tirto.id - Kisah ini bermula pada Agustus 1983. Kala itu, perempuan kaya yang tinggal di kawasan elite Los Angeles bernama Judy Johnson melapor ke polisi bahwa anaknya yang baru berusia tiga tahun, Matthew, dilecehkan oleh salah seorang guru McMartin Preschool. Tatkala bercengkrama dengan sang anak, Johnson memperoleh keluhan. Matthew mengeluh pada ibunya bahwa anusnya sakit selepas bermain dokter-dokteran di sekolah.
Dalam laporannya untuk The Daily Beast, Lizzie Crocker mengisahkan Johnson langsung yakin bahwa biang kesakitan yang menimpa anaknya adalah Ray Buckey, salah seorang guru McMartin Preschool. Johnson yakin bahwa Buckey telah menyodomi anaknya, memaksa Matthew ikut serta dalam film pornografi anak, dan tindakan-tindakan tak senonoh lainnya. Menurut Johnson, aksi-aksi Buckey terhadap Matthew dan anak-anak lainnya adalah bagian dari ritual memuja setan.
Polisi pun bergerak menangkap Buckey dan lima guru lain, serta beberapa pengurus sekolah. Lima bulan setelahnya, aparat menutup sekolah itu.
Masalahnya, masih merujuk laporan Crocker, ketika investigasi dilakukan, tidak ada satu bukti pun ditemukan. Tak ada bercak sperma, rekaman pornografi, atau barang-barang terkait pemujaan setan. Richard Beck menyelidiki kasus ini dalam We Believe the Children: A Moral Panic in the 1980s (2015). Ia melakukan serangkaian wawancara mendalam terhadap anak-anak yang diduga korban pelecehan, terapis, orang tua, hingga mengulik transkrip persidangan.
Hasilnya? Ia menyatakan pada dekade 1980-an “terapis, pekerja sosial, dan petugas kepolisian secara tidak sengaja memaksa anak-anak untuk mengarang cerita tentang pelecehan seksual yang brutal”. Penggiringan fakta terhadap anak-anak dilakukan karena di rentang waktu tersebut--lebih tepatnya sejak 1960-an hingga 1980-an--muncul gelombang revolusi seksual di masyarakat Barat. Masyarakat AS yang berhaluan konservatif khawatir jika revolusi seksual di negeri mereka “merusak moralitas”. Maka, ketika kasus-kasus serupa Matthew muncul, banyak pihak ingin menggunakannya sebagai alat perlawanan terhadap revolusi seksual, tanpa mengindahkan duduk perkara.
Sialnya, meskipun pelecehan seksual pada anak-anak di McMartin Preschool tak terbukti, banyak orang di AS memakan mentah-mentah kisah ini. Lalu lahirlah gelombang paranoia orangtua di seluruh penjuru negeri. Usaha-usaha untuk meletakkan duduk perkara hancur dengan satu premis: “Pelecehan seksual terhadap anak-anak merupakan aksi biadab yang sangat jahat, titik”. Premis yang mengalahkan hukum dasar: “Setiap orang tidak bersalah, sampai dibuktikan sebaliknya”.
Tiga puluh tiga tahun pun berlalu. Namun paranoia orangtua (atau orang-orang konservatif) atas kejahatan seksual terhadap anak-anak muncul kembali dan digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Salah satu pihak tak bertanggungjawab itu adalah QAnon yang memunculkan teori konspirasi bahwa Amerika dikuasai politikus pedofil.
QAnon: dari Pizzagate hingga Dukungan Terhadap Trump
Pada Maret 2016, kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat yang mempertarungkan Donald Trump dan Hillary Clinton mulai memanas. John Podesta, manager kampanye Hillary Clinton, mengalami nasib buruk. Podesta mengalami serangan phishing dan email pribadinya diambil alih peretas sehingga korespondensinya dengan Hillary dan petinggi-petinggi Partai Demokrat bocor.
Awalnya, kebocoran email Podesta hanya digaungkan oleh peretas-peretas Rusia. Kasus ini menjadi jauh lebih “wah” tatkala WikiLeaks mempublikasikannya. Beberapa detektif amatiran percaya bahwa email-email bocor itu mengandung kode khusus: bahwa kata “cincin” yang termuat dalam email berarti “seks anak”, “hotdog” berarti “anak muda”, “keju” berarti “gadis kecil”, dan “saus” berarti “pesta”. Analisis asal-asalan itu kemudian memicu munculnya teori konspirasi bahwa tokoh-tokoh terkemuka di Partai Demokrat memelihara jaringan seks anak di terowongan bawah tanah restoran Pizza Comet Ping Pong yang berada di Washington DC.
Untuk apa tokoh-tokoh Demokrat menjalankan jaringan seks anak? Penganut teori konspirasi percaya jaringan itu ada untuk membuat mereka awet muda. Hillary Clinton, singkat cerita, dituduh mempraktekkan ritus jahat ini. Tak hanya Hillary dan petinggi-petinggi Demokrat, para penganut teori konspirasi pun yakin bahwa praktik ini dijalankan oleh Bill Gates hingga Tom Cruise--alias dalam istilah yang sering diulang Jerinx SID, dkk, “elit global”.
Maka, satu-satunya cara untuk menghentikan ritual ini memilih Trump sebagai presiden AS.
Tatkala Trump akhirnya menjadi presiden, pengguna anonim yang menyebut dirinya “Q Clearance Patriot” atau “Q” muncul pada Oktober 2017 lalu untuk membela tiap kebijakan Trump. Jane Coaston dalam laporannya untuk Vox, menyatakan bahwa “Q”, yang muncul pertama kali melalui forum online 4chan, mendaku diri sebagai “perwira intelijen tingkat tinggi” yang memiliki akses eksklusif ke kebijakan-kebijakan Trump melawan “komplotan jahat”, seperti Hillary dan Gates.
Para pemuja teori konspirasi percaya bahwa “Q” kemungkinan adalah seorang pejabat Air Force One sehingga ia bisa memperoleh akses eksklusif. Di sisi lain, sebagian pemuja teori konspirasi yakin bahwa “Q” merupakan John F. Kennedy Jr, putra presiden Kennedy, yang meninggal pada 1999 silam. Pemuja teori konspirasi percaya bahwa kematian Kennedy junior dipalsukan untuk melindungi dirinya. Kemunculannya sebagai sosok “Q” diyakini sebagai “The return of JFK”.
Entah siapa sesungguhnya “Q”, tetapi “Q” mengklaim bahwa Trump akan segera mendatangkan “badai” bagi komplotan jahat yang merusak moral masyarakat AS. Lambat laun, “Q” mendapat banyak dukungan, entah dari penganut teori konspirasi atau orang-orang konservatif yang, tentu saja, gerah dengan kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak--ketakutan yang ditunggangi “Q”.
Ketika suara pendukung semakin ramai, “Q” berevolusi dari “seorang anonim” menjadi “sekelompok anonim” alias QAnon. QAnon, sebut Kevin Roose dalam artikelnya di The New York Times. QAnon adalah “istilah umum untuk sekumpulan teori konspirasi internet yang menuduh, secara keliru, bahwa dunia dijalankan oleh komplotan rahasia pedofil pemuja setan yang berkomplot melawan Trump saat mengoperasikan jaringan perdagangan seks anak global,” tulisnya.
Ketika Trump mengeluarkan kebijakan yang aneh-aneh, QAnon meyakinkan para pengikutnya untuk percaya kepada sang presiden berambut oranye itu.. Trump diyakini QAnon, sebagai “sosok yang direkrut oleh salah satu jenderal tertinggi untuk maju sebagai presiden di tahun 2016 guna menghancurkan konspirasi jahat, menghentikan kendali politik atas media, dan menghadirkan keadilan bagi masyarakat”. Singkatnya, "Make America Great Again”.
Tak disangka, omong kosong QAnon populer. Pesohor fasis seperti Alex Jones dan Sean Hannity yang sangat populer di media sosial mendukung QAnon. Demikian pula kandidat terkuat Republikan di Distrik ke-14 negara bagian Georgia bernama Marjorie Taylor Greene yang terang-terangan mendukung QAnon.
Trump, sebagai sosok yang paling diuntungkan QAnon, juga mendukung omong kosong QAnon. “Saya tidak tahu terlalu dalam soal gerakan (QAnon) ini, tetapi saya paham mereka sangat menyukai saya, sesuatu yang jelas-jelas saya apresiasi”. Dukungan itu berbanding terbalik dengan sikap FBI atas QAnon. Karena QAnon menggaungkan teori konspirasi, dan karena teori-teorinya dibeli oleh banyak warga yang rentan bertindak di luar hukum, FBI pun menyatakan bahwa QAnon “berpotensi menjadi ancaman dalam negeri”.
Sayangnya, peringatan FBI dianggap angin lalu. Dari 4chan, QAnon menyebar ke seluruh platform maya, khususnya Facebook. Mengutip laporan Roose, terdapat banyak grup Facebook yang terhubung ke QAnon. Masing-masing grup bisa memiliki lebih dari 100.000 anggota.
Popularitas QAnon semakin menjadi-jadi setelah pandemi Corona memaksa banyak warga AS tinggal di rumah. Selama periode lockwodn jumlah pengikut grup-grup QAnon di Facebook melonjak hingga lebih dari 600 persen.
Bagi demokrasi AS yang tengah disandera Trump, keperkasaan QAnon di Facebook jelas memprihatinkan. Roose, dalam artikel lainnya di The New York Times, menyatakan Trump punya kekuatan untuk terpilih kembali menjadi presiden di pemilihan presiden 2020 berkat platform yang digunakan 70 persen warga dewasa AS itu. Alasannya, kini warga AS tinggal di dua tempat, lingkungan fisik (yang diinjak) dan dunia maya. Di dunia maya, khususnya Facebook, sangat mungkin pemilih-pemilih yang belum menentukan sikap, memilih Trump atau Biden, berubah pikiran. Dengan omong kosongnya, QAnon dapat menjangkau calon pemilih yang belum menentukan sikap ini untuk mencoblos Trump.
Memanfaatkan Facebook untuk memenangkan pemilu bukan omong kosong. Michal Kosinskia, peneliti dari University of Cambridge, dalam studi berjudul “Private Traits and Attributes are Predictable from Digital Record of Human Behavior” (2013) menyebut bahwa "like" dapat secara otomatis dan akurat memprediksi “highly sensitive personal attributes” seorang pengguna Facebook,misalnya orientasi seksual, etnis, agama, dll. Dengan data tersebut, pengiklan dapat menciptakan iklan microtargeting di Facebook. Lalu, Oana Barbu, peneliti dari Western University of Timisoara, dalam makalah berjudul “Advertising, Microtargeting and Social Media” (2014) menyatakan bahwa konsep awal microtargeting adalah membagi-bagi kelompok masyarakat dengan memanfaatkan kode pos alias pembagian berdasarkan letak geografis. Di zaman media sosial, pembagian kelompok masyarakat dapat dipersempit. Menurut laporan ProPublica, ada 50 ribu pembagian kelompok di Facebook.
Dengan kekuatan semacam itu, maka para konsultan politik dapat menyasar pengguna Facebook secara presisi, mengaktifkan ketakutan atau mendukung keinginan mereka.
Editor: Windu Jusuf