tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga saat ini masih mematangkan aturan teknis pajak karbon sebelum diimplementasikan. Pemberlakukan pajak karbon sempat mengalami penundaan selama dua kali, yakni pada April dan Juli 2022 lalu.
Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan menduga, ada upaya yang menghalang-halangi pemerintah dalam menerapkan pajak karbon. Bahkan tidak menutup kemungkinan datangnya dari pengusaha-pengusaha kakap.
"Banyak cibiran menyatakan bahwa jangan-jangan ini kalah sama pengusaha-pengusaha energi fosil, sehingga memang belum siap," kata Mamit kepada Tirto, Senin (26/9/2022).
Kerena itu, dia berharap pemerintah segera menerapkan aturan tersebut untuk menuju energi bersih. Tindakan itu juga bisa membuktikan jika pemerintah tidak kalah dengan para pengusaha
"Saya kira harus diterapkan dan diberlakukan. Dan aturan detai disiapkan teknisnya juga seperti apa dilakukan. Karena salah satu alasan kemarin adalah harga antata negara yang beda beda. Saya kira itu bisa disesuaikan," bebernya.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan, proses penyempurnaan peraturan pendukung pajak karbon dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh aspek. Mulai dari pengembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor-sektor, dan kondisi perekonomian domestik dan global.
"Pembahasan kebijakan skema pasar karbon termasuk peraturan teknisnya, akan didukung oleh pajak karbon, ini akan terus kami lakukan dan mematangkan," kata Febrio dalam konferensi pers APBN Kita, dikutip Selasa (27/9/2022).
Dia mengatakan, rencana penerapan pajak karbon akan terus dikalibrasi. Hal ini mempertimbangkan masih tingginya ketidakpastian perekonomian global, terutama akibat pandemi COVID-19.
"Dan sekarang ada kondisi tingginya harga pangan dan energi," katanya.
Sebelumnya, Febrio beralasan, penundaan ini dilakukan karena pemerintah masih mematangkan peraturan pendukung pemberlakuan Pajak Karbon. Hal ini dilakukan bersama dengan seluruh Kementerian atau Lembaga (K/L) terkait termasuk Kemenkeu.
Proses penyempurnaan peraturan pendukung tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan seluruh aspek terkait, termasuk pengembangan pasar karbon, pencapaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.
"Proses pematangan skema pasar karbon termasuk peraturan teknisnya, yang sistemnya akan didukung oleh pajak karbon, masih membutuhkan waktu. Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan untuk menunda pemberlakuan pajak karbon," kata Febrio dalam pernyataannya, Jumat (24/6/2022).
Febrio mengatakan, meski ditunda pajak karbon tetap akan dikenakan pertama kali pada badan yang bergerak di bidang PLTU batubara. Pengenaan ini melalui mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi pada 2022 sesuai amanat UU HPP.
Pajak Karbon diharapkan dapat mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon," jelasnya.
Pemerintah juga tetap menjadikan penerapan pajak karbon pada 2022 sebagai capaian strategis (deliverables) yang menjadi contoh dalam pertemuan tingkat tinggi G20. Pemerintah juga mendorong aksi-aksi mitigasi perubahan iklim lainnya.
Di antaranya melalui mekanisme transisi energi (Energy Transition Mechanism/ETM) yang di satu sisi mempensiunkan dini PLTU Batubara (phasing down coal) dan di sisi lain mengakselerasi pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT).
"Ini dengan tetap mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya,” tutup Febrio.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin