Menuju konten utama

Nihil Indikator, LBH Pers: Pasal 26 UU ITE Potensi Tumpang Tindih

LBH Pers menilai Pasal 26 ayat (3) UU ITE berpotensi bertabrakan dengan UU Pers dan UU KIP serta sejumlah peraturan perundang-undangan lain.

Nihil Indikator, LBH Pers: Pasal 26 UU ITE Potensi Tumpang Tindih
Ilustrasi UU ITE. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Pasal 26 ayat (3) UU ITE berpotensi bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik serta sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi. Pasal ini kerap disalahgunakan, dijadikan dasar penyensoran.

Pasal itu berbunyi “Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.” Sebelum UU ini direvisi pada 2016, pasal tersebut awalnya untuk melindungi data pribadi.

“Kami tak menemukan arti ‘informasi tidak relevan’ dalam penjelasan Pasal 26 ayat (3) ini, tidak ada indikator yang jelas, memungkinkan informasi apa pun di internet dapat dihapuskan,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin, Kamis (29/4/2021). Ditambah praktik impunitas yang tinggi terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, maka sangat mungkin informasi perihal itu dihapus.

Masalah lainnya adalah ‘berdasarkan penetapan pengadilan’ yang Ade anggap rancu. Sebab, ketika publik menggunakan mekanisme permohonan penetapan pengadilan, ada beberapa pihak yang akan terlibat dan itu bukan hanya pengadilan dan pemohon. Misalnya, penyelenggara sistem elektronik.

Mekanisme penghapusan sangat tidak tepat karena merugikan masyarakat, sebab tak ada ruang bagi penyelenggara sistem elektronik ataupun warga untuk membela yang dipublikasikan. “Karena ruang ditutup melalui penetapan-penetapan,” sambung Ade.

Karena itu, LBH Pers merekomendasikan dua hal bagi pasal ini. Pertama, seluruh Pasal 26 dihapus dan pengaturannya diatur dalam UU Perlindungan Data Pribadi yang kini rancangannya sedang digodok oleh DPR.

Kedua, pasal ini dipertahankan dengan memperbaiki bunyi ayat (3) sesuai masukan pada pembahasan mengenai norma hukum; ditambahkan ayat (5) tentang pengecualian pada produk pers dan perkara-perkara hukum berat --yang ancaman hukuman di atas 5 tahun-- dan kejahatan luar biasa, seperti korupsi.

Tidak adanya indikator 'informasi tidak relevan' dalam pasal, membuat pasal ini menjadi multitafsir dan bisa disalahgunakan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi semata. Dalam konteks pemilu, publik akan dirugikan karena para calon bisa menghapuskan informasi yang tidak diinginkannya di internet.

Baca juga artikel terkait UU ITE atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Hukum
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz