Menuju konten utama

Optimisme Pengusaha Merosot Jelang Pergantian Presiden, Ada Apa?

Data penurunan optimisme dunia usaha terjadi jelang pergantian kepemimpinan dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto. Ada apa?

Optimisme Pengusaha Merosot Jelang Pergantian Presiden, Ada Apa?
Presiden Joko Widodo (kanan) berjalan bersama Menteri Pertahanan sekaligus Presiden Terpilih Prabowo Subianto (kiri) saat menghadiri acara HUT Ke-78 Bhayangkara di Lapangan Monas, Jakarta, Senin (1/7/2024). HUT tersebut mengambil tema Polri Presisi Mendukung Percepatan Transformasi Ekonomi Yang Inklusif Dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/YU

tirto.id - Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada Juli 2024 mencapai 52,4, atau melambat 0,1 poin dibandingkan Juni 2024. Perlambatan nilai IKI, dipengaruhi oleh menurunnya nilai variabel pesanan baru dan masih terkontraksinya variabel produksi.

Nilai IKI variabel pesanan baru menurun 1,86 poin menjadi 52,92. Sedangkan variabel produksi meningkat 2,45 poin menjadi 49,44 atau masih kontraksi. Selanjutnya, nilai IKI variabel persediaan produk justru meningkat 0,48 poin menjadi 55,53.

Sejurus dengan penurunan tersebut, Survei IKI mencatat bahwa optimisme pelaku usaha enam bulan ke depan mengalami perubahan arah pada dari 73,5 persen di Juni 2024 menjadi 71,9 persen di Juli 2024. Kondisi ini menandakan bahwa optimisme pelaku usaha turun atau tengah dalam keadaan pasrah.

Selanjutnya, perubahan arah juga terjadi pada pesimisme pelaku usaha enam bulan ke depan yang meningkat dari 5,5 persen menjadi 6,0 persen. Sedangkan sebanyak 22,1 persen pelaku usaha menyatakan kondisi usahanya masih stabil selama enam bulan mendatang.

Penurunan optimisme tersebut, terjadi jelang pergantian kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Presiden Terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto. Prabowo akan dilantik menjadi presiden pada Oktober 2024 mendatang.

"Kondisi ini menjadi warning dan perlu diwaspadai untuk kondisi sektor industri ke depan," ujar Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif, pada Rilis IKI Juli 2024 di Jakarta, Rabu (31/7/2204).

Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani, melihat ada beberapa faktor menyebabkan Indeks Kepercayaan Industri dan optimisme pengusaha mengalami penurunan. Pertama karena kondisi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi secara bergelombang, menunjukkan industri sedang mengalami masalah daya dukung.

"Kedua, faktor investasi yang masih terjadi uncertainty, termasuk karena kondisi politik yang masih belum final sampai akhir tahun 2024," kata Ajib kepada Tirto, Kamis (1/8/2024).

Penurunan IKI dan optimisme pengusaha lainnya dipicu juga karena pelemahan daya beli masyarakat, yang tercermin dari Indeks daya beli yang sedang mengalami kontraksi di bawah 50. Kondisi ini menunjukkan bahwa saat ini pesanan/penjualan di industri pengolahan masih dipenuhi oleh persediaan produk.

Selain itu, di beberapa industri yang pesanan barunya kontraksi, produksi dilakukan untuk menambah tingkat ketersediaan produknya. Mayoritas industri pengolahan di Indonesia juga masih sangat mengandalkan pasar domestik.

Neraca perdagangan Sumut surplus pada Januari 2024

Seorang pekerja mengawasi proses bongkar muat peti kemas di Terminal Peti Kemas Internasional Belawan Kota Medan, Sumatera Utara, Senin (4/3/2024). ANTARA FOTO/Fransisco Carolio/tom.

Penurunan pesanan terjadi hampir di seluruh subsektor industri. Dari 23 subsektor, 15 subsektor industri mengalami penurunan pesanan baru. Hal ini dikarenakan kondisi global yang belum stabil dan penurunan daya beli masyarakat di pasar domestik.

Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan terjadinya penurunan jumlah tenaga kerja sektor industri atau peningkatan pekerja nonformal. Sedangkan bila dilihat dari sisi proporsi pengeluaran terhadap pendapatan, terjadi peningkatan konsumsi dan penurunan tabungan, sehingga dapat disimpulkan kondisi masyarakat saat ini telah menggunakan tabungannya untuk konsumsi.

Kondisi ini tentu saja berdampak pada pola pembelian barang yang berorientasi harga dan penurunan keberanian untuk berspekulasi mendapatkan kredit pembiayaan. Sedangkan, para produsen mengeluarkan kebijakan untuk mengurangi produksi. Hal ini menjelaskan nilai IKI variabel produksi yang masih terkontraksi.

"Keempat, karena kondisi geopolitik yang masih wait and see, termasuk menunggu sikap politik internasional dari pemerintahan yang baru," jelas dia.

Hingga saat ini, kondisi perekonomian global masih menunjukkan ketidakpastian, meskipun ekonomi Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan penguatan yang didukung oleh konsumsi yang kuat dan adanya stimulus fiskal di dua wilayah tersebut.

Di sisi lain, perekonomian RRT diperkirakan tidak akan tumbuh kuat pada tahun 2024, meskipun Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan World Economic Outlook terbaru telah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi RRT pada 2024 menjadi 5 persen, naik dari prediksi 4,6 persen pada April 2024.

"Dunia usaha akan mengalami kenaikan ketika tingkat kepastian usaha bisa diberikan oleh pemerintah dan regulasi yang mendukung dengan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi," pungkas Ajib.

Dunia Usaha Butuh Regulasi yang Pro Bisnis

Di luar dari persoalan di atas, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, mengatakan optimisme pengusaha akan sangat tinggi bila pemerintah pro terhadap bisnis. Artinya aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah, harusnya betul-betul tepat di tengah situasi dan kondisi saat ini.

"Ada aturan yang sudah terlalu lama harus direvisi. Ada aturan yang harus dibuat karena mengikuti perkembangan zaman," ujar Budihardjo kepada Tirto, Kamis (1/8/2024).

Menurut dia, aturan yang berpihak kepada pengusaha menjadi penting dalam rangka kecepatan dan kemudahan untuk pengembangan usaha agar dapat meningkatkan investasi. Bagi Hippindo sendiri misalnya, aturan dibutuhkan saat ini adalah bagaimana pemerintah memberikan kemudahan izin dalam membuka toko.

"Bila memang sudah memenuhi semua persyaratan, toko keduanya tidak perlu lagi diperiksa dari nol. Seperti itulah harapan kami kepada pemerintah," ujarnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melihat dari sisi regulasi inkonsistensi kebijakan impor barang jadi khususnya aturan relaksasi impor menyebabkan persaingan industri didalam negeri makin ketat dengan barang impor. Regulasi yang ada jelas belum berpihak kepada pengusaha.

"Jadi kondisinya permintaan sedang lambat, ditambah banjir barang impor. Ya itu sebabkan industri tertekan sekali," kata Bhima kepada Tirto, Kamis (1/8/2024).

Di luar regulasi, Bhima melihat ada dua faktor yang berkontribusi utama ke penurunan optimisme pengusaha. Pertama, permintaan kelas menengah khususnya di perkotaan melambat, karena berbagai tekanan naiknya harga kebutuhan pokok, biaya pendidikan dan perumahan serta tingginya suku bunga pinjaman.

Akibatnya permintaan industri tergerus, apalagi momentum kenaikan musiman konsumsi rumah tangga baru menunggu libur panjang natal dan tahun baru. Jadi pelaku usaha juga antisipasi dengan mengurangi pembelian bahan baku.

"Kedua, pelemahan nilai tukar rupiah menimbulkan risiko meningkatnya harga bahan baku industri," jelas dia.

NERACA PERDAGANGAN DESEMBER SURPLUS

Pekerja melakukan bongkar muat peti kemas.

Peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah, mengatakan penurunan daya beli masyarakat memang menjadi salah satu faktor penurunan optimisme pengusaha. Sebab hal itu menyebabkan turunnya omzet penjualan .

Turunnya daya beli ini dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah kenaikan inflasi dan harga kebutuhan pokok seperti beras yang terjadi pasca El Nino di tahun lalu. Akibatnya pendapatan masyarakat tergerus untuk memenuhi kebutuhan pokok dan mengurangi pengeluaran untuk barang-barang sekunder lainnya.

Selain itu, kata Shofie, daya beli di bulan Juli ini bisa turun karena ada banyak keluarga yang harus mengeluarkan biaya untuk keperluan pendidikan seperti biaya masuk dan perlengkapan sekolah. Pengeluaran tambahan ini menjadi beban yang wajib dikeluarkan, sehingga masyarakat menahan konsumsinya untuk barang-barang yang belum krusial.

"Yang kedua adalah tentu kondisi ekonomi global yang tidak stabil," jelas dia kepada Tirto, Kamis (1/8/2024).

Menurut Shofie, banyak bahan baku industri yang masih diperoleh dari impor. Melemahnya rupiah yang ditandai dengan naiknya nilai tukar dolar terhadap rupiah menyebabkan biaya bahan baku yang diperoleh dari aktivitas impor meningkat. Ini menyebabkan perusahaan harus meningkatkan biaya produksinya.

"Peningkatan biaya produksi ini akan menurunkan margin keuntungan perusahaan," jelas dia.

Tapi di luar itu semua, Kemenperin mengaku tengah fokus pada beberapa kebijakan yang dapat meningkatkan optimisme pelaku usaha. Pertama, untuk industri alat angkutan lainnya serta industri mesin dan perlengkapan YTDL, perlu kebijakan untuk memperkuat nilai tukar Rupiah dan meningkatkan konsumsi maupun investasi.

Lebih lanjut, kelompok industri mesin dan perlengkapan YTDL (yang tidak termasuk dalam lainnya) sangat tergantung pada ekspansi industri penggunanya dan pengadaan barang dan jasa pemerintah, sehingga kebijakan relaksasi TKDN akan berdampak pada subsektor ini.

"Selanjutnya, untuk industri tekstil, diperlukan kebijakan pengendalian impor barang hilir," tandas Febri Hendri.

Baca juga artikel terkait DUNIA USAHA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang