Menuju konten utama
Tentang Nostalgia

Nostalgia, Rasa Rindu yang Pernah Diasosiasikan dengan Penyakit

Nostalgia bukan sekadar rasa tentang kerinduan terhadap masa lalu, melainkan juga suatu pengalaman reflektif untuk memperkuat identitas diri.

Nostalgia, Rasa Rindu yang Pernah Diasosiasikan dengan Penyakit
Header Diajeng Nostalgia Penyakit. tirot.id/Quita

tirto.id - Selama nyaris tiga minggu tayang di bioskop, film Petualangan Sherina 2 sukses memikat hati dua juta penonton. Sebelumnya, Barbie yang rilis musim panas kemarin berhasil memecahkan rekor box office sebagai film dengan pendapatan tertinggi di dunia tahun ini.

Well, meskipun kontennya mendaur ulang ide lama, film-film ini tetap saja diminati. Hayo ngaku, kamu termasuk yang ikut nonton, kan?

Nah, pada waktu sama, apa kamu juga sempat bertanya-tanya, kenapa pemirsa film, yang kebanyakan tergolong sudah dewasa, berbondong-bondong mau menyaksikannya?

“Saya nonton film Petualangan Sherina karena dulu film itu film anak yang bagus. Semua anak pasti nonton film itu. Dulu umur saya 9 atau 10 tahun waktu nonton. Sekarang nonton [Petualangan] Sherina 2 karena mau nostalgia masa kecil. Dan, dulu pas kecil kan saya jagoan di sekolah….” tutur Johanes Januardy (28), chef yang kini bermukim di Melbourne, Australia.

Saat film itu tayang, ia nonton bersama Miki, istrinya yang juga ingin bernostalgia dengan film itu.

“Meski film yang sekarang beda dengan film yang dulu waktu aku masih kecil, tapi tetap happy nontonnya. Jadi nostalgic. Apalagi dengar musiknya. Rasanya seperti kembali jadi anak-anak yang nonton film favoritnya. Lagu-lagu yang dulu, keluar lagi di film Sherina yang baru. Ngga sadar senyum-senyum sendiri,” ujar Miki dalam obrolan terpisah.

Sama seperti Johanes dan Miki, Ayu Dessy (35) juga menyaksikan film Petualangan Sherina 2. Didorong rasa penasaran dengan kelanjutan film yang ditontonnya saat berumur 13 tahun, Ayu ditemani Bowo suaminya menonton.

“Filmnya masih seru kayak dulu. Masih terasa vibenya waktu masih kecil. Seru mengulang masa kecil saat nonton [Petualangan] Sherina,” papar Ayu, pelaku wirausaha yang tinggal di Jakarta ini.

Tak bisa dimungkiri, aktivitas nonton film atau serial bertema jadul, berselancar di akun media sosial untuk mengenang video klip iklan dan mainan anak era 90-an, atau sesederhana memutar playlist bertajuk “Lagu Warnet 2000an” di Spotify, bisa membuatmu berkaca-kaca terharu dan merasa terenyuh.

Header Diajeng Nostalgia Penyakit

Header Diajeng Nostalgia Penyakit. foto/IStockphoto

Menariknya, aktivitas nostalgia yang sekarang dibalut dalam narasi romantis tentang masa lalu ini ternyata dulu diasosiasikan dengan penyakit!

Yup, hal ini bisa dilacak sejak abad ke-17.

Istilah “nostalgia” itu sendiri dicetuskan oleh mahasiswa kedokteran Swiss Johannes Hofer dalam disertasinya pada 1688. Hofer mendapati orang-orang yang pergi jauh dari rumah—terutama tentara yang dikirim ke luar negeri—kadang mengalami beban psikologis yang dapat berakibat kematian.

Fenomena itu Hofer sebut “nostalgia”—dipetik dari rumpun kata bahasa Yunani, nostos (pulang ke daerah asal) dan algos (penyakit atau duka). Salah satu subjek dalam studinya termasuk seorang anak perempuan kecil yang sakit-sakitan namun kembali sehat begitu dipulangkan ke orang tuanya.

Lebih lanjut, menurut Holfer, perasaan nostalgia “bersimpati pada imajinasi menyakitkan”. Penyebabnya adalah “getaran roh-roh binatang secara terus-menerus” yang melewati bagian-bagian otak. Pengobatannya tak lain dengan “pulang ke tanah air”.

Sekilas, nostalgia versi Hofer terdengar seperti keadaan homesick (kangen rumah), bukan?

Terlepas dari kesan demikian, seperti dikutip dari studi di jurnal Social Cognitive and Affective Neuroscience (2022), Hofer memaknai nostalgia sebagai penyakit saraf yang disertai gejala psikologis dan fisiologis maladaptif, seperti anoreksia atau gangguan makan, putus asa, demam, dan nyeri.

Memasuki abad ke-20, pandangan tentang nostalgia bergeser—ia dianggap sebagai gangguan kejiwaan jenis psikosomatis karena disertai gejala cemas, sedih, pesimis, dan insomnia atau gangguan tidur.

Sampai tibalah pada masa kini, ketika kita memaknai nostalgia sebagai ekspresi kangen pada pengalaman lampau.

Masih mengutip dari studi yang sama, nostalgia merupakan emosi sadar diri yang sebagian besar bersifat positif meskipun pahit-manis, yang muncul dari kenangan di masa lalu seseorang yang relevan dan lembut.

Sementara laman WebMD menyebut nostalgia sebagai kerinduan sentimental akan masa lalu yang menimbulkan perasaan senang, terkadang disertai rasa sedih.

Nostalgia berpusat pada diri sendiri, atau teman dekat dan kerabat. Meski biasanya fokus pada kejadian masa lalu yang positif, nostalgia juga bisa menyangkut kenangan yang tidak menyenangkan.

Ketika kita merasakan kenangan masa lalu, banyak yang terjadi di dalam sistem memori dan penguatan di otak kita. Bagian otak yang bernama hippocampus, ventral striatum, dan daerah tegmental ventral terjadi aktivitas yang memunculkan nostalgia atau rindu masa lalu.

Nah, bagaimana cara kerjanya, ilmuwan juga belum tahu.

Header Diajeng Nostalgia Penyakit

Header Diajeng Nostalgia Penyakit. foto/IStockphoto

Kecenderungan kita untuk mengalami nostalgia juga sangat tergantung pada sifat nostalgia itu sendiri. Tetapi bisa dipastikan, hal-hal yang menyenangkan yang paling mudah kita rindukan.

Lalu, bagaimana kaitannya dengan otak dan emosi kita?

“Nostalgia, dengan memotivasi kita untuk mengingat masa lalu dalam kehidupan kita, akan membantu kita menyatukan kita dengan diri sejati kita. Nostalgia juga mengingatkan kita tentang siapa diri kita dulu, dan membandingkannya dengan perasaan kita sekarang,” kata Krystine Batcho, PhD dikutip dari podcast American Psychological Association.

“Nostalgia adalah pengalaman emosional yang menyatukan, yaitu menyatukan perasaan tentang siapa diri kita dan identitas kita seiring berjalannya waktu,” tambah Batcho.

Penjelasan Batcho relevan dengan pengalaman Ayu.

Ayu mengatakan, ia menyukai film Petualangan Sherina karena film itu tentang petualangan dan persahabatan.

“Waktu dulu saya nonton film itu saya nggak suka adegan tegangnya, ketika Sherina dan Sadam diculik. Hal lain yang membuat saya suka film itu karena film musikal,” katanya.

Seiring berjalannya waktu, di usianya sekarang ini tidak banyak perubahan pada diri Ayu. “Film itu masih seputar petualangan dan persahabatan. Saya berharap Sherina dan Sadam akan bersama-sama lagi,” ujar Ayu.

Nostalgia, sebagai hasil kerja otak yang menghasilkan perasaan dan emosi tertentu, tentu adalah hal yang lumrah. Tapi kita juga perlu sadar diri, dalam tahap apa kesenangan kita untuk bernostalgia mengarah pada kondisi negatif diri kita.

Jangan sampai bernostalgia malah bikin kamu jadi sedih dan melankolis terus, ya!

Baca juga artikel terkait METIME atau tulisan lainnya dari Imma Rachmani

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Imma Rachmani
Penulis: Imma Rachmani
Editor: Sekar Kinasih