tirto.id - Muhammad Fahrurrozi tak menyangka bakal terjerumus dalam program asuransi unitlink PT AXA Mandiri. Pebisnis di bidang pariwisata dan pembuat konten di saluran OzzProject di Youtube ini harus rela kehilangan duit relatif banyak tanpa disadari.
Kejadian bermula saat Fahrur ditawari produk dengan embel-embel “Tabungan Berjangka” oleh agen AXA Mandiri yang ia kira pegawai bank tahun 2018. Sang agen mengatakan lewat “tabungan” ini, ia hanya perlu menyetor Rp1 juta per bulan. Jika tepat 10 tahun “menabung”, ia diprospek mendapat Rp120 juta dan uang dapat diambil meski belum selesai kontrak 10 tahun.
Fahrur waktu itu baru menyerahkan fotokopi KTP dan sekadar bersedia menerima kabar terbaru. Sayangnya, tanpa ia sadari, agen AXA Mandiri yang kemudian ia ketahui adalah financial advisor (FA) ternyata sudah mendaftarkan dirinya secara sepihak produk asuransi berbalut investasi ala unitlink. Imbasnya rekening Bank Mandiri Fahrur tersunat Rp1 juta/bulan selama hampir dua tahun.
Fahrur bilang dia tidak sadar kehilangan Rp1 juta/bulan lantaran setiap hari terlibat dalam banyak transaksi dari bisnis. Ia baru mengetahui setelah menanyakan kabar “tabungan berjangka” miliknya usai mencairkan dana pensiun di AXA Mandiri pada Oktober 2020. Petugas AXA Mandiri bilang tak ada produk tabungan berjangka dan Fahrur memiliki akun asuransi unitlink yang sudah terdebet Rp25 juta selama 2 tahun tetapi nilainya sudah berkurang tinggal Rp13 juta.
Pada saat inilah dia menduga telah ditipu oleh FA AXA Mandiri dua tahun lalu. Pasalnya, jika produk yang ditawarkan adalah tabungan, maka tidak mungkin ada penurunan nilai.
Dalam salinan dokumen Surat Permintaan Asuransi Jiwa (SPAJ) dan Surat Kuasa Debet Rekening (SKDR) dari AXA Mandiri, tertera bahwa Fahrur telah menandatangani persetujuan mendaftar asuransi jiwa unitlink pada 22 Maret 2018. Ia juga disodorkan surat pernyataan FA AXA Mandiri yang menjelaskan keterangan terakhir bertemu calon tertanggung 22 Maret 2018 di cabang TMII.
Fahrur membantah dia meneken persetujuan tersebut. Dia bilang itu palsu. Lagi pula pada tanggal itu ia sedang berada di luar negeri, dibuktikan dengan stempel imigrasi Bandara Soekarno Hatta dalam paspor dengan tanggal keberangkatan 21 Maret 2018 dan kedatangan 25 Maret 2018.
Ia juga menemukan kejanggalan lain: lembar informasi “Tentang Anda dan Keluarga” dikosongkan oleh FA AXA Mandiri, padahal informasi seperti ini sepatutnya diisi. Fahrur juga mendapati ada kesalahan tanggal lahir ibu kandungnya. Di sana tertera 10 Januari 1955 yang berarti 65 tahun, padahal usia orang tuanya baru 50.
“Maka siapa yang tanda tangan itu? Apakah makhluk gaib? Kok bisa-bisanya didebet? Tanda tangan saya dipalsukan,” ucap Fahrur kepada reporter Tirto.
Namun, karena tanda tangan itu pula AXA Mandiri menolak tuntutan ganti rugi Fahrur. Dalam surel tertanggal 18 November 2020, AXA Mandiri hanya mengatakan bahwa “keluhan yang Bapak ajukan sesuai konfirmasi tim complaint management unit kami bahwa tuntutan tidak dapat dipenuhi.”
Hingga saat ini Fahrur masih mencoba menuntut haknya ke AXA Mandiri.
Jae Joy (40) yang sehari-hari bekerja sebagai pekerja migran di Taiwan juga punya pengalaman serupa. Oktober 2015 lalu, Jae pernah mendatangi kantor Bank Mandiri untuk mencari informasi tabungan pendidikan. Customer service (CS) bank waktu itu mengarahkannya ke meja lain yang semula ia kira juga sama-sama petugas bank. Belakangan ia ketahui meja itu adalah milik FA AXA Mandiri.
Di sana Jae ditawari produk “Tabungan Pendidikan Berjangka” tanpa sedikit pun menyebutkan kata “asuransi” dengan setoran Rp6 juta per tahun. Uang ini diprospek sanggup mencapai Rp99 juta bila dibiarkan mengendap 10 tahun. Petugas juga menjelaskan manfaat lain, yaitu biaya rawat inap di rumah sakit Rp250-500 ribu. Keluarganya juga dijanjikan santunan Rp100 juta bila Jae mengalami kecelakaan.
Jae waktu itu mengira kalau tawaran disampaikan oleh staf bank dan merupakan produk perbankan yang dijamin oleh PT Bank Mandiri. Alhasil ia setuju dan menandatangani sejumlah dokumen yang salah satunya Surat Kuasa Debet Rekening (SKDR). Waktu itu ia juga diminta membubuhi tanda tangan di selembar kertas kosong lantaran petugas beralasan kehabisan blanko.
Belakangan Jae mengetahui ada yang aneh dalam surat elektronik mengenai laporan nominal saldo. Di sana diketahui dia malah merugi. Dari total debit Rp30 juta selama 5 tahun, saldonya hanya tersisa Rp20 juta per 12 Februari 2020. Per Maret 2020 nilainya berkurang lagi menjadi Rp17,21 juta.
Ia lantas bertanya ke kantor pusat AXA dan dijelaskan bahwa produk yang ia tandatangani waktu itu bukan “tabungan pendidikan berjangka” tetapi asuransi pendidikan. Lebih anehnya lagi, ia juga diberitahu oleh AXA Mandiri telah bersedia mengikuti asuransi jiwa lantaran sudah menandatangani Surat Permintaan Asuransi Jiwa (SPAJ).
Kepada reporter Tirto, Jae mengaku “kaget.” “Dari awal enggak ada bilang asuransi jiwa.” Ia curiga kalau kertas kosong yang disodorkan FA AXA Mandiri bertahun-tahun yang lalu merupakan kertas yang kemudian dicetak sebagai SPAJ.
Jae kemudian meminta penutupan polis sesegera mungkin untuk menghindari kerugian lebih besar. Namun proses itu berjalan lamban. Bahkan ia kesulitan menemui dan meminta pertanggungjawaban FA yang pernah menanganinya. Orang ini ternyata sudah mengundurkan diri dari AXA Mandiri. FA ini bahkan sempat mengancam lapor polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik dan ketidaknyamanan.
Tak mau menyerah, Jae memutuskan membuat laporan ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) pada 30 Maret 2020. Ajaibnya, satu hari kemudian, AXA Mandiri tiba-tiba mencairkan uangnya. Akan tetapi uang yang dikembalikan hanya Rp12,9 juta, bukan Rp20 juta. Ia lantas meminta AXA Mandiri mengembalikan sisanya dan membuat laporan tambahan ke BPKN.
AXA Mandiri ternyata memberi pengakuan kepada BPKN bahwa mereka telah mencairkan uang senilai Rp29,94 juta. Pengakuan dalam Surat No. 1255/BPKN/K.3/12/2020 tertanggal 2 Desember 2020 itu jelas berbeda dengan nominal yang ia terima. Sayangnya, saat berupaya menguji kebenaran informasi itu, AXA Mandiri enggan menjawab. Ia malah diminta bertanya kepada BPKN. “Saya disuruh cari tahu sendiri siapa yang benar dan salah.”
Di luar Jae dan Fahrur, banyak orang lain yang memiliki persoalan serupa. Saking banyaknya, mereka membentuk grup Facebook dengan nama “Info Korban Penipuan dan Kejahatan AXA Mandiri” yang menurut menu deskripsi terdiri dari 10.676 anggota. Sebagian memiliki pengalaman langsung terkait produk asuransi unitlink AXA Mandiri, sebagian lagi asuransi lain. Ada juga yang menjadi anggota sekadar untuk meminta saran mengenai produk asuransi mana saja yang perlu diwaspadai.
