hayati, sekaligus mendorong transparansi dalam proses pengemasan serta logistik agar limbah yang dihasilkan tidak menjadi beban tambahan bagi lingkungan.
Untuk memastikan program ini adaptif terhadap dinamika eksternal, pendekatan PESTEL digunakan dalam perumusan strategi SPA:

Lebih dari itu, SPA menempatkan peran konsumen sebagai bagian penting dari solusi.
SPA mengintegrasikan edukasi publik untuk menumbuhkan kesadaran dalam memilih produk dengan kemasan yang lebih bertanggung jawab, serta memanfaatkan fasilitas pengembalian atau daur ulang yang tersedia.
Pendekatan tersebut terinspirasi dari keberhasilan program Wrap Recycling Scheme (WRAP) di Inggris yang menunjukkan bahwa sinergi antara sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat dapat meningkatkan efektivitas daur ulang plastik melalui panduan pengemasan yang jelas serta sistem pengumpulan yang terstruktur.
SPA dirancang bukan sebagai solusi tunggal, melainkan sebagai simpul penghubung berbagai upaya dalam memperbaiki sistem pengelolaan sampah plastik secara nasional. Berbeda dengan WRAP yang berbasis regulasi dan komitmen industri besar, SPA mengedepankan fleksibilitas lokal serta partisipasi publik sebagai kekuatan utama.
Untuk mengakomodasi keragaman peran dalam solusi ini, SPA menggunakan pendekatan pentahelix sebagai kerangka kolaboratif antar pemangku kepentingan:

Program ini menghindari pendekatan parsial dan bertujuan menjangkau akar permasalahan. Untuk menghasilkan dampak jangka panjang, keberhasilan SPA perlu didukung oleh regulasi yang berpihak pada keberlanjutan, insentif transisional bagi pelaku usaha inovatif, dan penguatan kapasitas pengelolaan limbah di tingkat lokal.
Dalam semangat kolaboratif dan tanggung jawab bersama, SPA hadir bukan sekadar respons terhadap krisis, melainkan wujud visi kolektif menuju masa depan yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan.
Menuju Ekosistem Sirkular
Untuk mewujudkan visi perubahan yang nyata, implementasi awal dari SPA dirancang melalui pilot project selama satu hingga dua tahun di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Kolaborasi awal dijalin bersama pelaku e-commerce dan jasa pengiriman yang bersedia berinovasi menggunakan kemasan biodegradable serta bahan daur ulang berkualitas tinggi.
Uji coba ini bukan sekadar eksperimen teknis, tetapi ruang belajar bersama untuk mengukur efektivitas kemasan ramah lingkungan dalam menjaga keamanan produk serta potensi pengurangan timbulan plastik sekali pakai. Selama periode ini, SPA membentuk sistem pengembalian kemasan melalui titik pengumpulan di pusat perbelanjaan, kantor pos, dan layanan kurir, serta memberi insentif berupa diskon atau voucher sebagai apresiasi terhadap partisipasi konsumen.
Edukasi publik digencarkan melalui media sosial, kampanye digital, dan kolaborasi dengan figur publik untuk menumbuhkan kesadaran bahwa setiap pilihan kemasan adalah keputusan ekologis.
Sistem SPA dimulai dari produsen yang menggunakan kemasan ramah lingkungan, kemudian disalurkan oleh jasa logistik dengan sistem pelabelan khusus. Setelah paket diterima, konsumen diberi opsi untuk mengembalikan kemasan ke titik pengumpulan atau melalui kurir saat pengambilan berikutnya. Kemasan yang terkumpul akan disortir, diproses oleh mitra daur ulang, lalu kembali ke industri untuk dipakai ulang atau diolah menjadi bahan baku baru.
Setiap tahap terhubung dalam satu ekosistem digital yang memantau volume, partisipasi, dan jejak ekologisnya secara real time. Dengan begitu, sirkulasi kemasan tidak berhenti sebagai limbah, tapi terus bergerak dalam sistem tertutup yang efisien dan berkelanjutan.
Pada tahun ketiga hingga kelima, program diperluas ke kota-kota lapis dua dan tiga di Indonesia, sambil memperkuat jejaring daur ulang lokal melalui kemitraan strategis dengan industri pengolahan limbah dan komunitas akar rumput. Pelatihan dan sertifikasi untuk produsen kemasan dan pelaku e-commerce diselenggarakan agar inovasi tidak berhenti pada produk, tetapi juga menyentuh proses dan manajemen limbah.
SPA bekerja sama dengan pemerintah untuk menyusun regulasi progresif serta mendorong insentif bagi perusahaan yang menjalankan praktik pengemasan berkelanjutan. Pada tahun keenam dan seterusnya, SPA ditargetkan mampu membangun ekosistem kemasan sirkular secara menyeluruh.
Seluruh siklus hidup kemasan, dari desain hingga daur ulang, terintegrasi dalam sistem yang berorientasi pada pengurangan limbah dan perlindungan lingkungan. Dengan pendekatan bertahap dan menyeluruh yang menjangkau perilaku, kebijakan, teknologi, dan kemitraan lintas sektor, SPA tidak hanya menjawab tantangan limbah e-commerce, tetapi juga menjadi fondasi transformasi menuju budaya konsumsi yang lebih bertanggung jawab.
Saatnya Bergerak Bersama

Di tengah gaya hidup digital yang semakin mengakar, kenyamanan hari ini sering kali dibayar mahal oleh lingkungan di masa depan. Belanja online yang awalnya praktis kini meninggalkan jejak ekologis yang tak bisa diabaikan. Peningkatan penggunaan plastik sekali pakai dan rendahnya aksi nyata konsumen menunjukkan bahwa krisis ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi cerminan pola pikir.
Pertumbuhan e-commerce memang menciptakan tantangan lintas sektor, namun juga membuka peluang besar untuk perubahan. Melalui SPA, kita diajak menata ulang relasi antara manusia dan kemasan, antara kenyamanan dan keberlanjutan.
Ini bukan waktunya untuk saling menyalahkan, tetapi saatnya bergerak bersama, sebagai konsumen bijak, pelaku usaha bertanggung jawab, dan pemerintah yang berpihak pada masa depan. Jika langkah kecil dilakukan bersama, masa depan bisa dikemas dengan harapan, bukan krisis tak terselesaikan.
Penulis adalah mahasiswa jurusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, penerima Djarum Beasiswa Plus (Beswan Djarum) 2024/2025. Tirto.id bekerjasama dengan Djarum Foundation menayangkan 16 Finalis Nasional Essay Contest Beswan Djarum 2024/2025.
Editor: Zulkifli Songyanan
Masuk tirto.id


































