tirto.id - Secara beruntun, kerabat dan rekan dari 189 korban kecelakaan Pesawat Lion Air JT-610 rute Jakarta-Pangkal Pinang, datang ke Rumah Sakit Bhayangkara Polri Tingkat I R. Said Sukanto (RS Polri), Kramat Jati, Jakarta Timur. Mereka menyerahkan data untuk membantu Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri mengidentifikasi korban usai evakuasi.
Di Pos Ante Mortem RS Polri, tim kepolisian menghimpun data-data penting korban sebelum kecelakaan. Data itu mulai dari pakaian atau aksesoris yang terakhir kali dipakai korban, barang bawaan, tanda lahir, tato, bekas luka, cacat tubuh, foto diri, foto saat tersenyum untuk pemeriksaan gigi, umur, berat dan tinggi badan, hingga sampel DNA.
Data ini biasanya didapat dari kerabat, rekan, maupun instansi tempat korban pernah bekerja. Data ini penting untuk membantu proses pengenalan jati diri korban sebelum dikembalikan ke keluarga.
"Kami minta [kerabat korban] berikan KTP. Terkait sidik jari, ijazah, foto tampak gigi tersenyum. Kalau tidak punya, medical record gigi," kata Kepala Rumah Sakit Polri Kombes Musyafak di RS Polri, Senin (22/10/2018).
Musyafak menjelaskan, alternatif lain untuk identifikasi ialah pengambilan sampel DNA. Biasanya ini diandalkan ketika tubuh korban tak utuh.
"Melihat kasus sekarang, kecelakaan pesawat ini, mungkin selain gigi gerigi juga dibutuhkan sampel DNA. Dalam hal ini, putra putri atau orang tuanya," lanjut Musyafak. "Apabila korban tidak utuh dan bahkan serpihan-serpihan. Beberapa potong. Ini memang harus diambil sampel DNA."
Data yang mereka berikan akan dibandingkan dan dicocokan dengan data yang diperoleh tim forensik RS Polri di Pos Post Mortem. Bila Ante Mortem berguna untuk mengumpulkan data-data korban sebelum peristiwa kecelakaan, post mortem sebaliknya.
Tim post mortem berusaha mengumpulkan data-data korban dari hasil temuan di lapangan atau lokasi kecelakaan. Data post mortem adalah data-data fisik yang diperoleh melalui identifikasi personal setelah korban meninggal. Beberapa di antaranya seperti sidik jari, golongan darah, konstruksi gigi, dan foto diri korban pada saat ditemukan lengkap dengan barang-barang yang melekat di tubuhnya dan sekitarnya, bahkan termasuk isi kantong pakaiannya.
"Prinsip primer adalah sidik jari. Kalau sudah cocok, itu berarti sudah teridentifikasi. Sidik jari tiap orang itu berbeda-beda. Kemudian yang kedua termasuk identifikasi primer adalah gigi gerigi. Makanya kami ada odontologi forensik," terang Musyafak.
Wakapolri Komjen Ari Dono Sukmanto menjelaskan, sejauh ini di RS Polri telah ada 27 dokter yang menangani proses identifikasi. Polri bekerja sama dengan dokter ahli dari berbagai perguruan tinggi.
"Ada 15 dokter forensik, dokter ordontologi yang akan melaksanakan pemeriksaan forensik dan gigi dan kemudian ahli DVI yang siap di sini. Sejak tadi malam sudah mulai bekerja hingga pagi hari ini. Saya melihat kegiatan di post mortem di lokasi," kata Ari di RS Polri.
Berdasar jurnal yang ditulis Anand Marya, Jahagirdar B. Pramod, dan Vidhii Sharma, peran Ondotologi sangatlah penting. Meski bagian tubuh bisa membusuk dan berubah-ubah, gigi merupakan organ tubuh yang bertahan cukup lama tidak berubah. Dari penelusuran gigi korban, petugas bisa menemukan jenis kelamin, ras, dan umur yang bersangkutan.
"Metode penelusuran karakteristik gigi unik dan menjadi salah satu metode identifikasi yang termudah dan tercepat," penjelasan di jurnal tersebut.
Optimis Air Laut tak Menghambat Identifikasi
Proses identifikasi diperkirakan tak bisa selesai dalam waktu singkat. Dari versi kepolisian, proses pengenalan korban yang tubuhnya tak utuh minimal memerlukan waktu sekitar lima hari.
Prediksi versi kepolisian itu jauh lebih cepat dari perkiraan mantan Direktur Eksekutif Disaster Victim Indonesia (DVI) Polri Kombes (purn) Anton Castilani. Menurutnya identifikasi tercepat bisa berangsur sampai seminggu.
"Kalau yang mudah sidik jari itu hitungan menit juga sudah selesai," kata pria yang kini menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana itu. "Tapi kalau yang sulit itu butuh waktu seminggu."
Anton berpendapat waktu selama itu dibutuhkan karena petugas forensik harus berhati-hati meneliti bagian tubuh pasien yang belum rusak DNA-nya. Dalam kasus korban kecelakaan Lion Air JT-610, air laut tentu bisa merusak DNA korban.
"Kalau terendam di air laut lama, kadang bisa sampai dua minggu atau bahkan tidak terbaca sama sekali," tegasnya.
Anton menjelaskan, proses pemindaian DNA melalui berbagai tahapan yang ketat. Langkahnya mulai pemisahan DNA dari sel, ekstraksi, hingga amplifikasi.
"Kalau kedikitan itu harus digandakan. Jumlahnya harus 23 marka dan diisi setengah kromosom bapak dan setengah kromosom ibu," jelasnya.
Kemudian ada metode visualisasi untuk melihat DNA ayah dan ibunya. Baru nantinya dicocokkan dengan data Ante Mortem. "Ini yang bikin lama karena seringkali ada yang gagal juga di langkah-langkah itu," tuturnya.
Sedangkan Ade Firmansyah Sugiharto, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia menjelaskan, sumber primer identifikasi memang sidik jari, DNA, dan gigi.
Menurutnya jika tulang untuk sampel DNA terkikis air laut, ahli forensik akan mencari bagian yang kemungkinan besar tak ikut rusak, misalnya jaringan otot. Ade menganggap, otot kemungkinan besar bertahan karena dihimpit di antara daging dan tulang.
"Otot itu sama dengan sumsum tulang. Dia punya keidentikan DNA dari setengah ayah setengah ibunya," kata Ade kepada reporter Tirto.
Pada sisi lain, keluarga korban cemas menanti hasil identifikasi. Salah satu paman dari korban bernama Lutfi Nurramdhani, Johan menduga keponakannya sudah tak selamat. Hari-harinya diisi dengan harapan untuk mendapat kepastian nasib Lutfi.
"Setidaknya kalau ada bagian tubuhnya, bisa diidentifikasi. Itu memberi kepastian pada kami. Tidak seperti sekarang," kata Johan kepada reporter Tirto.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana