Menuju konten utama
Hari Populasi Dunia

Nasib Program Keluarga Berencana di Ujung Tanduk

Implementasi program Keluarga Berencana masih mengalami hambatan di negara-negara berkembang karena minimnya akses terhadap alat kontrasepsi dan soal pendanaan.

Nasib Program Keluarga Berencana di Ujung Tanduk
Ilustrasi populasi. Getty Images/iStockphoto.

tirto.id - Hari ini, tepat 20 tahun yang lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamirkan 11 Juli sebagai hari populasi sedunia. Keputusan itu tertuang dalam resolusi 45/216 pada Desember 1990. Peringatan ini sebagai perhatian atas urgensi dan pentingnya masalah kependudukan yang tengah dihadapi dunia.

Keputusan untuk secara khusus memperingati hari populasi dunia ini tak lepas dari tingginya pertumbuhan penduduk dunia. Pada tahun 1987, jumlah populasi dunia mencapai titik 5 miliar penduduk untuk pertama kalinya. Jumlah penduduk yang besar tentu dibarengi dengan permasalahan yang semakin kompleks. PBB menggarisbawahi permasalahan penting tentang keluarga berencana.

Untuk tahun ini, peringatan hari populasi sedunia tahun ini pun mengusung tema “Family Planning: Empowering People, Developing Nations. Melalui tema itu, sesungguhnya masyarakat dunia ingin diingatkan dan diajak kembali untuk berpartisipasi dengan program Keluarga Berencana yang di dalamnya berkaitan dengan pemberdayaan keluarga dalam penggunaan alat kontrasepsi.

Momen ini juga bertepatan dengan Family Planning Summit yang berlangsung di London. Negara-negara di dunia akan berkumpul demi membahas isu Keluarga Berencana di 69 negara berkembang dan miskin.

Pentingnya Keluarga Berencana

Keluarga Berencana memungkinkan pasangan untuk mengatur jarak kelahiran, sehingga mampu mengoptimalkan pertumbuhan anak. Berdasarkan laporan dari badan PBB yang membidangi masalah populasi dunia (UNFPA), perencanaan kelahiran anak dapat berdampak positif pada kaum hawa. Misalnya, perempuan bisa menuntaskan pendidikannya terlebih dahulu, sebelum akhirnya hamil dan fokus mengurus anak.

Dampak positif lainnya adalah “otonomi” perempuan di dalam sebuah rumah tangga juga akan meningkat. Dalam kaitannya dengan penghasilan atau pekerjaan, perempuan juga dapat merencanakan soal kariernya dan juga kehamilannya.

Dengan kualitas yang lebih baik tersebut, PBB meyakini ekonomi dan kesejahteraan keluarga bisa semakin kuat. Secara kumulatif, menurut PBB, manfaat ini akan berkontribusi terhadap pengurangan kemiskinan dan berdampak positif pada pembangunan.

Tak hanya itu, penggunaan alat kontrasepsi dalam program Keluarga Berencana juga dapat mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, mengurangi jumlah aborsi, dan menurunkan angka kematian dan kecacatan yang terkait dengan komplikasi kehamilan dan persalinan.

Jika semua perempuan di berbagai negara dapat menggunakan metode kontrasepsi modern maka sebanyak 35 juta aborsi dan 76.000 kematian maternal dapat dicegah setiap tahun. Selain itu, kondom laki-laki dan perempuan, bila digunakan dengan benar dan konsisten, memberikan perlindungan ganda terhadap kehamilan yang tidak diinginkan dan infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV.

Sedangkan meningkatkan akses terhadap kontrasepsi modern di kalangan remaja putri merupakan titik awal yang penting untuk memperbaiki kesehatan jangka panjang mereka. Hal ini juga penting untuk memperbaiki kesehatan ibu dan bayi yang baru lahir. Di seluruh dunia, komplikasi dari kehamilan dan persalinan adalah pembunuh utama remaja putri yang berusia 15-19 tahun, menurut laporan PBB.

infografik world population day

Hambatan yang Menghadang

Sayangnya, tak semua perempuan atau keluarga di dunia dapat menikmati program tersebut. Permasalahannya terletak pada minimnya akses terhadap alat kontrasepsi, terutama bagi mereka yang hidup di negara berkembang atau negara miskin.

Laporan Guttmacher Institute tahun 2017 mengungkapkan bahwa ada 1,6 miliar perempuan produktif (usia 15-49 tahun) hidup di wilayah berkembang. Dari jumlah tersebut, sekitar 885 juta perempuan ingin menghindari kehamilan.

Kemudian sebanyak 671 juta perempuan memilih menggunakan alat kontrasepsi modern untuk menghindari kehamilan. Sisanya yakni 214 juta perempuan subur lainnya ternyata tak dapat menghindari kehamilan karena tak menggunakan metode kontrasepsi karena kurangnya akses terhadap informasi atau layanan kontrasepsi.

Padahal, menurut PBB, akses terhadap sistem keluarga berencana yakni alat kontrasepsi yang aman dan efektif adalah hak asasi manusia. Karena, minimnya akses terhadap alat kontrasepsi ini dapat mengancam kemampuan mereka untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri, keluarga mereka dan komunitas mereka.

Sebagian besar masalah kontrasepsi ini dialami oleh perempuan di benua Afrika dan di kawasan Asia Selatan. Proporsinya mencapai 39 persen dibandingkan dengan wilayah lainnya dari seluruh dunia.

Tak hanya soal akses terhadap kontrasepsi, masalah lain yang datang menghadang adalah soal pendanaan. Sejak Januari lalu, presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan untuk memangkas dana untuk program Keluarga Berencana internasional. Ia juga menghentikan pendanaan pada UNFPA.

Kebijakan Trump ini menjadi masalah besar bagi program Keluarga Berencana dunia karena Amerika Serikat adalah donatur terbesar untuk program tersebut. Tahun ini, AS mengalokasikan dana sebesar 607,5 juta dolar AS untuk program Keluarga Berencana.

“Kami tetap berada dalam periode ketidakpastian yang luar biasa. Isu pendanaan sangat penting dan menjadi tantangan yang terus berlanjut untuk kami hadapi bersama. Negara dan pendonor memainkan perannya masing-masing. Pada saat yang bersamaan, kami tidak ingin kehilangan momentum untuk mendukung negara-negara untuk mencapai tujuannya. Kita tidak bisa membiarkan ketidakpastian itu menarik fokus dari semakin banyaknya komitmen negara dan mitra untuk mendorong kemajuan," ujar Direktur Family Planning 2020, Beth Schlachter, seperti dikutip The Guardian.

Pendanaan memang hal krusial. Menurut Guttmarcher Institute, biaya untuk menjangkau semua perempuan di negara berkembang agar dapat menggunakan alat kontrasepsi mencapai 11 miliar dolar AS atau 1,75 dolar AS per orang per tahun. Hal ini menjadi tantangan besar dalam program Keluarga Berencana.

Program KB di Indonesia

Program KB juga sudah digaungkan oleh pemerintah Indonesia dengan slogan “Cukup Dua Anak.” Meski demikian, slogan itu kian pudar oleh slogan “Banyak Anak Banyak Rejeki.” Sehingga sejak kepemimpinan Joko Widodo, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemko PMK) mulai menggalakkan 1.000 kampung Keluarga Berencana di seluruh Indonesia.

"Kami menggunakan pendekatan Kampung Keluarga Berencana di seluruh Indonesia yang diharapkan dapat mengurangi secara signifikan angka putus kesertaan program Keluarga Berencana," ujar Presiden Joko Widodo, seperti dikutip Antara.

Namun masalah lain yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah soal bonus demografi yaitu jumlah usia 15-64 tahun akan mencapai 70 persen, sedangkan 30 persennya penduduk yang berusia dibawah 14 tahun dan di atas 65 tahun. Dengan demikian jumlah perempuan usia subur akan sangat tinggi. Ini kemudian menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia soal kependudukan.

Baca juga artikel terkait PROGRAM KELUARGA HARAPAN atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti