tirto.id - Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Beberapa barang yang akan dikenakan PPN 12 persen antara lain beras premium, daging premium, buah premium, jasa pendidikan premium, jasa pelayanan kesehatan premium, dan pelanggan listrik dengan daya 3500-6600 VA.
Sejumlah dalih diungkapkan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen. Pertama, untuk meningkatkan pendapatan negara. Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Ketiga, untuk menyesuaikan dengan standar internasional.
Tak pelak, keputusan pemerintah ini mendapat penolakan dari masyarakat yang kondisi ekonominya kian tercekik. Bahkan muncul satu petisi yang meminta pemerintah membatalkan kenaikan PPN di laman change.org.
Hingga Jumat pagi, 20 Desember 2024, petisi yang dibuat oleh Bareng Warga tersebut sudah ditandatangani oleh 145.362 orang. Menurut Bareng Warga, petisi ini dibuat karena kebijakan untuk menaikan PPN hanya akan membuat hidup masyarakat semakin sulit di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.
Dari Pajak ke Pajak
Pajak di Indonesia sudah ada sejak masa lalu, bahkan sejak masa klasik atau masa kerajaan. Sejumlah prasasti menyebut mengenai penarikan pajak yang berasal dari kerajaan masa Hindu-Buddha.
Menurut Djoko Dwiyanto dalam “Pungutan Pajak dan Pembebasan Usaha di Jawa pada Abad IX-XV Masehi” yang terbit dalam Humaniora (No.1, 1995), ada beberapa jenis pajak yang disebut dalam prasasti, seperti pajak tanah, pajak perdagangan, pajak orang asing, dan pajak keluar masuk wilayah.
Setelah era klasik, di masa kolonial pajak juga menjadi salah satu pemasukan bagi negara. Kompeni atau VOC menerapkan beberapa kebijakan pajak, salah satunya contingenten atau pajak hasil bumi.
Memasuki masa penjajahan Inggris, salah satu kebijakan mengenai pajak yang pernah diterapkan adalah pajak tanah atau landrent yang diperkenalkan oleh Thomas Stamford Raffles. Dengan menguasai Indonesia, berarti Inggris menganggap semua tanah adalah milik negara.
“Besarnya pajak [yang harus dibayar petani] sama dengan dua per lima dari nilai panen satu tahun. Sistem ini telah diterapkan di Benggala dan menemui keberhasilan,” tulis A.M. Djuliati Suroyo dalam Indonesia dalam Arus Sejarah 4, Kolonisasi dan Perlawanan (2012, hlm. 141).
Berkaca dari keberhasilan di India, Raffles juga menerapkan kebijakan yang sama di Jawa. Kebijakan yang ia terapkan berbeda dengan kebijakan sebelumnya yang diterapkan di masa pemerintahan Herman Willem Daendels, yaitu penyerahan dan kerja wajib.
Penerapan pajak tanah oleh Raffles tidak sepenuhnya berjalan lancar. Menurut Abdul Wahid dalam “Dualisme Pajak di Jawa: Administrasi Pajak Tanah di Wilayah Vorstenlanden pada Masa Kolonial, 1915-1942” yang terbit pada Lembaran Sejarah (Vol. 12, No.1, 2017), Raffles mengalami kendala administratif.
Kendala yang dimaksud adalah tidak jelasnya data mengenai tanah, sehingga jumlah pajak yang terkumpul menjadi kurang jelas. Selain itu, pemerintah tidak bisa mengambil pajak sendiri karena harus melibatkan elite lokal.
Lepas dari Inggris, kebijakan pajak lain diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, salah satunya terkait erat dengan sistem kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel. Sistem ini merupakan gagasan dari Johannes van den Bosch yang ia susun pada tahun 1829.
Menurut Robert van Niel dalam Sistem Tanam Paksa di Jawa (2003), sistem ini merupakan penanaman dan penyerahan paksa hasil bumi kepada pemerintah. Ia menulis bahwa van den Bosch ingin membuat Jawa menguntungkan bagi Kerajaan Belanda dengan menanam komoditas yang laku saat itu, seperti kopi, gula, dan nila.
Kebijakan ini berhulu dari kondisi keuangan Kerajaan Belanda yang mengalami kesulitan akibat perang. Tidak hanya para pemilik tanah, penduduk yang tidak mempunyai tanah juga terlibat dengan ikut bekerja di perkebunan.
“Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak,” tulis Wulan Sondarika dalam “Dampak Culturstelsel (Tanam Paksa) Bagi Masyarakat Indonesia dari Tahun 1830-1870” yang terbit pada Jurnal Artefak (Vol. 3, No. 1, 2015).
Belum lagi pajak yang harus diserahkan berupa hasil panen. Kondisi diperparah dengan banyaknya penyelewengan aturan, seperti kegagalan panen yang malah ditanggung oleh para penduduk.
Seiring waktu, jenis pajak yang diterapkan di masa kolonial semakin beragam, salah satunya kleine verpachte middelen atau beragam pajak kecil. Seturut Rex Arendsen dalam “Belast Koloniaal Verleden” (2016), yang termasuk dalam pajak kecil antara lain biaya sewa pasar, candu, garam, pemotongan hewan, dan biaya pegadaian.
Sepanjang tahun 1920 hingga 1935, Pemerintah Hindia Belanda juga mengenalkan tiga jenis pajak, yaitu pajak penghasilan (1920), pajak perusahaan (1925), pajak pendapatan (1932), dan pajak upah (1935). Banyaknya pajak yang dibebankan menimbulkan permasalahan lain.
“Beban kerja otoritas pajak (Hindia Belanda) bertambah dan menjadi rumit bagi penduduk yang buta huruf,” tulis Rex Arendsen.
Memasuki masa pendudukan Jepang, pungutan pajak berlanjut. Tri Ernawati dalam “Sistem Pajak Masa Pendudukan Jepang di Jawa Tahun 1924-1945” yang terbit dalam Diakronik (Vol. 17, No. 1 Januari 2023), menulis setidaknya ada enam jenis pajak di masa pendudukan Jepang.
Enam pajak itu adalah pajak kendaraan, pajak hewan (anjing), pajak minuman keras, pajak tanah, pajak upah/penghasilan, dan pajak perang istimewa. Pajak yang disebutkan terakhir, khusus bagi orang-orang Eropa dan Timur Asing yang ada di Indonesia.
Pajak Menimbulkan Perlawanan
Di masa kolonial, penerapan pajak yang menyengsarakan rakyat tak jarang menimbulkan perlawanan. Contohnya seperti Perang Jawa dan Perang Kamang.
Ada banyak jenis pajak yang harus dibayarkan oleh rakyat saat itu. Seturut Sartono Kartodirjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium (1988), setidaknya delapan pajak yang membebani rakyat, yaitu heerendiensten, pajak tanah, pajak halaman, pajak jumlah pintu, pajak ternak, pajak pindah nama, pajak sewa tanah atau menerima jabatan, dan pajak tol (pungutan di pabean).
Sementara itu, di Sumatra Barat pada tahun 1908 juga terjadi perlawanan kepada Pemerintah Hindia Belanda akibat penerapan pajak. Hal itu melanggar ketentuan yang sebelumnya telah dibuat oleh pemerintah terhadap masyarakat Minangkabau yang tercantum dalam Plakat Panjang.
“Pada tahun 1833 Pemerintah Belanda mengatakan tidak akan mengenakan pajak (belasting) bagi orang Minangkabau,” tulis Taufik Abdullah dan Gusti Asnan dalam Indonesia dalam Arus Sejarah 4, Kolonisasi dan Perlawanan (2012, hlm. 653).
Penerapan pajak itu segera menyulut perang di daerah Kamang pada 15 Juni 1908 yang dipimpin oleh Haji Abdul Manan.
Menurut Uun Lionar, Agus Mulyana, dan Leli Yulifar dalam “Plakat Panjang hingga Perang Kamang: Gerakan Rakyat Minangkabau Menentang Pajak Kolonial Belanda” yang terbit pada Historis : Jurnal Kajian, Penelitian & Pengembangan Pendidikan Sejarah (Vol. 5, No. 2, 2020), jumlah korban meninggal dunia antara kedua pihak mencapai 90 hingga 250 orang.
Perlawanan serupa juga terjadi di daerah Manggopoh pada 16 Juni 1908 yang dipimpin oleh Siti Manggopoh bersama suaminya, Rasyid.
Dalam buku Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sumatera Barat (1983), disebutkan dalam penyerbuan itu Siti Manggopoh dan pasukannya berhasil menewaskan 55 tentara Belanda.
Agar ingatan terhadap dua perlawanan itu tetap bertahan, maka dibangun dua tugu, yakni Tugu Perjuangan Rakyat Kamang 1908 dan Tugu Manggopoh. Keduanya berlokasi di Kabupaten Agam.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Irfan Teguh Pribadi