Arbiter Badan Mediasi & Arbitrase Asuransi Indonesia Irvan Rahardjo mengatakan pelabelan asuransi jiwa unitlink dengan diksi lain seperti “Tabungan Berjangka” tidak dapat dibenarkan apalagi menjanjikan keuntungan yang terkesan pasti dan tetap. Ia bilang agen asuransi maupun FA harus transparan dalam menjelaskan produk, mulai dari biaya tambahan dan tak kalah penting risikonya.
Penjelasan risiko menjadi penting sebab uang yang dibayarkan pada unitlink tidak hanya untuk membiayai proteksi seperti asuransi jiwa-kesehatan per se, tetapi juga mendanai investasi yang berfluktuasi--bergantung instrumen keuangan pilihan perusahaan asuransi. Pendeknya, bila saham, kurs, maupun pasar keuangan sedang suram, investasi unitlink juga akan ikut “boncos”. Alhasil, akumulasi nilai premi yang dikumpulkan pemegang polis bisa tergerus.
“Agen itu misselling. Kalau seperti itu, agen bisa kena sanksi etik. Bisa dicabut izinnya dan dimasukan dalam daftar agen bermasalah,” ucap Irvan kepada reporter Tirto, Selasa (15/12/2020).
Pada kasus misselling, Irvan bilang sebenarnya tak banyak yang bisa diperbuat nasabah selain meminta pengembalian sebesar yang sudah ditaruh. Situasi berbeda jika nasabah tanda tangannya dipalsukan. Irvan bilang itu sudah masuk ranah pidana. Agen asuransi itu bisa digugat baik oleh perusahaan maupun konsumen. Sementara perusahaan asuransi harus ikut bertanggung jawab.
Merujuk pada Pasal 28 POJK No. 69 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Asuransi, perusahaan asuransi harus ikut bertanggung jawab bila pada polis tersebut sudah ada premi yang disetorkan, termasuk setoran yang melalui skema autodebet. “Asuransi harus bertanggung jawab kalau sudah ada pembayaran premi.”
Irvan tak menampik bila agen dan FA kerap dituntut perusahaan mengejar target sehingga berujung pada misselling maupun pemberitahuan informasi tidak jujur mengenai produk asuransi yang ditawarkan. Namun, Irvan menilai beban ini ada pada OJK lantaran lembaga itu masih belum menerbitkan aturan turunan perekrutan agen asuransi dari UU perasuransian.
Lewat aturan itu agen bakal dituntut memiliki pengetahuan yang cukup dan reputasi yang baik sebelum bisa menawarkan produk asuransi. Tanpa aturan itu, perilaku agen sementara diatur oleh kode etik yang dibuat oleh asosiasi perusahaan asuransi sendiri yang sama sekali tidak ideal.
“Itu harus ditagih ke OJK. Apakah layak kode etik diatur asosiasi perusahaan. Kan, ada benturan kepentingan. Perusahaan hidup itu dari agen,” ucap Irvan.
Direktur Kepatuhan AXA Mandiri Rudy Kamdani mengatakan aktivitas yang dijalankan perusahaan telah sesuai hukum yang berlaku. Ia juga memastikan FA AXA Mandiri telah mendapatkan lisensi keagenan dari Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) sehingga memiliki pemahaman yang benar pada produk asuransi.
“Sebagai perusahaan yang diawasi oleh OJK, proses bisnis yang kami lakukan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku,” ucap Rudy kepada reporter Tirto.
Terkait keluhan para nasabah, dia bilang perusahaan tengah menindaklanjutinya sesuai prosedur yang berlaku. Ia memastikan penanganan telah melibatkan penyelidikan menyeluruh dan mereka aktif berkomunikasi dengan nasabah.
Namun, ia bilang penanganan ini melibatkan informasi data nasabah yang sensitif. Oleh karena itu Rudy mengatakan “tidak dapat mengungkapkan informasi lebih lanjut”.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino