tirto.id - Novel Inyik Balang karya Andre Septiawan menjadi pemenang Hadiah Sastra Ayu Utami untuk Pemula "Rasa" 2025. Sebagaimana tampak pada namanya, hadiah sastra "Rasa" merupakan penghargaan yang diberikan kepada penulis pemula oleh sastrawan Ayu Utami.
"Novel Inyik Balang merangkum seratus tahun sejarah di Minangkabau, ditulis secara realis-magis, dengan bahasa yang kaya dalam mengolah secara kontemporer elemen kedaerahan, kelisanan, dan sastra modern Indonesia," bunyi keterangan yang diterima Tirto.id, Senin (16/6).
Pemenang kedua Hadiah Sastra Ayu Utami untuk Pemula "Rasa" ditempati oleh dua karya, yakni Mencari Sita di Hindia Belanda karya Angelina Enny dan Kronik Pembunuhan Selma karya K.A. Sulkhan. Mencari Sita adalah fiksi yang ditulis dengan memadukan beberapa bentuk: narasi liris, puisi, dan surat, sedangkan Kronik Pembunuhan Selma ditulis dengan permainan metafiksi. Tim Juri menilai, ketiga karya tersebut bersaing ketat, masing-masing punya pilihan pendekatan yang berbeda, sehingga satu sama lain tidak mudah dibandingkan.
Pengumuman pemenang Hadiah Sastra Ayu Utami untuk Pemula "Rasa" berlangsung pada Minggu (15/6) siang di aula Perpustakaan Jakarta PDS HB Jassin, lantai 4 Gedung Ali Sadikin, komplek Taman Ismail Marzuki, Jalan Cikini Raya No 73, Jakarta Pusat. Selain pemberian hadiah, kegiatan juga diramaikan dengan pertunjukan petikan karya oleh Ipeh Cupachabra dan iringan musik oleh Ronal Lisand.
Empat tahun sudah Hadiah Sastra untuk Pemula "Rasa" diselenggarakan. Sejak 2021, sastrawan Ayu Utami menginisiasi kegiatan ini secara rutin untuk mengapresiasi sekaligus memberikan kritik sastra terhadap perkembangan jagad sastra yang terlihat pada para penulis pemula. Kali ini, pemenang pertama mendapat uang tunai sepuluh juta rupiah, dan dua pemenang kedua masing-masing menerima uang tunai lima juta rupiah.
"Tren yang menarik kali ini adalah munculnya novel-novel berlatar sejarah kolonial, seperti Mencari Sita di Hindia Belanda karya Angelina Enny, Matthes karya Allan TH, serta Romansa Stovia karya Sania Rasyid. Selain itu, fiksi yang berlatar kedaerahan juga masih menonjol, misalnya Inyik Balang karya Andre Septiawan, Laot karya Elsa Putri Ermisah Syafril, dan Iblis Tanah Suci karya Arianto Adipurwanto," bunyi keterangan dalam rilis.
Selain karya-karya di atas, fiksi lain yang masuk daftar sepuluh besar adalah Born and Everything in Between karya Ludira Lazuardi, Ibu dan Rahasia Besar karya Aris Risma Sunarmas, serta Kemarau di Sedanau karya Asrorudin Zoechni.
Sayembara Hadiah Sastra untuk Pemula "Rasa" 2025 diikuti oleh 51 judul karya yang terbit pada 2024. Kategori penulis pemula pada sayembara ini adalah mereka yang baru menerbitkan sebanyak-banyaknya tiga buku sendiri dan belum pernah menerima penghargaan sastra untuk karya fiksi. Adapun yang dimaksud penghargaan sastra adalah penghargaan yang dilakukan secara reguler dan disertai kritik pertanggungjawaban juri. Buku yang boleh diikutsertakan adalah buku fiksi yang telah terbit secara fisik dan memiliki ISBN.
Juri tahap awal Hadiah Sastra untuk Pemula "Rasa" adalah Ayu Utami. Tahun ini, bertindak sebagai juri tahap akhir adalah Ni Made Purnama Sari, Feby Indirani, dan Erik Prasetya. Ketiganya mewakili unsur kritikus, sastrawan, dan pembaca kritis.
Ide mengenai Hadiah Sastra "Rasa" muncul di benak Ayu Utami saat menerima penghargaan Achmad Bakrie untuk Kesusastraan (2018). Dalam pidato penerimaannya, Ayu melontarkan niat untuk menjadikan uang tunai sebesar 250 juta rupiah sebagai hadiah tahunan bagi para penulis pemula.
Nama "Rasa" sendiri diambil karena Ayu Utami sedang melakukan penelitian mengenai konsep rasa dalam masyarakat Indonesia. Penulis novel Saman (1998) dan Bilangan Fu (2008) itu melihat bahwa "rasa" adalah konsep kunci dalam pemikiran masyarakat Nusantara. Terepas dari perkara hadiah sastra "Rasa", Ayu sendiri mengampu kelas menulis dan berpikir kreatif di Komunitas Salihara sejak 2013.

10 finalis Hadiah Sastra untuk Pemula "Rasa" 2025
1. Born and Everything Between (Gamagatra) karya Ludira Lazuardi adalah kumpulan empat puluhan cerita yang sebagian besarnya pendek sekali, meski bukan tergolong fiksi-mini. Pendekatan ini menarik untuk masa kini, ketika konsentrasi banyak orang diduga semakin singkat. Tema utama kumpulan cerpen ini berkisar dalam urusan luka batin.
2. Iblis Tanah Suci(DIVA Press) karya Arianto Adipurwanto adalah kumpulan cerpen yang lebih kurang diikat oleh satu tema yang barangkali tetap hidup dalam batin masyarakat Indonesia: perdukunan dengan latar perkampungan dan perkebunan. Di tengah dominasi fiksi urban, karya ini terbilang pilihan alternatif yang penting.
3. Ibu dan Rahasia Besar(Langgam Pustaka) karya Aris Risma Sunarmas adalah kumpulan cerpen yang menggarap tema pembunuhan, kekerasan, dan seks, yang sebagian besarnya melibatkan keluarga atau lingkungan dekat--seolah suatu lingkaran tanpa jalan keluar. Karya ini ditulis dengan bahasa Indonesia yang rapi.
4. Inyik Balang(Kepustakaan Populer Gramedia/KPG) karya Andre Septiawan ditulis dengan cara realis-magis, dengan humor ironis yang istimewa. Merangkum satu abad sejarah di Tanah Minang, novel ini ditulis dengan padat dan memikat. Elemen bahasa lisan dan tulisan, Minang dan Indonesia, alusi dan referensi sastra pendahulu, berkelindan secara kalis dan wajar.
5. Kemarau di Sedanau(Bhuana Sastra) karya Asroruddin Zoechni adalah novel tentang menggapai cinta dan cita-cita dengan karakter seorang dokter di Kepulauan Riau. Novel ini ditulis dengan deskripsi rinci yang berharga dan kaya tentang latar belakang itu. Sebuah usaha yang bernilai untuk mengangkat lokalitas tertentu.
6. Kronik Pembunuhan Selma(Penerbit Basabasi) karya K.A. Sulkhan tergolong sebagai "novel gelap", merujuk pada Edgar Allan Poe. Karya ini menyadari dirinya gelap sejak awal hingga akhir. Kesadaran itu menciptakan jarak sehingga cerita tidak larut dalam melankoli dan kegelapan, tetapi justru dengan cerdik bercerita soal sisi gelap manusia, obsesi, dan pembunuhan.
7. Laot (KOLEKTIF Radio Buku) karya Elsa Putri Ermisah Syafril mengambil latar lokasi yang merentang dari Sawahlunto hingga Istanbul. Rerincinya soal kehidupan dan penderitaan komunitas buruh tambang dari Jawa sungguh kaya. Karya ini berani ambil risiko dengan eksperimen bahasa campuran Indonesia dan kreol Transi Sawahlunto.
8. Matthes (KPG) karya Alan TH menghadirkan era kolonial dengan perspektif segar: perjumpaan misionaris Kristen dengan perempuan Bugis terpelajar, penyalis naskah I La Galigo. Dengan materi hasil riset yang kaya, karya ini membongkar banyak stereotipe.
9. Mencari Sita di Hindia Belanda(KPG) karya Angelina Enny mengambil bentuk keping-keping cerita untuk membangun suatu kisah cinta dengan era kolonial, dan menghadirkan karakter-karakter yang jarang ditonjolkan dalam sejarah: kaum peranakan Belanda maupun Tionghoa. Risetnya mengutamakan detil yang membangun pengalaman dan puisi.
10. Romansa Stovia (KPG) karya Sania Rasyid adalah sebuah cerita remaja-bertumbuh-dewasa dengan perspektif hari ini yang menggunakan latar era kebangkitan kebangsaan. Novel ini menawarkan pendekatan menarik untuk memperkenalkan sejumlah kasus diskriminasi di era kolonial, dengan usaha untuk tidak menjadi terlalu klise.
Hadiah Sastra untuk Pemula "Rasa" 2025 diselenggarakan oleh Komunitas Utan Kayu dan Komunitas Ghanta, didukung oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Jakarta 500, Jakarta Future Festival, Perpustakaan Jakarta PDS HB Jassin, serta mendapat dukungan media siar dari Komunitas Salihara, Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Mizan Publishing, Noura Publishing, Bentang Pustaka, Sekala Kecil (Sekacil), HahaHihi Kolektif, Hysteria Magazine, Komunitas Mahima, Warung Sastra, Jual Buku Sastra (JBS), dan Blooks Book Store.
Editor: Zulkifli Songyanan
Masuk tirto.id


































