tirto.id - Perekonomian Indonesia mulai menunjukkan tanda-tanda menggeliat hingga pengujung April 2021. Sejumlah indikator menunjukkan peningkatan konsumsi masyarakat sudah terjadi sejak Maret. Kenaikan konsumsi ini menjadi penting karena perannya mencakup 57,66% pertumbuhan ekonomi atau PDB.
Salah satunya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia yang mencatatkan kenaikan dalam 3 bulan terakhir, dari 85,8 (Januari), 88 (Februari), menjadi 93,4 (Maret). Sejalan dengan kenaikan IKK, BI juga mencatat tren kenaikan transaksi pada layanan yang disediakan perbankan. Nilai transaksi kartu ATM, debet, dan kredit misalnya sempat terkontraksi 1,95% year on year (yoy), lalu memburuk menjadi kontraksi 4,93% yoy per Februari. Namun Maret tumbuh positif 9,58% yoy.
Tren serupa juga ditunjukkan nilai transaksi uang elektronik. Januari tumbuh 30,71% yoy kemudian tumbuh melambat menjadi 26,42% yoy Februari tetapi memantul lagi menjadi tumbuh 42,46% yoy pada Maret.
Karena indikator-indikator ini, tak heran bila Menteri Keuangan Sri Mulyani yakin konsumsi masyarakat telah bangkit dan bahkan memperkirakan tren ini akan terus berlanjut hingga pengujung Q2 2021. “Konsumsi diperkirakan akan terus menguat pada Q2 2021, disumbang oleh kepercayaan masyarakat yang mulai pulih,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KITA, Kamis (22/4/2021).
Peningkatan tren konsumsi ini juga dikonfirmasi oleh Big Data Bank yang mencatat angka belanja nasional dari penjumlahan belanja seluruh nasabah bank via EDC, ATM, dan virtual account. Hasilnya terjadi pertumbuhan 32,48% yoy per April, padahal selama Januari-Maret pertumbuhannya selalu di bawah 10% yoy. Angka ini juga lebih tinggi dari pertumbuhan April 2020 yang berkisar 20% yoy.
Tren itu juga diikuti oleh peningkatan penerimaan sektor industri. Big Data Bank mencatat penerimaan industri tumbuh 10,26% yoy April setelah satu tahun berturut-turut selalu tumbuh di bawah 10% bahkan terkontraksi.
Di saat yang sama Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur per Maret mencapai 53,2 poin, melanjutkan kenaikan Februari yang mencapai 50,9 poin. IHS Markit yang menerbitkan indikator ini mencatat kenaikan ini didorong oleh peningkatan permintaan baru bagi industri.
Bukti dari perbaikan juga muncul dari pasar modal yang kerap dituding sebagai arah larinya uang masyarakat yang tak dipakai konsumsi sehingga menghambat perekonomian. Rata-rata volume perdagangan harian terus turun dari 21,218 miliar lembar saham year to date (ytd) per 5 Februari menjadi 16,52 miliar lembar saham ytd per 23 April.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa Laksono W. Widodo mengatakan salah satu faktor sepinya pasar saham ini juga dipicu perubahan aktivitas investor retail atau individu yang mulai kembali membawa uangnya ke sektor riil. “Ekonomi yang mulai bergerak sehingga banyak uang di retail yang diputar balik ke sektor riil,” ucap Laksono, Jumat (23/4/2021).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan kenaikan konsumsi ini sayangnya belum cukup untuk mendongkrak ekonomi. Bahkan pelonggaran Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menjadi ke skala mikro juga belum banyak membantu.
Meski sudah naik mulai Maret 2021, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Q1 masih akan tersungkur di kontraksi 1% sampai kontraksi 0,5% yoy. Q2 diperkirakan berkisar 4% yoy atau jauh di bawah ekspektasi pemerintah 6,7%. Alhasil, pertumbuhan 2021 akan berkisar 3-4% yoy di bawah target pemerintah 4,3%-5,3%.
Salah satu alasannya adalah kenaikan permintaan belum sekuat masa sebelum pandemi. Ia mencontohkan Indeks Penjualan Riil (IPR) dalam survei penjualan eceran BI masih mencatatkan kontraksi 17% yoy pada Q1 2021, masih lebih buruk dari Q1 2020 yang kontraksi 1,9%.
Inflasi inti yang biasa digunakan untuk mengonfirmasi naik-turunnya permintaan juga sama. Trennya terus melemah hingga menyentuh 1,21% yoy per Maret, memburuk dari Desember 2020 1,6% yoy.
“Pertumbuhan ekonomi masih akan di bawah target pemerintah karena tidak diikuti oleh pemulihan konsumsi rumah tangga secara signifikan. Pemulihannya masih sangat lambat,” ucap Faisal dalam konferensi pers virtual, Selasa (27/4/2021).
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga sependapat. Bhima menilai perbaikan konsumsi saat ini masih terhambat terutama dari vaksinasi pemerintah yang masih cukup lamban sehingga pencapaian target herd immunity masih memerlukan waktu yang panjang.
Bhima pun mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam penanganan pandemi dan tetap memastikan protokol kesehatan dipatuhi agar munculnya tsunami Corona di India tidak terulang di Indonesia. Bila kasus COVID-19 Indonesia tiba-tiba mengalami kenaikan lagi, maka tingkat kepercayaan masyarakat untuk kembali berbelanja dan berkonsumsi juga akan menurun.
“Jadi untuk 5 persen tahun ini masih berat. Kalaupun ada perbaikan, itu masih akan terhambat,” ucap Bhima kepada reporter Tirto, Rabu (28/4/2021).
Penulis: Vincent Fabian Thomas & Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino