tirto.id - Kepemimpinan Anies Baswedan di DKI Jakarta kembali mendapat perhatian publik jelang lengser pada 16 Oktober 2022. Salah satunya dengan munculnya kembali data Badan Pusat Statistik (BPS) tentang angka indeks kebahagiaan Jakarta yang terus turun. Hal ini menjadi tamparan keras bagi slogan Gubernur Anies “Maju Kotanya, Bahagia Warganya.”
Mengacu pada data BPS 2021 yang dirilis awal 2022, indeks kebahagiaan Jakarta di bawah angka nasional dan masuk 10 besar daerah tidak bahagia. Dinukil dari laman BPS, angka indeks kebahagiaan Jakarta 2021 berada pada 70,68.
Angka tersebut lebih rendah berdasarkan indeks sebelumnya atau pada 2017 yang berada pada angka 71,33. Metode penghitungan Indeks Kebahagiaan 2017-2021 diukur menggunakan tiga dimensi: kepuasan hidup (life satisfaction), perasaan (affect), dan makna hidup (eudaimonia).
Berdasarkan perhitungan ini, Jakarta masuk dalam 10 provinsi dengan angka kebahagiaan terendah. Indeks kebahagiaan terendah jatuh pada Banten dengan angka 68,08. Jakarta berada di peringkat 8 dengan status lebih buruk daripada Aceh (71,24) dan lebih baik daripada Sumatera Utara (70,57).
Jika dikomparasi secara nasional, angka indeks kebahagiaan Jakarta kali ini lebih rendah daripada angka nasional. Angka indeks kebahagiaan nasional 2021 berada pada angka 71,49. Kondisi ini berbeda dengan indeks kebahagiaan 2017 yang menempatkan Jakarta berada di atas nasional. Pada 2017, indeks kebahagiaan nasional berada pada angka 70,69.
Peneliti kebijakan publik Research and Policy Analyst · Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP), Riko Noviantoro menilai, aksi publikasi indeks kebahagian tidak perlu dijadikan pergunjingan serius. Sebab, indeks kebahagian tersebut tidak cukup mewakili realitas sebenarnya.
“Saya lebih senang menyebut sebagai aksesori politik belaka,” kata Riko kepada reporter Tirto, Jumat (23/9/2022).
Riko menuturkan, indeks kebahagiaan yang dilansir BPS tidak mampu mengungkap realitas yang mendalam. Hal tersebut terlihat pada tiga indikator yang digunakan, yakni kepuasan hidup, perasaan dan makna hidup.
Tiga parameter tersebut, lanjut Riko, terlalu luas dan sulit diukur secara baik. Variabelnya menjadi tidak konsisten yang memicu bias hasil riset.
“Kepuasan hidup sebagai contoh relatif mengukir kondisi saat ini. Tidak bisa melihat kondisi tiga tahun ke belakang,” kata dia.
Riko menambahkan, objek yang dimintai pendapat adalah individu yang sedang mengalami penurunan kehidupan dalam setahun terakhir, sudah barang tentu penderitaan setahun menghapus kenyamanan dua tahun.
Riko berharap data indeks kebahagiaan ini bisa disandingkan dengan indeks lainnya sehingga dapat lebih mengikuti keberhasilan pembangunan terhadap kemanfaatan publik.
“Sudah barang tentu fasilitas publik yang lebih baik meningkutkan kepuasan hidup dan sebagainya,” kata dia.
Riko mencontohkan perbaikan layanan publik di Jakarta sudah pasti meningkatkan kenyamanan publik. Hal itu memberi makna kepuasan hidup bisa meningkat. “Apalagi di Jakarta banyak program yang terlaksana. Mulai dari bantuan bagi warganya sampai hal lain,” kata Riko.
Sementara itu, pemerhati politik dari Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah menuturkan, hasil indeks kebahagiaan 2021 yang kembali diungkap ke publik diikuti motif tertentu.
“Rasanya tidak, ini publikasi biasa, menjadi politis ketika mendapat respons publik, utamanya mereka yang berada dalam zona rivalitas politik Anies,” kata Dedi kepada Tirto.
Dedi menuturkan, publik pemilih Anies tidak akan terganggu dengan hasil rilis BPS tersebut. Ia menilai pemilih loyalis Anies sama dengan loyalis Jokowi. Mereka lebih melakukan pendekatan suka-tidak suka sehingga masalah kinerja tidak akan menjadi pertimbangan. Prestasi sebaik apa pun Anies juga tidak akan mempengaruhi pemilih Anies.
“Artinya, publikasi indeks kebahagiaan yang menilai Jakarta rendah, akan berdampak sama seperti Jateng yang mendapat rapot kemiskinan, Ganjar tetap saja disukai, begitu halnya dengan Anies dalam hal ini terlebih indeks kebahagiaan itu tidak dapat diukur pada dasarnya, ini akan semakin sulit dijadikan mempengaruhi performa politik Anies,” kata Dedi.
Dalam catatan IPO, kata Dedi, elektabilitas Anies bergerak stabil, saat Anies disanjung atas keberhasilan meresmikan JIS atau Formula E yang berhasil digelar. Ia melihat dua prestasi potensial ini nyatanya tidak berdampak signifikan pada peningkatan elektabilitas Anies. Oleh karena itu, akan kecil kemungkinan rilis data BPS ini memengaruhi elektabilitas Anies.
Selain itu, Dedi mengingatkan bahwa indeks kebahagiaan BPS tidak bisa jadi rujukan kegagalan Anies dalam mengelola Jakarta, tapi bisa digunakan untuk kepentingan politik.
“Indeks BPS tidak dapat dijadikan rujukan gagal tidaknya Anies, meskipun ini potensial dijadikan materi propaganda okeh kelompok rivalitas Anies,” kata Dedi.
Penjelasan BPS soal Data Indeks Kebagiaan Muncul Lagi
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono menegaskan bahwa survei indeks kebahagiaan 2021 adalah hasil survei yang dirilis pada awal 2022. BPS melakukan survei pada 1 Juli-21 Agustus 2021. Ia menegaskan kala itu tidak ada motif politik saat data tersebut dirilis.
“Jadi kapanpun kami terus [melakukan survei] pak. Tidak ada momen politik, momen apa. Ini pas 2021 lalu kami melakukan surveinya dan dirilis kemarin. Sayang 2022 gak ada surveinya. Kalau ada bisa membandingkan pasca pandemi,” kata Ateng saat dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (23/9/2022).
Ateng mengatakan, survei ini dilakukan selama 3-4 tahun sekali. Dalam survei 2021, mereka mensurvei 75 ribu warga rumah tangga di 35 provinsi dan 514 kabupaten kota.
Ia pun mencontohkan proses penilaian dalam indeks-indeks yang dilakukan BPS. Indeks kebahagiaan terbagi atas 3 dimensi yakni dimensi kepuasan hidup, dimensi perasaan dan dimensi makna hidup.
Pada dimensi kepuasan hidup, mereka melakukan penilaian berdasarkan dari pendapatan rumah tangga, kondisi rumah tangga, pekerjaannya, pendidikannya, kesehatannya, ketersediaan waktu luangnya, hubungan sosialnya keharmonisan keluarganya kondisi keamanan, kondisi hubungan.
Sementara indeks perasaan dibangun atas 4 indeks, antara lain: perasaan riang, perasaan tidak khawatir, perasaan cemas, kemudian perasaan tidak tertekan. Sedangkan dimensi makna hidup diukur oleh 6 variabel, yaitu: kemandirian, kesehatan lingkungan, pengembangan diri, hubungan positif dengan orang lain, hubungan hidup dan penerimaan diri.
Dalam kasus Jakarta, Ateng mengatakan, angka dimensi perasaan mengalami perubahan akibat kecemasan masyarakat pada pandemi COVID.
“Dari 3 dimensi ini, ini yang rendah dimensi perasaan, terutama perasaan khawatir, cemas itu. Ini terkait karena 2021 kan kondisi pandemi Covid, sedangkan dimensi kepuasan hidup ini meningkat didorong oleh kondisi keamanan, kemudian keadaan lingkungan. Kan, pada saat Covid ini lingkungan itu dijaga, ada portal atau apa sehingga mereka lebih merasa aman di situ. Jadi ada aspek positifnya responden di situ," kata Ateng.
Ateng mengingatkan pandemi COVID masih terjadi pada 2021 sehingga hasil lebih rendah daripada 2017. Ia mengingatkan bahwa tidak hanya Jakarta yang mengalami penurunan.
“Yang kedua memang survei terakhir kami itu juga 2017. Jadi 2021 dibandingkan dengan 2017. Otomatis beberapa wilayah yang kasus COVID-nya wilayah perkotaan kayak di DKI, Banten yang cukup tinggi ini, cukup berpengaruh ke indeks kebahagiaannya karena cenderung wilayah perkotaan rasa cemasnya itu lebih tinggi. Itu akibatnya,” kata Ateng.
Ateng menambahkan, “Ya harapannya kalau mau apple to apple ya pada saat kondisi normal dibandingkannya.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz