tirto.id - Tepat 1 Juni lalu Nissan merayakan hari jadi ke-85 tahun. Pada 1934, Nissan memulai debut di industri otomotif. Perusahaan ini mengembangkan berbagai inovasi mobil kepada masyarakat Jepang. Tak berhenti di situ, Nissan juga memasarkan produknya ke seluruh dunia.
Sejarah Nissan berawal dari Yoshisuke Aikawa, pendiri pabrik baja pertama Tobata Casting Co pada 1910, dan Masujiro Hashimoto pemilik Kwaishinsha Motor, pabrik kendaraan domestik pertama pada 1911, yang pada era Taisho telah berencana membuat mobil sendiri.
Pada tahun 1914 muncul DAT Motors. Nama DAT merupakan inisial dari nama-nama investor perusahaan: Kenjiro Den, Rokuro Aoyama, Meitaro Takeuchi. Perusahaan ini membuat truk dalam produksi massal, karena tak ada pasar mobil penumpang di Jepang kala itu.
Situs resmi Nissan Global menjelaskan, dengan bantuan fasilitas produksi milik Kwaishinsha, DAT menghadirkan mobil penumpang pertamanya, DAT-41 yang menggunakan mesin 4-silinder. Dirasa cocok untuk pasar Jepang, Kwaishinsha mendirikan DAT Jidosha & Co, yang kemudian hari berganti nama menjadi DAT Jidosha Seizo untuk memperkuat pemasaran mobil tersebut.
Tobata Casting yang telah memproduksi suku cadang mobil berencana maju ke industri otomotif dan menerima DAT Jidosha Seizo untuk berafiliasi di bawah mereka sebagai anak perusahaan. Tahun 1931, perusahaan ini mulai memproduksi mobil yang disebut Datsun Tipe 11.
Nama Datsun awalnya ditulis Datson yang memiliki arti “Son of DAT”. Akan tetapi kata 'Son' yang dalam Bahasa Jepang bermakna kekurangan, di kemudian hari diganti menjadi 'Sun'. Seketika nama Datsun lekat dengan sebuah mobil penumpang berukuran kompak dengan kapasitas 500 cc.
Tahun 1933, Tobata Casting pun mendirikan divisi otomotif dan mulai memproduksi mobil dengan sungguh-sungguh. Pada tahun yang sama perusahaan ini bahkan membeli lahan seluas 66.000 m2 di pantai kota Yokohama untuk menambah kapasitas produksi bisnisnya.
Akhirnya Yoshisuke Aikawa lewat perusahaan Nihon Sangyo, yang juga didirikannya, mengakuisisi 100 persen DAT Jidosha Seizo. Perusahaan berganti nama menjadi Nissan, sebuah nama yang diambil dari singkatan Nihon Sangyo, pada tahun 1934.
Nissan di Tengah Krisis
Selama 85 tahun eksis, Nissan telah merasakan asam garam dalam industri otomotif. Prestasi terakhirnya barangkali terjadi pada 2017. Waktu itu Nissan meraih pangsa pasar hingga 10,2 persen di Amerika Utara.
Hasil ini jadi yang paling besar dalam dekade terakhir, angkanya terus meningkat sejak 2012 yang tercatat hanya 7,9 persen. Nissan bahkan untuk pertama kalinya menyalip capaian Honda dan Toyota di AS.
Dilansir dari Automotive News, setahun sebelumnya Nissan disebut mendapat urutan teratas dalam J.D. Power Sales Satisfaction Index, sebuah tolak ukur industri yang mengukur kepuasan pelanggan. Hasil ini dinilai tak lepas berkat pendekatan Nissan yang berorientasi kepada pelanggan.
Dalam sebuah kasus, misalnya, Nissan menciptakan sistem analisis diler secara daring. Sistem ini dapat mengidentifikasi semua pelanggan dalam jarak 25 mil, khususnya mereka yang belum mendapat layanan selama enam bulan terakhir. Nissan juga menciptakan program insentif untuk memberi penghargaan kepada diler karena dapat memberikan pelayanan baik dan mempertahankan layanan pelanggan.
"Diler kami telah bekerja keras untuk berbuat lebih baik. Semua itu adalah soal bagaimana kita menangani pelanggan saat penjualan dan layanan purnajual," kata Senior Vice President for Nissan Sales, Marketing, and Operations Christian Meunier.
Namun, hasil berbeda terjadi pertengahan pada tahun 2019. Baru-baru ini Nissan disebut harus memangkas sekitar 12.500 pekerja sampai tahun 2023. Dikutip dari Asia Nikkei, perusahaan akan menghilangkan 1.700 pekerja di India, 1.420 pekerja di AS, 1.000 di Meksiko, 880 pekerja di Jepang, 830 pekerja di Indonesia, 470 di Spanyol dan 90 di Inggris. Totalnya sudah mencapai 6.390 pekerja.
CEO Nissan Hiroto Saikawa, mengatakan pemotongan produksi Nissan merupakan upaya untuk mengembalikan keadaan sebelum ekspansi yang dipimpin Carlos Ghosn beberapa waktu lalu. Pengurangan karyawan ini akan berdampak pada berkurangnya kapasitas produksi Nissan sebanyak 600.000 kendaraan dari 14 pabrik di seluruh dunia. Sebagian besar pabrik ini berada di negara berkembang.
"Kami sudah mulai menghentikan jalur produksi dan membuat PHK di delapan titik operasi kami. Kami sedang mencari enam lokasi tambahan," ucap Saikawa-san.
Di Indonesia, Nissan telah menjual 7.176 kendaraan selama paruh pertama 2019. Hasil ini sebetulnya naik 49 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, namun masih jauh di belakang pemimpin pasar Toyota dengan 154.360 unit. Datsun malah lebih buruk. Merek yang dihidupkan kembali pada 2014 ini hanya terjual 3.844 unit pada semester I/2019.
Berdasarkan data wholesales Gaikindo pun, angka distribusi mobil Nissan dari pabrik ke diler telah menurun drastis dalam lima tahun terakhir. Tercatat pada 2013, Nissan masih bisa meraih angka distribusi 61.113 unit. Namun, pada 2018 anjlok menjadi hanya 6.885 unit .
Merek-merek mobil Jepang memang memegang pangsa pasar gabungan terbesar di Indonesia. Porsinya mencapai 80 persen. Akan tetapi keberhasilan itu belum menguntungkan Nissan. Perusahaan itu bahkan harus mendekam di belakang pendatang baru asal Cina, Wuling, yang pada periode Januari sampai Juni 2019 berhasil menjual 7.767 kendaraan.
Strategi ke Depan
Hiroto Saikawa yang menjabat sebagai CEO Nissan sejak April 2017 telah memiliki rencana untuk membangkitkan keterpurukan Nissan di pasar AS, faktor yang secara tiba-tiba mendorong perusahaan mengalami kesulitan keuangan terburuk dalam dekade terakhir. Saikawa mengaku pemulihan tak bisa berlangsung cepat, ia meminta waktu paling tidak empat tahun lagi.
Bisnis Nissan di AS bahkan disebut tidak akan mencapai volume atau margin keuntungan yang sama seperti yang dirasakan pada 2017. Untuk diketahui, pada akhir tahun fiskal tersebut penjualan Nissan melonjak hingga 1,58 juta kendaraan di AS.
"Kita harus bersabar di sini, kinerja Nissan telah mencapai titik terendah. Butuh waktu untuk pulih,” katanya seperti dilansir dari Automotive News.
Road map menuju pemulihan telah disiapkan, di antaranya dengan serbuan produk-produk baru, peluncuran teknologi penggerak elektrifikasi dan otonom, pemutusan hubungan kerja, hingga pengeluaran insentif tambahan.
Nissan juga ingin merampingkan pengembangan produk dengan lebih bersandar pada mitra aliansi Renault dan Mitsubishi untuk mobil kompak serta sub-kompak, juga kendaraan komersial ringan. Menurut Saikawa, langkah ini dapat membebaskan sumber daya Nissan untuk berinvestasi pada mobil-mobil besar, crossover, dan SUV dengan margin lebih tinggi.
Ia bahkan mengindikasikan bahwa model flagship Nissan ke depan bukan lagi sports car GT-R yang dibanderol sekitar 100.000 dolar AS, namun sebuah crossover elektrik yang datang dengan berbagai teknologi terkini. "Seperti itulah Nissan di masa depan," imbuh Saikawa.
Sejumlah analis mengatakan perubahan pandangan perusahaan mungkin lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, terutama dengan berkurangnya pasar di Amerika Serikat. Christopher Richter, Senior Automotive Analyst di CLSA Asia-Pacific Markets, mengatakan jika menurunnya produksi Nissan akan berdampak besar pada menurunnya pendapatan.
Secara tak langsung, rencana-rencana Nissan akan lebih sulit dilakukan. Richter berujar kepada Automotive News, ia malah lebih suka jika Nissan mempertimbangkan rencana yang lebih berani. Misalnya, lewat kehadiran yang lebih masif di Asia Tenggara atau Eropa, yang dibantu oleh aliansi Renault dan Mitsubishi.
"Mereka mengatakan akan meluncurkan banyak model baru. Tapi itu adalah hal yang khas dikatakan produsen mobil ketika mereka mendapat banyak masalah," pungkasnya.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara